Analisis Penokohan pada Karakter Totto-Chan dalam Novel Totto-Chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela Menggunakan Teori Sigmund Freud

0
 



Campusnesia.co.id - Novel Totto-chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela merupakan karya autobiografi yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi, seorang aktris dan presenter terkenal asal Jepang. Novel ini menceritakan pengalaman masa kecil Tetsuko sebagai Totto-chan, seorang gadis kecil yang dianggap “bermasalah” di sekolah umum, namun menemukan tempat yang cocok untuk tumbuh di sekolah alternatif Tomoe Gakuen.

Tema yang diangkat dalam esai ini adalah penokohan Totto-chan sebagai karakter utama dalam novel tersebut. Penulis memilih tema ini karena karakter Totto-chan sangat unik, dinamis, dan penuh dengan ekspresi jiwa anak-anak yang belum banyak dikaji secara mendalam dari sudut pandang psikologi.
Esai ini akan membahas bagaimana karakter Totto-chan dibentuk dan berkembang dalam cerita dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud, khususnya pembagian struktur kepribadian menjadi id, ego, dan superego. Analisis ini bertujuan untuk memahami lebih dalam aspek psikologis dalam diri Totto-chan serta bagaimana lingkungan memengaruhi pertumbuhan kepribadiannya.


Pembahasan

Pada setiap penelitian diperlukan adanya pembatasan masalah. Pembatasan masalah ini dimaksudkan agar penelitian dapat dilakukan dengan lebih fokus dan terarah. Penelitian ini membatasi permasalahan pada struktur kepribadian id, ego dan superego pada tokoh Totto-chan dalam novel Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi dengan menggunakan kajian Psikologi Sastra Sigmund Freud.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:

1) Bagaimanakah masalah pada id karakter Totto-Chan pada novel Totto-Chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela?

2) Bagaimanakah masalah pada ego karakter Totto-Chan pada novel Totto-Chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela?

3) Bagaimanakah masalah pada super ego karakter Totto-Chan pada novel Totto-Chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela?


1. Masalah pada Id Karakter Totto-Chan

Id adalah komponen kepribadian yang primitif dan naluriah. Freud menggambarkan id sebagai "panci penuh gairah yang mendidih" yang penuh dengan energi yang berusaha untuk segera dilepaskan .

Id adalah bagian dari alam bawah sadar yang berisi semua dorongan dan impuls, termasuk apa yang disebut libido, sejenis energi seksual umum yang digunakan untuk segala hal mulai dari naluri bertahan hidup hingga apresiasi seni.

Id adalah bagian impulsif (dan tidak sadar ) dari jiwa kita yang merespons secara langsung dan segera terhadap dorongan, kebutuhan, dan keinginan dasar.

Kepribadian anak yang baru lahir seluruhnya adalah id, dan baru kemudian berkembang ego dan superego.Yang terpenting, id tidak memiliki rasa benar atau salah. Id bersifat amoral – hanya peduli dengan pemenuhan kebutuhan naluriah.

Kebebasan berekspresi Totto-chan sangat dipengaruhi oleh dorongan id yang kuat dalam dirinya. Ia menunjukkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk bertindak bebas tanpa memikirkan aturan. Misalnya, saat ia berkali-kali membuka dan menutup meja tulis hanya karena penasaran, atau ketika ia berbicara tanpa henti di kelas lama tanpa menyadari bahwa tindakannya dianggap mengganggu. Tindakan-tindakan ini muncul sebagai ekspresi spontan dari dirinya yang belum dipengaruhi norma atau pertimbangan sosial, mencerminkan karakter alami anak-anak yang masih digerakkan oleh dorongan id. Berikut kutipannya:

“Tiba-tiba Mama mengerti mengapa Totto-chan sering sekali membuka dan menutup mejanya. Dia ingat bagaimana bersemangatnya Totto-chan waktu pulang sekolah di hari pertama. Katanya “Sekolah asyik sekali! Mejaku di rumah ada lacinya yang bisa ditarik, tapi meja di sekolah ada tutupnya yang bisa dibuka ke atas. Meja itu seperti peti, dan kita bisa menyimpan apa saja didalamnya. Keren sekali!” (GCDJ,2008:13)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Id tokoh selalu menghindari ketidaknyamanan terhadap orang lain. Tottochan mempunyai tingkah laku yang selalu ingin tahu dalam hal dimana dia berada dalam situasi yang membuat mencari perhatian terhadap orang lain. Dapat disimpulkan bahwa Id yang baik selalu menghindar dari ketidaknyamanan seseorang terhadap orang lain. Sehingga, orang lain sangatlah dirugikan dan ada dampaknya Totto-chan dikeluarkan dari sekolah lamanya. Sehingga, Mama akan mencari sekolah baru untuk Totto-chan.


2. Permasalahan pada Ego Karakter Totto-Chan

Ego Freud adalah bagian rasional dari jiwa yang menengahi antara hasrat naluriah id dan batasan moral superego, yang beroperasi terutama pada tingkat kesadaran.

Ego adalah “bagian dari id yang telah dimodifikasi oleh pengaruh langsung dari dunia luar.” (Freud, 1923, hal. 25)

Ego (bahasa Latin untuk "aku") adalah satu-satunya bagian dari kepribadian yang sadar. Itulah yang disadari seseorang ketika mereka berpikir tentang diri mereka sendiri dan apa yang biasanya mereka coba proyeksikan kepada orang lain.

Ego berkembang untuk menjadi penengah antara id yang tidak realistis dan dunia luar yang nyata. Ego merupakan komponen kepribadian yang mengambil keputusan.  Idealnya, ego bekerja berdasarkan akal sehat, sedangkan id bersifat kacau dan tidak masuk akal.
Seiring masuk ke Tomoe Gakuen, kebebasan berekspresi Totto-chan mulai diimbangi oleh ego yang berkembang. Di sekolah ini, ia diberi ruang untuk memilih pelajaran sendiri dan mengekspresikan ide-idenya, tetapi juga mulai belajar memahami batasan dan realitas sosial. Misalnya, ketika ia mulai menyadari pentingnya mendengarkan teman dan menghargai perasaan orang lain. Di sinilah ego bekerja sebagai penengah antara keinginan bebasnya dengan lingkungan sekitarnya, membuat Totto-chan tetap bisa mengekspresikan diri dengan cara yang lebih sesuai dan diterima oleh orang lain. Berikut kutipannya:

“Tapi Totto-chan tidak menangis. Ia khawatir kalau ia menangis, Yasuaki-chan mungkin akan ikut menangis. Akhirnya Totto-chan memegangi tangan kawannya yang jari-jarinya saling melekat akibat sakit polio. Telapak tangan Yasuaki-chan lebih besar dari telapak tangan Totto-chan dan jari-jarinya lebih panjang. Lama gadis cilik itu memegangi tangan kawannya. Kemudian ia berkata, “Berbaringlah. Akan kucoba menarikmu ke sini.” (GCDJ, 2012:83)

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Yasuaki-chan merupakan anak yang memiliki pertumbuhan tubuh yang tidak sempurna. Tubuhnya jauh lebih kecil dari teman-teman sebayanya. Lengan dan tungkai kakinya sangat pendek dan melengkung ke dalam, tapi bahunya kekar. Terlahir sebagai anak yang memiliki pertumbuhan fisik tidak normal membuat Yasuaki-chan memiliki rasa kurang percaya diri.

Usaha Totto-chan pun berhasil dapat menarik tangan Yasuaki-chan dan mereka pun sampai di lekuk cabang pohon. Totto-chan memiliki rasa empati kepada temannya sehingga timul rasa belas kasihan terhadap kondisi tersebut sehingga timbul rasa ingin melindungi. Terlihat pada saat ia dapat membantunya untuk menaiki cabang pohonnya tersebut, ia akan menolongnya karena ada rasa iba yang timbul pada dirinya.


3. Permasalahan pada Super Ego Karakter Totto-Chan
Superego menurut Freud adalah komponen moral jiwa, yang mewakili nilai-nilai dan standar sosial yang terinternalisasi. Ia bertentangan dengan keinginan id, yang mengarahkan perilaku menuju kebenaran moral dan menimbulkan rasa bersalah ketika standar tidak terpenuhi.

Superego (bahasa Latin untuk "di atas-aku" atau "di atas ego") menggabungkan nilai-nilai dan moral masyarakat, yang dipelajari dari orang tua dan orang lain. Ia berkembang sekitar 3 – 5 tahun selama tahap falik perkembangan psikoseksual. Superego berkembang selama masa kanak-kanak awal, usia 3-6 tahun (ketika anakmengidentifikasi diri dengan orang tua sesama jenis) dan bertanggung jawab untukmemastikan standar moral dipatuhi. Melalui proses ini, jiwa anak menyerap (menyerap)aturan-aturan orang tua: “Kamu boleh” dan “Kamu tidak boleh.”

Superego beroperasi berdasarkan prinsip moralitas dan memotivasi kita untuk berperilaku dalam cara yang bertanggung jawab dan dapat diterima secara sosial. Superego dipandang sebagai pemberi penghargaan (perasaan bangga dan puas) dan hukuman (perasaan malu dan bersalah), tergantung pada bagian mana (ego-deal atau kesadaran) yang diaktifkan.

Lingkungan Tomoe Gakuen yang hangat dan penuh pengertian juga menumbuhkan superego dalam diri Totto-chan. Ia mulai memahami nilai-nilai moral dan pentingnya memperhatikan orang lain. Dalam kebebasan berekspresi yang ia nikmati, tumbuh pula kesadaran bahwa tidak semua keinginan harus dituruti jika itu melukai atau mengganggu orang lain. Ia belajar menunjukkan empati, menghargai teman yang berbeda, dan menyadari bahwa kebebasan yang sejati juga mengandung tanggung jawab. Superego ini menjadi pondasi bagi cara Totto-chan mengekspresikan  diri secara lebih matang dan penuh pertimbangan. Berikut kutipannya:

“Sejak saat itu Totto-chan harus mendengarkan lawakan radio secara diam-diam jika Mama dan Papa sedang tidak di rumah.” (GCDJ, 2008:64)

Dari data di atas terdapat Superego yang dimana Totto-chan tidak bisa memahami apa yang dimaksud keinginan Mama. Superego di dorong oleh represi yang selalu menghindar ketidaknyamanan untuk dilarang oleh orang lain termasuk orang tua sendiri.

Dapat disimpulkan bahwa Superego yang baik menyatakan bahwa sikap Totto-chan tidak bisa di percaya oleh Mama untuk mendengarkan radio lagi, dikarenakan Mama takut Totto-chan melakukan hal-hal atau ucapan atas mendengarkan radio tersebut.


1. Kesimpulan

Analisis terhadap karakter Totto-chan dalam novel Totto-chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud menunjukkan bahwa perkembangan kepribadian Totto-chan sangat dipengaruhi oleh tiga struktur utama jiwa: id, ego, dan superego.

1) Id Totto-chan tercermin dalam dorongan naluriah dan spontan yang ditunjukkannya, seperti rasa ingin tahu, kebebasan berekspresi, dan tindakan impulsif yang belum dipengaruhi oleh norma sosial.

2) Ego Totto-chan mulai berkembang seiring dengan pengalamannya di lingkungan sekolah Tomoe Gakuen, di mana ia belajar menyeimbangkan keinginannya dengan realitas sosial, serta mulai memahami pentingnya menghargai perasaan orang lain.

3) Superego Totto-chan tumbuh melalui interaksi dengan lingkungan yang penuh kasih dan pengertian, sehingga ia mulai memahami nilai moral, tanggung jawab, serta belajar membedakan antara benar dan salah berdasarkan standar sosial yang diajarkan oleh orang tua dan lingkungan sekolah.

Secara keseluruhan, karya ini menunjukkan bahwa karakter Totto-chan merupakan gambaran perkembangan psikologis anak yang sehat dan dinamis, serta menjadi contoh bagaimana lingkungan yang suportif dapat membantu membentuk kepribadian anak secara utuh dalam konteks teori Freud.


Penulis: 
Haziq Akma Anggara
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas



Referensi:
https://www.simplypsychology.org/psyche.html

Inas, RR Keisha Putri. "Kepribadian Anak Dalam Novel" Gadis Cilik Dijendela" Karya Tetsuko Kuroyanagi (Kajian Psikologi Sastra Sigmund Freud)."

Nilai-nilai Pendidikan pada Novel Totto-Chan Gadis di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi

0
 



Campusnesia.co.id - Secara umum pendidikan ialah sebuah proses atau usaha seseorang untuk mengembangkan potensi orang lain dengan melakukan pengajaran, pelatihan, dan penelitian. Menurut Purwanto (2016:46) tujuan pendidikan diciptakan untuk dapat dicapai dalam proses belajar mengajar. Hasil belajar merupakan pencapaian tujuan pendidikan pada siswa yang mengikuti proses belajar mengajar. Tujuan pendidikan ialah bersifat ideal, sedang hasil belajar bersifat aktual. Hasil belajar merupakan realisasi tercapainya tujuan pendidikan, sehingga hasil belajar yang diukur sangat tergantung kepada tujuan pendidikannya.

Sistem pendidikan adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk melaksanakan proses belajar mengajar guna mencapai tujuan agar pelajar dapat secara aktif mengembangkan potensi dalam dirinya yang dibutuhkan untuk dirinya sendiri dan masyarakat. Tujuan dari sistem pendidikan adalah untuk meningkatkan potensi dan memperdayakan individu dengan lebih efektif. Dengan tujuan ini, diharapkan individu yang memiliki pendidikan baik dapat memiliki kreativitas, pengetahuan, kepribadian, kemandirian, dan menjadi sosok yang lebih bertanggung jawab. 

Menurut (Darman, 2017), pendidikan sangatlah krusial bagi setiap individu, dan melalui pendidikan, dapat tercipta manusia yang cerdas secara intelektual serta mampu mengembangkan aspek spiritualnya. Pendidikan juga memiliki nilai serta kontribusi yang sangat besar dan berarti dalam meningkatkan kualitas suatu negara. Kualitas sebuah negara tergantung pada tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa. 

Pendidikan yang diterapkan dalam Novel Totto-Chan di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi, membawakan sebuah pendidikan yang aneh dan unik pada zaman tersebut. Dimana para murid dibebaskan berekspresi dan mempelajari hal yang ingin mereka inginkan.


1.  Latar Belakang Pengarang

Tetsuko Kuroyanagi lahir pada 9 Agustus 1933 di Tokyo, Jepang. Ia berasal dari keluarga dengan latar belakang seni, di mana ayahnya adalah seorang pemain biola dan guru besar. Semasa kecil, Tetsuko memiliki nama panggilan Totto-chan dan pernah bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah dasar yang unik dan didirikan oleh pendidik Sosaku Kobayashi selama Perang Dunia II. Ia awalnya bercita-cita menjadi penyanyi opera dan belajar di Tokyo College of Music, namun kemudian beralih ke dunia akting dan televisi, menjadi aktris dan pembawa acara yang sangat terkenal di Jepang.

Novel Totto-Chan Gadis di Jendela Karya Testsuko Kuroyanagi merupakan novel semi autobiografi yang menggambarkan cerita masa kecilnya belajar pada sebuah sekolah unik dengan gerbong kereta bekas sebagai ruang kelasnya. Dalam kesehariannya belajar di Tomoe Gakuen, Totto-Chan mendapatkan berbagai pengalaman luar biasa dalam hidupnya. Novel ini menjadi bestseller di Jepang dan diterjemahkan ke banyak bahasa, menggambarkan nilai-nilai pendidikan dan kenangan masa kecil Tetsuko yang hangat dan penuh makna.



2. Pendidikan Masyarakat 

Pendidikan masyarakat dalam novel Totto-chan karya Tetsuko Kuroyanagi mencerminkan kondisi pendidikan Jepang pada masa Perang Dunia II, di mana sistem pendidikan masih kaku dan menekankan hafalan serta disiplin ketat. Namun, novel ini juga menggambarkan sebuah sekolah unik, Tomoe Gakuen, yang berbeda dari sistem pendidikan konvensional saat itu. Sekolah ini memberikan kebebasan berekspresi kepada anak-anak dan menekankan pengembangan karakter serta kreativitas, yang sangat kontras dengan pendidikan formal yang cenderung menekan inisiatif dan rasa tanggung jawab sosial masyarakat Jepang pada masa itu.

Setelah Perang Dunia II, Jepang mengalami reformasi pendidikan yang signifikan sebagai respons terhadap kegagalan masa lalu dan pendudukan Sekutu. Sistem pendidikan yang baru menekankan pendidikan dasar selama enam tahun dan pendidikan menengah selama tiga tahun yang wajib, dengan tujuan membangun sumber daya manusia yang berpengetahuan luas dan memiliki keterampilan sosial konkret. Filosofi pendidikan bergeser dari hafalan dan disiplin ketat menjadi pembentukan karakter, kerja sama, dan pengembangan kemampuan berpikir kritis. Hal ini mencerminkan perubahan besar dalam pendidikan masyarakat Jepang yang berusaha memulihkan mental dan kualitas hidup bangsa pasca perang, sebagaimana juga tercermin dalam pengalaman pendidikan Totto-chan di sekolah yang progresif tersebut.


3. Analisis Pendidikan Anak dari Carl Rogers dalam Novel Totto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi

Carl Rogers menekankan pentingnya penghargaan terhadap individu, kebebasan untuk belajar, dan lingkungan yang mendukung perkembangan pribadi. Rogers percaya bahwa setiap individu memiliki potensi untuk belajar dan berkembang secara alami. Berikut analisis pendidikan anak dari Carl Rogers dalam novel Totto Chan :


a. Penerimaan Tanpa Syarat (Unconditional Positive Regard)
Carl Rogers menekankan pentingnya penerimaan tanpa syarat terhadap individu, yang membuat anak merasa dihargai apa adanya tanpa takut dihakimi atau dikritik1. Dalam Totto-chan, guru Kobayashi menerapkan prinsip ini dengan menerima Totto-chan apa adanya, meskipun ia berbeda dari anak-anak lain dan sering dianggap nakal oleh sekolah sebelumnya. Contohnya, Kobayashi tidak memarahi Totto-chan, melainkan memahami keunikannya dan membimbingnya secara lembut.

“Kobayashi-sensei selalu menyambutku dengan senyuman dan berkata, ‘Kamu boleh jadi dirimu sendiri di sini.’”

Kalimat ini menggambarkan penerimaan tanpa syarat yang membuat Totto-chan merasa nyaman dan diterima.

b. Penghargaan terhadap Keunikan dan Potensi Anak
Rogers percaya setiap anak memiliki keunikan dan potensi yang berbeda, sehingga pendidikan harus menghargai dan menyesuaikan cara belajar anak sesuai dengan minat dan kebutuhannya12. Di Tomoe Gakuen, Totto-chan diajarkan dengan metode yang tidak kaku, seperti belajar di kereta tua dan bebas bereksplorasi, yang mendukung kreativitas dan rasa ingin tahunya.

“Di sekolah Tomoe, aku bisa belajar sambil bermain, mengeksplorasi alam, dan bertanya apa saja yang aku ingin tahu.”

Ini menunjukkan bagaimana lingkungan belajar yang menghargai keunikan anak mendorong motivasi intrinsik belajar.


c. Motivasi Intrinsik dan Pembelajaran yang Bermakna
Menurut Rogers, motivasi belajar yang paling efektif berasal dari dalam diri anak (motivasi intrinsik), yang muncul ketika anak merasa bebas dan memiliki kontrol dalam proses belajarnya. Di novel, Totto-chan tidak dipaksa untuk belajar dengan cara yang membosankan, melainkan didorong untuk aktif dan menemukan jawaban sendiri, sehingga ia termotivasi secara alami.

“Aku belajar bukan untuk nilai, tapi karena aku ingin tahu dan senang mencoba hal baru.”
Kalimat ini mencerminkan motivasi intrinsik yang ditekankan Rogers.

d. Guru sebagai Fasilitator dan Hubungan Positif
Rogers menegaskan bahwa hubungan guru dan murid yang penuh empati, penghargaan, dan penerimaan tanpa syarat adalah dasar pembelajaran yang efektif15. Kobayashi-sensei berperan sebagai fasilitator yang mendukung Totto-chan, bukan sebagai otoritas yang menekan.

“Sensei selalu mendengarkan ceritaku dan membantuku tanpa memaksakan kehendaknya.”
Ini menggambarkan hubungan positif yang mendorong perkembangan Totto-chan secara menyeluruh.

e. Penekanan pada Proses Belajar, Bukan Hasil Akhir
Teori Rogers menekankan bahwa proses pembelajaran lebih penting daripada hasil akhir atau nilai1. Di Tomoe Gakuen, anak-anak diberi kebebasan untuk melakukan kesalahan dan belajar dari pengalaman, yang membangun rasa percaya diri dan kemandirian.

“Di sini, aku tidak takut salah karena semua kesalahan adalah bagian dari belajar.”
Ini sesuai dengan prinsip Rogers yang menghargai proses belajar sebagai pengalaman bermakna.

Novel Totto-chan sangat menggambarkan prinsip-prinsip teori belajar humanistik Carl Rogers, terutama dalam hal penerimaan tanpa syarat, penghargaan terhadap keunikan anak, motivasi intrinsik, hubungan guru-murid yang positif, serta penekanan pada proses belajar. Pendekatan pendidikan yang humanistik ini membuat Totto-chan berkembang secara optimal, merasa dihargai, dan termotivasi untuk belajar dengan sukarela.


Novel Totto-Chan: Gadis di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi menggambarkan nilai-nilai pendidikan yang humanis dan progresif, yang sejalan dengan teori Carl Rogers mengenai pentingnya penerimaan tanpa syarat, penghargaan terhadap keunikan anak, serta pembelajaran yang berpusat pada motivasi intrinsik dan hubungan positif antara guru dan murid. 

Melalui pengalaman belajar Totto-chan di sekolah Tomoe Gakuen, novel ini menunjukkan bahwa pendidikan yang membebaskan dan mendukung potensi individu dapat membentuk pribadi yang percaya diri, mandiri, dan kreatif. Kisah ini menjadi cerminan bahwa pendidikan yang ideal bukan hanya soal hasil akademik, tetapi juga proses yang menghargai pertumbuhan manusia secara utuh.


Penulis:
Marsanabila Rifa Idanta
Mahasiswa Program Studi Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas




Referensi:

Baringbing, David Bachiel. Teori Belajar Menurut Carl Rogers. https://www.scribd.com/document/278935973/Teori-Belajar-Menurut-Carl-Rogers

Umam, Muchamad Chairul (2019) Implementasi Teori Belajar Humanistik Carl R. Rogers Pada Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Vol. 5 No. 2 (247-264). Institut Agama Islam Negeri Salatiga. file:///C:/Users/Marsanabila%20rifa/Downloads/irja,+Section+editor,+MUCHAMAD+CHAIRUL+UMAM.pdf

Ong, Susy. Reformasi Pendidikan di Jepang Pasca Perang Dunia II. Universitas Indonesia.chrome- extension://efaidnbmnnnibpcajpcglclefindmkaj/https://lmsspada.kemdiktisaintek.go.id/pluginfile.php/79977/mod_resource/content/2/Reformasi%20Pendidikan%20di%20Jepang%20Pasca%20PD.pdf

(2010) Biografi Tetsuko Kuroyanagi (Totto Chan). Ahmadijind.blogspot. https://ahmadihind.blogspot.com/2010/06/biografi-tetsuko-kuroyanagi-totto-chan.html

Biografi Tetsuko. Scribd. https://www.scribd.com/document/359505961/Biografi-Tetsuko

Santosa, Sedya. Hidayat, wahyu (2024). Memahami Konsep Belajar Anak Usia Dasar : Studi Analisis Teori Belajar Carl Rogers Serta Penerapannya di Sekolah Dasar. Magister Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia. file:///C:/Users/Marsanabila%20rifa/Downloads/Article+2_WahyuHidayat_June_2024.pdf

Antara Ingatan dan Kehilangan: Tinjauan Psikologi Sastra dalam Novel The Memory Police

0
 



Campusnesia.co.id - Sastra merupakan gambaran kompleks dari kehidupan manusia. Ia tidak hanya menyoroti tindakan nyata, tetapi juga memperlihatkan kondisi batin yang sering tersembunyi. Salah satu pendekatan untuk memahami kedalaman ini adalah psikologi sastra, yang menelaah kondisi mental tokoh-tokoh, konflik batin, serta trauma dalam karya sastra. Salah satu novel yang menarik untuk dikaji dari sudut ini adalah The Memory Police (1994), karya Yoko Ogawa, pengarang Jepang yang dikenal dengan gaya narasi melankolis dan nuansa surealis.

Novel ini mengisahkan tentang masyarakat di sebuah pulau tanpa nama yang diawasi oleh lembaga bernama Memory Police. Di sana, berbagai benda tiba-tiba “menghilang”, tidak hanya secara fisik tetapi juga dari ingatan orang-orang. Mereka yang tetap mengingat dianggap sebagai ancaman. Tokoh utama mengalami tekanan psikologis hebat di tengah kondisi ini. Oleh karena itu, pendekatan psikologi sastra sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana jiwa manusia bereaksi terhadap tekanan sosial dan represi yang sistematis.


Gambaran Pengarang novel, Tokoh Cerita, dan Analisis

1. Yoko Ogawa: Pengarang dan Gaya Penulisan

Yoko Ogawa adalah penulis Jepang yang lahir di Okayama pada 30 Maret 1962. Ia mulai berkarya sejak 1980-an dan telah menerbitkan berbagai novel, kumpulan cerpen, dan esai. Lulusan Universitas Waseda ini telah meraih banyak penghargaan sastra, termasuk Akutagawa Prize dan Yomiuri Prize.

Karya-karya Ogawa menonjol karena kemampuannya menggambarkan kesunyian, kehilangan, serta trauma melalui gaya bahasa yang lembut namun menghanyutkan. Ia kerap menyoroti sisi batin manusia dan absurditas kehidupan modern. The Memory Police, salah satu karya terkenalnya, menjadi contoh nyata bagaimana ia membangun dunia fiktif yang sunyi, namun menyimpan teror psikologis yang dalam. Novel ini berhasil masuk nominasi International Booker Prize 2020 dan dianggap sebagai representasi dari ancaman terhadap memori dan identitas manusia di bawah kekuasaan represif.


2. Tokoh dalam novel

Dalam The Memory Police, Yoko Ogawa menghadirkan Tokoh utama seorang penulis perempuan yang tidak diberi nama. Ia hidup dalam masyarakat yang perlahan kehilangan berbagai benda dari kehidupan mereka, dan seiring itu, ia pun mulai kehilangan keterikatannya terhadap dunia. Ketika benda-benda hilang, ingatan tentangnya juga terhapus, menciptakan kekosongan yang perlahan-lahan menggerogoti jati dirinya.

Tokoh penting lainnya adalah R, editor sang penulis, yang masih dapat mengingat semua hal yang telah “dihapus.” Ia menjadi simbol dari keteguhan dan perlawanan terhadap lupa. Penulis menyembunyikannya sebagai bentuk resistensi batin terhadap sistem. Selain itu, ada juga pria tua - teman keluarga - yang membantu menjaga R, merepresentasikan solidaritas dan kemanusiaan yang tersisa di tengah situasi suram. Memory Police sendiri digambarkan sebagai kekuatan otoriter tanpa identitas jelas, yang secara sistematis menghapus elemen-elemen memori dan makna dari kehidupan masyarakat.


3. Analisis Psikologis

a. Trauma Kolektif dan Represi Psikis
Tokoh utama mengalami tekanan mental yang berat akibat kehilangan yang tak hanya bersifat material, tetapi juga psikis. Dalam perspektif psikoanalisis Freud, hilangnya benda-benda tersebut mencerminkan proses represi yang mendalam - pemaksaan untuk melupakan demi bertahan hidup. Seiring waktu, hal ini menimbulkan trauma kolektif yang melibatkan seluruh masyarakat, menghapus memori, identitas, dan makna hidup.

b. Relasi Tokoh dan Perlawanan Batin
R, sebagai satu-satunya tokoh yang mengingat, menjadi lambang dari perlawanan batin terhadap otoritas. Dalam pandangan Jung, ia mencerminkan anima dari sang penulis - bagian dari jiwanya yang masih berusaha mengingat. Hubungan mereka bukan hanya fisik, tetapi juga psikis, mencerminkan usaha mempertahankan sisi kemanusiaan yang tersisa.

c. Simbolisme Kehilangan dan Identitas Diri
Kehilangan dalam novel ini tak sekadar benda, melainkan makna dan memori yang menyertainya. Ketika ingatan akan suatu hal hilang, maka maknanya pun lenyap dari kesadaran tokoh. Penulis sebagai tokoh utama lambat laun bahkan kehilangan kemampuan menulis, yang menjadi simbol hilangnya ekspresi diri dan kreativitas. Pandangan eksistensial Viktor Frankl relevan di sin bahwa makna hidup terikat pada pengalaman dan ingatan. Ketika semua itu dipaksa hilang, maka eksistensi manusia menjadi hampa.



Penulis:
Fasya Hazhiyah 
Mahasiswa Program Studi Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
\Universitas Andalas



Daftar Pustaka:

Endraswara, Suwardi. Psikologi Sastra: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003.

Wellek, René, and Austin Warren. Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World, 1949.

Freud, Sigmund. The Interpretation of Dreams. Translated by A.A. Brill. New York: Macmillan, 1913.

Kusnadi, Dedi. “Teori Psikoanalisis dalam Kajian Sastra: Penerapan pada Karakter dan Alur.” Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, vol. 5, no. 2, 2017, pp. 112–125.

Penerimaan dan Toleransi terhadap Perbedaan dalam Novel Totto-chan Karya Tetsuko Kuroyanagi: Analisis Dengan Teori Abraham Maslow dan Carl Rogers

0
 


Campusnesia.co.id - Esai ini menganalisis tema penerimaan dan toleransi terhadap perbedaan dalam Totto-chan: The Little Girl at the Window karya Tetsuko Kuroyanagi. Novel ini menghadirkan lingkungan pendidikan yang unik-Tomoe Gakuen - yang merangkul keberagaman, menghargai individualitas setiap anak, dan mendorong empati dan rasa saling menghormati. 

Dengan menggunakan teori psikologi humanistik Carl Rogers dan Abraham Maslow, serta teori sastra sosiologis Wellek dan Warren, studi ini menyoroti bagaimana sastra dapat berfungsi sebagai alat untuk mencerminkan dan mempromosikan nilai-nilai inklusif dalam pendidikan. Temuan ini menunjukkan bahwa lingkungan belajar yang inklusif dan empatik dapat secara signifikan mendukung perkembangan emosional, harga diri, dan aktualisasi diri anak-anak. Novel ini tidak hanya menceritakan kisah pribadi tetapi juga berfungsi sebagai kritik sosial dan visi penuh harapan untuk sistem pendidikan di masa depan.


1. Pendahuluan
Pendidikan merupakan fondasi utama dalam pembentukan karakter manusia sejak usia dini. Namun, sistem pendidikan konvensional sering kali menekankan keseragaman dan kepatuhan, tanpa mempertimbangkan keberagaman karakter dan kebutuhan setiap anak. Dalam konteks ini, novel Totto-chan: The Little Girl at the Window karya Tetsuko Kuroyanagi menghadirkan narasi yang menyentuh dan menyegarkan tentang pentingnya penerimaan dan toleransi terhadap perbedaan dalam dunia pendidikan.

Novel ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi Tetsuko Kuroyanagi saat bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah progresif yang dipimpin oleh Sosaku Kobayashi. Di sekolah ini, murid-murid yang berbeda, baik dari segi fisik, psikologis, maupun latar belakang sosial, diterima dengan tangan terbuka dan didampingi dengan penuh kasih sayang.

Tema ini berfokus pada “Penerimaan dan toleransi terhadap perbedaan dikonstruksi” dalam novel Totto-chan, dengan menggunakan pendekatan teori humanistik dari Carl Rogers dan Abraham Maslow, serta teori sastra sosial dari Wellek dan Warren.


2. Pembahasan 

2.1. Tokoh Kepala Sekolah Kobayashi sebagai Simbol Penerimaan
Kepala Sekolah Kobayashi merupakan tokoh sentral dalam narasi pendidikan alternatif yang ditawarkan dalam novel. Ia adalah figur pendidik yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki empati tinggi dan wawasan luar biasa tentang psikologi anak. Ketika Totto-chan datang ke sekolah barunya dan berbicara tanpa henti selama berjam-jam, Kobayashi tidak menghentikannya, melainkan mendengarkan dengan sabar.

“She kept talking for four hours. The headmaster just listened quietly.” (Kuroyanagi, 1981)

Kutipan ini memperlihatkan bahwa Kobayashi memberi ruang ekspresi tanpa syarat kepada anak. Dalam teori Carl Rogers, hal ini disebut sebagai unconditional positive regard, yaitu suatu sikap di mana seseorang diterima dan dihargai tanpa prasyarat. Rogers menekankan bahwa dalam iklim seperti ini, individu - terutama anak-anak - dapat mengembangkan potensi diri secara optimal karena merasa aman, dihargai, dan dimengerti.

Lebih jauh, pendekatan ini juga menyentuh hierarki kebutuhan Maslow, khususnya pada tingkatan ketiga (kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki) serta keempat (harga diri). Totto-chan, yang sebelumnya merasa ditolak oleh sistem sekolah lamanya, kini menemukan tempat yang menerimanya secara utuh, tanpa prasangka atau stigma. Dari aspek ini, Kobayashi menjadi manifestasi dari sistem pendidikan yang toleran terhadap keunikan pribadi, sekaligus menjadi simbol kritik terhadap pendidikan konvensional yang seragam.

Dalam perspektif sastra sosial Wellek dan Warren, sosok Kobayashi dan sekolah Tomoe Gakuen mencerminkan cita-cita perubahan sosial melalui sastra. Melalui penggambaran pendidikan inklusif ini, novel ini menyuarakan bahwa masyarakat yang adil dimulai dari pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan.


2.2. Inklusi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dan Perbedaan Sosial
Aspek kedua yang menonjol adalah bagaimana Tomoe Gakuen menerima dan melibatkan anak-anak dengan disabilitas dan dari latar sosial berbeda. Salah satu tokoh penting yang menonjol adalah Yasuaki-chan, seorang anak penderita polio yang memiliki keterbatasan fisik. Di sekolah lain, ia mungkin akan dianggap sebagai "beban", tetapi di Tomoe ia dilibatkan dalam kegiatan dan diperlakukan sebagai individu yang setara.

“Kobayashi-sensei thought up ways for Yasuaki-chan to take part in everything, and the children naturally followed his lead.” (Kuroyanagi, 1981)

Kutipan ini menunjukkan bahwa toleransi dan penerimaan bukan hanya nilai yang diajarkan secara verbal, tetapi juga diterapkan secara nyata dalam sistem dan kebiasaan sekolah. Inisiatif kepala sekolah dalam melibatkan Yasuaki-chan menumbuhkan budaya empati dalam diri para siswa, sehingga mereka belajar untuk menghormati perbedaan sejak dini.

Dalam teori Abraham Maslow, perlakuan seperti ini memenuhi kebutuhan akan cinta, penghargaan, dan yang paling tinggi aktualisasi diri, karena anak-anak seperti Yasuaki-chan tidak hanya diterima, tetapi juga diberi peran dan kesempatan untuk berkembang. Sedangkan dalam perspektif Carl Rogers, perlakuan ini merupakan bentuk empathy dan congruence (keaslian sikap guru terhadap murid), yang menjadi syarat mutlak bagi pertumbuhan pribadi yang sehat.

Melalui lensa teori sastra sosial, penggambaran ini adalah bagian dari upaya sastra untuk mengkritik sistem sosial yang eksklusif dan diskriminatif, serta menghadirkan dunia alternatif di mana perbedaan bukan untuk disingkirkan, tetapi untuk dirayakan.


2.3. Kebebasan Mengekspresikan Diri sebagai Penghormatan terhadap Keunikan Anak
Di Tomoe Gakuen, murid-murid memiliki kebebasan memilih mata pelajaran yang ingin mereka mulai di pagi hari, serta diperbolehkan mengekspresikan minat dan rasa ingin tahu mereka tanpa dibatasi oleh aturan kaku. Totto-chan, misalnya, suka membuka dan menutup laci mejanya karena penasaran dengan fungsinya—hal yang sebelumnya dianggap aneh oleh sekolah lamanya.

“You can study what you like first. That’s the rule here.” (Kuroyanagi, 1981)

Metode ini adalah cerminan dari pendekatan pendidikan yang berpusat pada anak, bukan pada kurikulum. Dalam teori Maslow, pendekatan seperti ini memungkinkan anak untuk mencapai aktualisasi diri, karena mereka bisa memilih, mengeksplorasi, dan mengalami secara langsung apa yang mereka minati. Sementara itu, dalam teori Rogers, kebebasan ini adalah bentuk dari pengakuan terhadap eksistensi individu sebagai pribadi yang memiliki kehendak dan arah pertumbuhan alami.

Penghargaan terhadap keunikan anak ini menonjol sebagai perwujudan nyata dari toleransi terhadap keragaman kepribadian, gaya belajar, dan ekspresi diri, sesuatu yang jarang ditemukan dalam sistem pendidikan tradisional.

Dari perspektif Wellek dan Warren, penggambaran kebebasan belajar ini menunjukkan peran sastra dalam mempromosikan cita-cita masyarakat yang mendukung otonomi individu, terutama anak-anak, sebagai bagian dari transformasi sosial yang lebih luas.


3. Penutup
Tema penerimaan dan toleransi terhadap perbedaan dalam novel Totto-chan memberikan gambaran nyata tentang pentingnya pendidikan yang berpihak pada kemanusiaan. Melalui pendekatan humanistik Carl Rogers dan Abraham Maslow, terlihat bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari capaian akademik, tetapi juga dari sejauh mana pendidikan itu memenuhi kebutuhan emosional dan psikologis anak-anak.

Dengan pendekatan teori sastra sosial, novel ini dapat dipahami sebagai bentuk refleksi dan kritik terhadap sistem yang gagal memahami keunikan anak. Totto-chan bukan hanya kisah seorang anak yang nakal tetapi menggemaskan; ia adalah representasi dari anak-anak yang tak diberi ruang oleh sistem kaku, namun justru bersinar ketika mereka diterima.

Karya ini tidak hanya penting sebagai literatur, tetapi juga sebagai inspirasi bagi dunia pendidikan, bahwa keberagaman bukan untuk diseragamkan, tetapi untuk dihargai dan dirayakan.


Penulis:
Zakir Maulana Dafi
Mahasiwa Sastra Jepang
Universitas Andalas



Daftar Pustaka:

Kuroyanagi, Tetsuko. (1981). Totto-chan: The Little Girl at the Window. Tokyo: Kodansha International.

Maslow, Abraham H. (1943). “A Theory of Human Motivation.” Psychological Review, 50(4), 370–396.

Maslow, Abraham H. (1970). Motivation and Personality (2nd ed.). New York: Harper & Row.

Rogers, Carl R. (1980). A Way of Being. Boston: Houghton Mifflin.

Rogers, Carl R. (1961). On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy. Boston: Houghton Mifflin.

Wellek, René & Warren, Austin. (1949). Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace and Company.

Nurgiyantoro, Burhan. (2010). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Semi, Atar. (1993). Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Penerimaan Diri dan Kebebasan Berekspresi Dalam Pendidikan Tinjauan Psikologi Sastra dalam Novel Madogiwa No Totto-Chan Karya Tetsuko Kuroyanagi

0
 

Novel Madogiwa no Totto-Chan karya Kuroyanagi Tetsuko

Campusnesia.co.id - Pendidikan merupakan salah satu menjadi fondasi utama untuk seseorang dalam pembentukan, pengembangan karakter, serta kepribadian seseorang. Melalui proses pendidikan setiap individu yang menempuh dunia pendidikan tidak hanya mendapat pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga dapat membentuk identitas diri setiap individu dan akhirnya menemukan tempatnya di dunia. Namun, dikarenakan banyaknya sistem pendidikan yang kaku, sering kali mengakibatkan pengabaian terhadap keberagaman potensi dan kondisi unik yang dimiliki oleh setiap individu yang menempuh jenjang pendidikan. Dalam konteks ini, munculnya pendidikan yang lebih humanistik dan tentunya lebih berbeda dengan kebanyakan sekolah.

Pada tahun 1970, muncul teori pendidikan humanistik. Menurut Mastubu (2003: 136) Kata humanistik pada hakikatnya merupakan sebuah pendekatan dalam dunia pendidikan. Dengan kesimpulan, dalam teori ini pendidikan menyajikan dan menggunakan pendekatan humanistik dalam pengajarannya terhadap para murid yang ada dalam pada novel “Madogiwa no Totto-chan”. Dengan contohnya pada saat Totto memasuki sekolah Tomoe Gakuen, kebanyakan para murid diajarkan bagaimana cara mengembangkan diri dengan keinginan masing-masing serta bagaimana cara menerima suatu perbedaan di antara para murid lainnya.

Terlebih dari pada itu, penerimaan diri kebebasan dalam berekspresi juga menjadi hal yang sangat ditonjolkan dalam novel ini. Dalam ceritanya, anak-anak dibiarkan dengan bebas mengutarakan keinginannya seperti pendapat, mengeksplorasi dunia luar seperti anak-anak kebanyakan meloncat ke usia enam tahun, serta memilih apa pun kegiatan yang mereka sukai. Dengan begini anak-anak dari dalam sudut psikologis dapat berkembang dengan sempurna tanpa adanya hambatan dari luar dan lebih bisa dalam menghargai suatu perbedaan di antara mereka dengan sudut pandang teori humanistik.

Dalam sudut pandang psikologi sastra, Totto merupakan penggambaran yang kuat tentang pertumbuhan psikologis seorang anak yang tumbuh di lingkungan yang penh dengan suportif dan kasih sayang dari tokoh lain. Salah satu tokoh tokoh dalam psikologi sastra yang berkaitan dengan masalah psikologi pada tokoh adalah Abraham Maslow. Psikologi humanistik yang dikemukakan oleh Abraham Maslow dikenal sebagai teori tingkat kebutuhan (hierarchy of needs) (Wulandari dkk, 2017). Menurut Abraham Maslow, kebutuhan manusia terdiri dari lima tingkatan. Manusia selalu berusaha untuk memenuhi dari tingkatan yang paling rendah ke yang paling tinggi, yaitu kebutuhan fisiologis sampai ke tingkatan yang paling tinggi yaitu pada tahap aktualisasi diri (Sumarwan, 2011).



Gambar 1
Teori Hierarki Kebutuhan Maslow
Sumber: https://www.simplypsychology.org/


Dalam pandangan Maslow, pembaca dapat memahami bagaimana sistem pendidikan yang diceritakan dalam novel mampu memenuhi kebutuhan atau mengakomodasikan semua level kebutuhan manusia. Karena, pendidikan yang mengutamakan emosi, ekspresi, dan keberagaman dapat melahirkan individu yang sehat dan kuat dalam psikologis.


Gambaran Pengarang Novel, Pendidikan Jepang, dan Tokoh Cerita

1. Tetsuko Kuroyanagi Selaku Pengarang
Tetsuko Kuroyanagi merupakan seorang aktris Jepang, penulis buku, pembawa acara talk show terkenal di Jepang dan selaku menjadi Goodwill Ambassador untuk UNICEF. Selain itu, dia juga menulis novel tentang “窓ぎわのトットちゃん” pada tahun 1981. Beliau juga mendapatkan piala aktris terbaik yang dipilih oleh “Persatuan Pembuat Skenario Drama ke 1”, “Muktamar Penyiar Wanita se-Jepang”, “Piala TV, dll”. Selain itu pada tahun 1981, terpilih menjadi juara pertama untuk yang keempat kalinya secara berturut-turut sebagai “Pembawa Acara Terbaik”. 

Tetsuko menulis buku perdananya yang berbentuk memoir pada tahun 1981 yaitu “Totto-chan: The Little Girl at the Window”. Judul memoir ini meraih kesuksesan dan menjadi buku terlaris di Jepang. Pada tahun 1984 buku ini pertama kali diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Dorothy Britton dan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela.


2. Pendidikan Jepang
Dalam novel ini mengambil latar pendidikan yang mana terletak pada masa perang pasifik. Pada saat itu pendidikan sangat diajarkan dalam menghargai negara serta menanamkan sifat patriotisme kepada anak. Hal ini menyebabkan ada beberapa anak yang merasa dikekang dengan sistem pemerintahan dan aturan pendidikan di Jepang. 

Keunikan dan perbedaan individualitas sering kali tidak begitu dihargai pada tahun tersebut, yang mana siswa didorong untuk menyesuaikan diri dengan kelompok masing-masing. Ini dapat menyebabkan lonjakan angka penindasan oleh seorang petinggi kepada orang yang memiliki kondisi yang spesial pada saat itu. Selain itu, minimnya ruang untuk berekspresi dan kreativitas dapat memicu anak untuk tidak bebas dalam mengeksplorasi dunianya. Dikarenakan, pendidikan pada zaman tersebut cenderung kaku dan penuh dengan sistem hafalan.



3. Tokoh Totto dalam Novel
Totto-chan selaku tokoh utama dalam novel “Madogiwa no Totto-chan” merupakan penggambaran dari suatu anak yang mempunyai sifat keingintahuan yang tinggi, enerjik, serta memiliki kepribadian yang sangat unik dari orang lain. Dalam awal cerita, ia digambarkan dengan anak yang dianggap bermasalah dengan kutipan.

“Putri Nyonya mengganggu seluruh kelas. Silahkan memindahkannya ke sekolah lain”. (Totto, 1985, 11).

Karena sering Totto dalam melakukan hal yang dapat mengganggu pelajaran berlangsung pada saat jam pelajaran masih berjalan, Ibu guru sudah tidak tahan dengan sifat Totto yang sangat hiperaktif dalam melakukan sesuatu. Dalam sifat Totto yang seperti ini Totto sering kali mendapatkan perlakuan yang tidak disenangi oleh gurunya dengan menyuruh Ibu Totto untuk memindahkannya ke sekolah lain.

Pada Akhir cerita, penggambaran tokoh Totto bagai mencerminkan pentingnya kebebasan berekspresi dalam masa kanak-kanak dengan sering bersahabat dengan anak-anak murid lain walaupun merupakan orang yang difabel (disabilitas) dan memahami penderitaan temannya ketika menangis dengan penuh rasa empati. 


Analisis

a. Kebutuhan Rasa Aman (Psyological Needs)
Dalam teori Abraham Maslow yang kedua, kebutuhan ini merujuk kepada kebutuhan untuk merasa aman dan terlindungi dari segala bahaya baik secara fisik maupun secara emosional. Kebutuhan ini juga merupakan kebutuhan tingkat kedua setelah pemenuhan kebutuhan fisiologis tokoh. Selain itu, kebutuhan kemanan juga mencakup; keamanan fisik, finansial, kesehatan, dan hukum. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi makan akan sulit untuk menaiki tingkat merasa dicintai dan dihargai.

Dalam novel “Madogiwa no Totto-chan”, kebutuhan akan rasa aman dapat dipenuhi di dalam novel ini dengan adanya kutipan:

Nanti kembalikan lagi kepada tempatnya, ya?” (Totto, 1985, 44)

Sebelum menarik kesimpulan, hal yang dilakukan Totto sebelum mendapatkan kata tersebut adalah pada saat waktu dia mencari dompet yang hilang di septic tank, pada saat itu Totto berusaha mencari dompet itu dengan membongkar semua isi septic tank yang ada hingga membuat tanah dari tempat sekolah itu kotor dan bau. Setelah kepala sekolah Kobayashi datang untuk mengecek Totto, alih-alih tidak memarahi Totto dalam melakukan tindakannya, tetapi malah mendukungnya dengan membiarkan dia melakukan perbuatan itu dengan syarat bersihkan kembali sisa septic tank nya.

Hal ini dapat membuktikan bahwa Pak Kobayashi tidak memarahi Totto dalam melakukan pencariannya, biasanya orang mana pun akan marah ketika melihat anak kecil yang bermain kotor-kotoran. Dalam hal ini, Totto telah memenuhi kebutuhan psikologisnya yaitu “Rasa Aman” dari Pak Kobayashi tanpa memarahi dan mengenakan hukuman kepada Totto. 


b. Merasa Dicintai dan Memiliki (Love and Belongings)
Dalam teori Abraham Maslow yang ketiga merujuk kepada kebutuhan manusia untuk merasa dicintai, diterima, dan memiliki ikatan sosial dengan orang lain. Kebutuhan ini berada di tingkat ketiga dalam hirarki setelah kebutuhan fisiologis dan rasa aman. Jikalau kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka seseorang tak dapat untuk melanjutkan ke tingkat Penghargaan Diri (Esteem Needs).

Dalam novel “Madogiwa no Totto-chan”, kebutuhan akan Merasa Dicintai dan Memiliki dapat dipenuhi di dalam novel ini dengan adanya kutipan:

“Anak yang baik. Ayah dan Ibumu pasti Senang”

“Rocky Juga!” (Totto, 1985, 144)

“Kau sebenarnya anak yang baik!” (Totto, 1985, 130)

Pada kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Ibu yang ditemukan uangnya oleh Totto menerima Totto dengan baik dan memuji Totto dengan kata yang sering diucapkan oleh Pak Kobayashi kepadanya. Hal ini menjadikan tokoh Totto mulai merasa dirinya diterima dan dicintai oleh orang-orang di sekitarnya.

Terlebih pada kutipan tersebut mengatakan fakta bahwa anjing Totto yang sangat menyayangi Totto bagaimanapun dan kapan pun serta keluarga Totto sangat menerima dan menyayangi Totto apa yang dia perbuat. Hal ini menandakan Totto telah dicintai dan merasa dimiliki oleh Keluarganya.


c. Penghargaan Diri (Esteem Needs)
Dalam teori keempat dari Abraham Maslow ada penghargaan diri, ini merujuk pada rasa percaya diri, penghargaan pada diri sendiri, dan penghargaan daripada orang lain, seperti pengakuan status, dan kehormatan. Tanpa adanya pemenuhan dari penghargaan diri seseorang, seseorang tidak bisa melanjutkan ke tahap terakhir yaitu tahap aktualisasi diri.

Dalam novel “Madogiwa no Totto-chan”, kebutuhan Penghargaan Diri dapat dipenuhi di dalam novel ini dengan adanya kutipan:

“Oleh orang lain kau dianggap anak nakal karena berbagai sebab. Tapi sebenarnya sifatmu tidak jelek dan kau mempunyai kelebihan-kelebihan.” (Totto, 1985, 13)

“Bapak Menyukai Ini?”

“Ya, Bapak pikir itu bagus!” (Totto, 1985, 111)

Berdasarkan kutipan di atas, menggambarkan Totto-chan yang diangkat harga dirinya oleh Pak Kobayashi yang biasanya Totto dianggap aneh oleh orang luar. Dalam kutipan ini, dapat jelas bagaimana Pak Kobayashi meyakinkan bahwa Totto merupakan anak yang baik dan mempunyai kelebihan-kelebihan tersendiri. Walaupun Totto dapat menyadari maknanya ketika sudah beranjak dewasa, tetapi fakta bahwa Totto itu sudah dihargai secara luar dan dalam oleh Pak Kobayashi dalam melanjutkan Aktualisasi diri Totto. Hal ini dapat memicu Totto untuk menjadi anak yang lebih baik lagi dan terus untuk melangkah kedepan.

Setelah itu, pada kutipan kedua bapak sekolah Kobayashi sangat menghargai bagaimana rambut kepang dari Totto yang sedang di bully oleh seorang murid dari Tomoe Gakuen akan model rambutnya. Dengan begitu, Kepala sekolah langsung memuji bagaimana model rambut Totto demi membuatnya berhenti menangis karna diledek sama orang lain. Hal ini membuat kepribadian dan gaya dari Totto lebih dihargai oleh kepala sekolah.


d. Aktualisasi Diri (Self-Actualization)
Dalam teori kelima dari Abraham Maslow adanya Aktualisasi diri dari seorang tokoh. Ini merupakan puncak dari kebutuhan manusia, yang mempunyai keinginan untuk mencapai potensi penuh dan menjadi individu yang sepenuhnya berkembang, termasuk mengembangkan kelebihan-kelebihan dan kualitas diri.

Dalam novel “Madogiwa no Totto-chan”, kebutuhan Penghargaan Diri dapat dipenuhi di dalam novel ini dengan adanya kutipan:

“Kalau sudah besar nanti, saya akan menjadi guru di sini. Pasti!” (Totto, 1985, 164).

Pada kutipan diatas, karakter Totto mempunyai keinginan untuk mencapai titik potensi pada dirinya yaitu dengan menjadi guru yang akan menyadari seseorang bahwa pendidikan itu tak memandang status dan fisik seseorang. Aktualisasi ini tumbuh pada saat Totto ingin menjadi versi terbaik dari dirinya yaitu dengan menjadi guru di Tomoe Gakuen dengan mempunyai pola pengajaran nya masing-masing. Pada saat itupun Totto berjanji kepada Pak Kobayashi untuk menjadi guru di Sekolah Tomoe. Keinginan dari seorang individu untuk mencapai versi yang lebih baik dari dirinya merupakan kunci dari Aktualisasi diri.


Melalui novel “Madogiwa Totto-Chan” dapat disimpulkan bahwa dalam novel tersebut dapat membuat para pembaca dapat menyaksikan bagaimana pendidikan yang mengedepankan penerimaan diri dan kebebasan berekspresi mampu membentuk kepribadian dan psikologis anak. Tokoh utama yang tumbuh dengan penuh semangat, empatik, dan percaya diri karena dalam berada di lingkungan yang tepat.

Dengan pendekatan dari Abraham Maslow, dapat dilihat bahwa pemenuhan kebutuhan dasar seperti rasa aman, cinta, harga diri, dan aktualisasi diri sangat penting dalam membentuk potensi dan psikologi anak dalam dunia pendidikan. Novel ini juga menjadi kritik terhadap sistem pendidikan Jepang yang kaku atau rigid dan sekaligus menjadi inspirasi bahwa setiap anak berhak untuk berkembang dan tumbuh dalam lingkungan yang selalu menunjang dirinya.



Penulis:
Vierdy Raditya Pratama
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Universitas Andalas



Daftar Pusataka:
Mastubu. 2003. “Teori Pendidikan Humanistik”. Bintang Asia: Jakarta.

Sumarwan, U. (2011). Perilaku konsumen: Teori dan penerapannya dalam pemasaran. Bogor: Ghalia Indonesia.

Wulandari, T., Santoso, H. D., & Ocktarani, Y. M. (2017). Maleficents Personality Changes in Robert Stromberg’s Maleficent. English Language and Literature International Conference (ELLiC) Proceedings, 358–365. http://unimus.ac.id/index.php/ELLIC/view/2619.

Disintegrasi Diri dan Identitas Tinjauan Psikologi Sastra dalam Novel Hisoyakana Kesshou Karya Ogawa Yoko

0
 


Campusnesia.co.id - Identitas merupakan bentuk dari psikologis dan sosial manusia yang dibentuk melalui pengalaman, interaksi, bahkan kesadaran dari individu itu sendiri dan lingkungannya. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, seseorang dapat membentuk kesadaran terhadap dirinya sendiri melalui ingatan, bahasa, simbol, dan hubungan sosial yang dapat menghubungkan manusia dengan masyarakat atau dunia luar. Dalam novel ini, digambarkan dengan tema yang paling mendalam yaitu tentang krisis identitas dan disintegrasi diri. 

Pada tema ini, menggambarkan bagaimana setiap orang dan individu mengalami kehancuran atau kehilangan struktur kepribadiannya karena adanya tekanan yang berasal dari dalam (internal) dan tekanan yang berasal dari luar (Eksternal). Untuk membahas tentang novel Hisoyakana Kesshou yang ditulis oleh Ogawa Yoko dapat menjadi contoh yang kuat tentang bagaimana kekuasaan di suatu tempat yang otoriter dan penghapusan ingatan dapat mengakibatkan hilangnya identitas diri seseorang. 

Selain itu, dalam novel Hisoyakana Keshhou terdapat masyarakat yang enggan bahkan tidak mempunyai daya untuk melawan kekuasaan yang otoriter tersebut. Hal ini dapat mengungkapkan sudah terjadi hilangnya identitas masyarakat tersebut secara perlahan dan menganggap perlakuan dari polisi memori tersebut adalah hal yang biasa terjadi di pulau kecil tersebut. Hal yang paling buruk yang terjadi, mereka akan dipaksa untuk melupakan sesuatu dan lambat laun akan melupakan sesuatu hal tersebut dan bahkan identitas masyarakat tersebut.

Keadaan masyarakat pada cerita tersebut menggambarkan dunia yang kejam dan selalu dikekang tidak adil oleh pemerintah, hal inilah yang disebut dengan distopia. Booker (1994: 22) menjabarkan distopia sebagai istilah yang meliputi bagaimana menyoroti masyarakat dengan pandangan yang imajinatif. Hal ini berfokus kepada bagaimana tidak idealnya masyarakat di suatu tempat yang dikekang oleh suatu sistem pemerintahan dan dicabutnya hak kebebasan serta hak bersuara dalam masyarakat di suatu tempat. Tentunya teori dari Booker sangat berhubungan dengan apa yang digambarkan di dalam cerita novel Hisoyakana Kesshou itu sendiri. Dikarenakan banyaknya terjadi konflik antara masyarakat yang mempunyai ketidakberdayaan untuk melawan terhadap pemerintahan yang otoriter. Hal ini juga berkaitan dengan perampasan dan pencabutan hak-hak kesadaran setiap individu. 

Dalam sudut pandang psikologi sastra, kesadaran setiap individu dapat dinilai dan dianalisis dengan suatu teori dari Jacques Lacan. Dalam tokoh “Aku” merupakan penggambaran yang kuat bagaimana kesadaran dari seorang tokoh “Aku” yang pada awalnya belum tahu apa pun tentang struktur dari masyarakat. Menurut Teori Jacques Lacan (Disampaikan oleh Bowie, 1991: 91) ada tiga tahap utama dalam menganalisis kesadaran seseorang dalam psikologi, Yaitu: Tahap Real, Tahap Imajiner, dan Tahap Simbolik. Hal ini berkaitan bagaimana kesadaran seorang tokoh “Aku” digambarkan di dalam novel Hisoyakana Kesshou


Gambaran Pengarang, Politik Jepang, dan Tokoh Cerita

a. Ogawa Yoko Selaku Pengarang
Ogawa Yoko lahir pada 30 Maret 1962 di Prefektur Okayama, Jepang. Ogawa bekerja sebagai penulis novel, penulis cerpen, dan penulis esai. Selain itu Ogawa mendapatkan “Akutagawa Prize” pada tahun 1990.

Ogawa Yoko merupakan seorang pengarang dari novel “Hisoyakana Kesshou”. Sejak 1988, Ogawa Yoko sendiri telah menerbitkan lebih dari lima karya fiksi serta non-fiksi. Pada tahun 2006, Ogawa Yoko juga menulis dalam buku yang berjudul “Pengantar Matematika Paling Elegan di Dunia” dengan pertnernya yaitu Masahiko Fujiwara seorang ahli dalam bidang matematika sebagai dialog tentang indahnya angka yang luar biasa.

Ogawa Yoko dikatakan mampu untuk mengungkapkan cara kerja psikologi manusia yang paling halus dalam prosa yang terbilang lembut namun tajam. 



b. Kondisi Politik Jepang pada Saat Itu
Kondisi yang ada pada novel dapat dikaitkan dengan keadaan Jepang pada saat Era Taisho (1912). Walaupun pada saat Era Taisho sudah terjadi penghapusan hierarki sosial (士農工商), namun masyarakat tetap tidak bisa menampilkan diri di hadapan ke pemerintahan dikarenakan pada saat itu para petinggi dan kelas atas di Jepang sedang berkuasa di dalam politik pemerintahan. Kedudukan mereka juga tidak dapat digoyahkan karena adanya dukungan dari pemerintah setempat.

Masyarakat pada Era Taisho hanya menurut dan mau tidak mau diatur oleh kalangan atas yang didukung oleh kekuasaan kaisar pada saat itu. Bahkan, serikat tani dan buruh tidak dapat tampil degan bebas dikarenakan selalu dihalang dan dilarang oleh penguasa. Akibat larangan dari petinggi, banyak masyarakat yang ingin melawan rezim ke pemerintahan kaisar. Tetapi pada ujungnya, masyarakat pada saat itu terlalu takut untuk melawan pemerintahan Jepang yang mengakibatkan kemiskinan hebat melanda masyarakat. Latar belakang masyarakat untuk melawan pada saat itu adalah tidak adilnya para pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang berdampak signifikan kepada masyarakat kelas bawah. 


c. Tokoh “Aku” dalam Novel
Tokoh “Aku” selaku tokoh utama dalam novel “Hisoyakana Keshhou” merupakan penggambaran suatu tokoh yang peduli dengan orang lain yang diakibatkan dari masa lalunya. Pada saat itu apa yang disayanginya akan hilang dalam sekejap mata. Maka dari itu, tokoh “Aku” memiliki karakteristik yang peduli terhadap sesuatu dengan bukti kutipan.

“Keesokan harinya, tanpa bertanya kepada R terlebih dahulu, aku memutuskan mengunjungi markas besar Polisi Kenangan.” (Ogawa Yoko, 108).

“Makanlah makanannya selagi panas. Aku minta maaf karena memberimu sup yang sama setiap hari, tetapi hasil tahun ini jelek dan tidak ada sayuran lain selain kentang dan bawang dari tahun lalu.” (Ogawa Yoko, 101).

Pada kutipan pertama, menggambarkan kepedulian tokoh “Aku” yang ingin menyelamatkan editor R dengan cara menyelamatkan paman tua dari interogasi Polisi Memori yang akan menjadi senjata ampuh untuk melacak keberadaan R. Tentunya ini sangat menggambarkan bagaimana pedulinya “Aku” terhadap R dan Paman Tua secara tidak langsung dari tangan Polisi Memori.

Pada kutipan kedua, membuktikan bahwa tokoh “Aku” hanya bisa memberikan sup kepada R yang sedang menginap di ruangan rahasia yang dingin dan tanpa makanan. Makanan pada musim dingin saat itu sangatlah langka sehingga masyarakat pada saat itu sangat susah untuk memberikan keluarga mereka makan karena musim dingin yang melanda saat itu. Ini sangat menggambarkan bagaimana kepedulian tokoh “Aku” kepada R selaku editornya dengan memberikan makan walau sedang terjadi krisis makanan. 


Analisis

a. Tahap Real (Real Phase)
Merupakan tahapan realitas, di mana seorang bayi selalu merasakan sesuatu yang penuh, utuh, dan tanpa kekurangan. Merupakan fase yang mana tak dapat diungkapkan, dipahami, bahkan disimbolkan. Dikarenakan seorang bayi tak dapat menjelaskan rasanya kehilangan dan kesedihan. Pada tahap ini, dapat dianalisis dengan kutipan.

“Apakah rasanya menakutkan?” (Ogawa Yoko, 7)

“Para peneliti muda di sana bersikap baik kepadaku dan selalu memberiku kue-kue dan cokelat panas” (Ogawa Yoko, 12)

Pada kutipan pertama dapat membuktikan bahwa tokoh “Aku” selalu dalam kondisi tercukupi dan diberkahi dengan orang terdekatnya. Dalam kutipan pertama dia pun tak mengenal apa itu perasaan dari kehilangan sesuatu hidupnya sebelum dia merasakannya sendiri.

Pada kutipan kedua, tokoh Aku merupakan seorang yang selalu diberikan kesenangan serta berkah hidup sejak kecil seperti diberi makanan atau minuman dari semua orang sebelum mengetahui apa makna dibalik dari kehilangan memori dan perasaan sedih akan kehilangan.


b. Tahap Imajiner (Imaginary Phase)
Merupakan tahapan di mana seorang bayi mulai bisa membedakan dirinya sendiri dengan orang lain (the others). Disebut dengan tahapan cermin di mana sang bayi dapat melihat bayangan dirinya dengan jelas dan bisa menyebut dirinya ada (exist). Hal ini dapat menimbulkan keinginan (desire) pada dirinya. Pada tahap ini dapat dianalisis dengan kutipan.

“Keesokan harinya, tanpa bertanya kepada R terlebih dahulu, aku memutuskan mengunjungi markas besar Polisi Kenangan” (Ogawa Yoko, 108).

“Rasanya aneh kau masih bisa menciptakan sesuatu yang benar-benar seperti ini hanya dengan kata-kata di pulau di mana segala sesuatu mengilang” (Ogawa Yoko, 31).

Pada kutipan pertama, dapat dibuktikan bahwa digambarkan seorang “Aku” pada saat kakek tua diculik, akhirnya dia tahu bahwa dirinya, kakek tua, dan polisi kenangan itu merupakan the other yang berbeda. Maka dari itu, dalam diri “Aku” muncul keinginan (desire) untuk menolong kakek tua tersebut dari tahanan polisi kenangan.

Pada kutipan kedua, juga dapat dibuktikan karena adanya tokoh “Aku” masih dapat menciptakan sesuatu walaupun dunia sedang hancur-hancurnya di luar. Hal ini menandakan bahwa Tahap Imajiner bisa menutupi kekurangan simbolik.


c. Tahap Simbolik
Merupakan tahap seorang bayi mulai menyebutkan dirinya sebagai “Aku” dalam struktur bahasa. Pada tahapan ini, manusia selalu merasa kekurangan posisi kekurangan. Pada saat bayi masuk dalam dunia yang memiliki struktur bahasa, bayi harus tunduk dengan sistem aturan penandaan bahasa.

“Ia mengeluarkan pemantik dari saku jaket, membakar agenda itu, lalu membuangnya ke luar jendela” (Ogawa Yoko, 166).

“Tapi sepertinya itu tidak cukup untuk mencegah jiwaku terus merosot. Aku mungkin berhasil menyelesaikan ceritanya, tapi aku masih kehilangan diriku sendiri” (Ogawa Yoko, 287).

Pada kutipan pertama, digambarkan “Aku” yang rela menerima pembakaran barang berharganya berupa kalender oleh Polisi Kenangan karena hal itu sudah merupakan hal yang tetap dan tidak bisa dibantah oleh aturan.

Pada kutipan kedua, tokoh “Aku” mulai kehilangan jati diri beserta anggota tubuhnya. Namun, secara paksa “Aku” harus menuruti apa yang diinginkan pemerintahan yang ada di pulau itu dengan menghilangkan benda yang ada pada tubuh “Aku” walaupun identitas dan jati dirinya.


Melalui novel “Hisoyakana Kesshou” kita semua dapat melihat bagaimana identitas dan kesadaran seseorang hancur dikarenakan adanya pemaksaan kekuasaan yang dilakukan oleh para pemimpin dengan metode pemaksaan dan pelanggaran hak-hak serta identitas setiap individu yang terjadi di dalam novel yang dapat diteliti dengan teori Lacan.


Penulis:
Vierdy Raditya Pratama
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Universitas Andalas


Daftar Pustaka:
Booker, M. Keith. (1994). “The Dystopian Impulse in Modern Literature: Fiction as Social Criticism”. London : Greenwood Press.

Darmanto, Rida. 2011. “Kajian Hasrat Dalam Dua Novel ASIA: Sebuah Analisis Psikoanalisis Lacan”.

Pendidikan Seperti Apa yang Dibutuhkan Anak? Monoton atau Mendukung Kreativitas? (Tinjauan Psikologi Humanistik pada Sistem Pendidikan dari Novel Totto-Chan)

0
 

Jika seorang anak tidak bisa belajar dengan cara kita mengajar, 
mungkin kita harus mengajar dengan cara mereka belajar."
- Ignacio Estrada

Oleh: 
Muhamad Zacky Arifin

Campusnesia.co.id - Dalam dunia pendidikan yang seringkali diseragamkan, muncul satu pertanyaan penting: apakah sistem pendidikan yang kita berikan benar-benar memenuhi kebutuhan anak sebagai individu yang unik? Novel Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi mengajak kita merenung ulang. Di balik kisah sederhana tentang seorang anak perempuan yang dianggap "bermasalah" oleh sekolah lamanya, tersimpan potret pendidikan alternatif yang begitu manusiawi dan revolusioner.

Sekolah Tomoe, tempat Totto-Chan akhirnya bernaung, bukan sekadar institusi pendidikan biasa. Di tangan kepala sekolah Sosaku Kobayashi, sekolah ini menjadi ruang di mana anak-anak tidak hanya belajar, tapi tumbuh, berkembang, dan dikenali sebagai pribadi yang utuh. Melalui pendekatan psikologi humanistik, terutama teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, sistem pendidikan di Sekolah Tomoe terbukti menjadi cermin dari pendidikan yang merangkul kebutuhan fisik, emosional, dan spiritual peserta didik.


Pendidikan dari Lensa Teori Kebutuhan Maslow
Abraham Maslow, seorang psikolog humanistik, menyatakan bahwa manusia memiliki lima kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi secara bertahap: kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan kebersamaan, harga diri, dan aktualisasi diri. Jika kelima kebutuhan ini terpenuhi, maka seseorang dapat berkembang secara optimal - dan hal ini tidak hanya berlaku bagi orang dewasa, tetapi juga sangat penting bagi anak-anak dalam proses pendidikan.

Dalam novel Totto-Chan, kebutuhan-kebutuhan tersebut terepresentasi dalam kehidupan sekolah Tomoe. Kebutuhan fisiologis anak-anak dipenuhi melalui penyediaan ruang kelas yang tidak biasa - berada di dalam gerbong kereta bekas - dengan suasana alami yang menenangkan. Totto-Chan bahkan mengungkapkan bagaimana ia bisa belajar sambil mendengar burung berkicau dan menikmati hembusan angin yang sejuk, menciptakan kenyamanan fisik sekaligus psikologis. Makanan bergizi yang disediakan sekolah pun menjadi bagian dari pengalaman belajar yang menyenangkan dan memperhatikan kesejahteraan tubuh anak.

Selanjutnya, kebutuhan akan rasa aman terpenuhi karena tidak ada praktik hukuman atau penilaian yang mengancam. Totto-Chan, yang sebelumnya dikeluarkan dari sekolah karena dianggap terlalu aktif, justru diterima dengan tangan terbuka oleh Kobayashi. Ia tidak pernah dimarahi meskipun melakukan hal-hal yang tidak biasa. Suasana belajar menjadi bebas dari rasa takut dan penuh penerimaan, memungkinkan anak-anak untuk bereksplorasi dan mengekspresikan diri mereka dengan nyaman.

Kebutuhan akan cinta dan kebersamaan juga tercermin dari relasi hangat antara murid dan guru di Tomoe. Setiap anak diperlakukan seperti anggota keluarga besar. Kobayashi mengenal dan memperhatikan masing-masing murid secara personal, bahkan memberikan kata-kata penuh makna seperti, “Kamu benar-benar anak baik, kau tahu itu, kan?” Kalimat sederhana ini menciptakan rasa dihargai dan diterima yang mendalam bagi seorang anak.

Dari segi kebutuhan harga diri, pendekatan pembelajaran di Tomoe memberikan keleluasaan kepada murid untuk memilih urutan pelajaran yang ingin mereka pelajari. Hal ini mendorong kepercayaan diri dan rasa tanggung jawab dalam diri anak. Mereka merasa diberdayakan untuk mengambil keputusan sendiri dalam proses belajar, sehingga merasa dihormati dan dipercaya oleh gurunya.

Akhirnya, kebutuhan tertinggi menurut Maslow - yakni aktualisasi diri - terwujud ketika anak-anak di sekolah Tomoe memiliki ruang dan dukungan untuk mengenali serta mengembangkan potensi unik mereka. Totto-Chan, yang semula dianggap "bermasalah", berubah menjadi anak yang percaya diri, empatik, dan penuh semangat. Ia menemukan bahwa dirinya mampu tumbuh menjadi individu yang merdeka secara psikologis dan kreatif, karena berada dalam lingkungan yang mendukung.


Pendidikan Humanistik: Apa yang Bisa Dipelajari?
Psikologi humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi positif dan keinginan alami untuk berkembang. Dalam konteks pendidikan, pandangan ini berarti setiap anak perlu diperlakukan sebagai individu yang unik, bukan sekadar bagian dari sistem yang menyamaratakan. Hal ini sejalan dengan filosofi Sekolah Tomoe, yang menolak pendekatan pendidikan satu arah dan seragam.

Di Tomoe, pembelajaran disesuaikan dengan minat pribadi setiap anak. Mereka tidak dipaksa mengikuti urutan pelajaran yang ditentukan, tetapi diberi kebebasan untuk belajar apa yang mereka sukai terlebih dahulu. Hal ini bukan hanya membangun motivasi belajar dari dalam, tetapi juga membantu anak menemukan jalannya sendiri dalam memahami dunia.

Sekolah ini juga berupaya mengembangkan potensi unik setiap siswa, tanpa membandingkan atau memaksakan standar tertentu. Relasi yang dibangun antara guru dan murid sangat personal dan penuh empati. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi menjadi pendamping dalam proses pertumbuhan anak. Inilah inti dari pendidikan yang bukan hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan kepribadian dan kemandirian.


Refleksi untuk Dunia Pendidikan Indonesia
Sistem pendidikan di Indonesia masih banyak berfokus pada capaian akademik, ranking, dan nilai ujian. Sayangnya, pendekatan ini seringkali mengabaikan kebutuhan psikologis siswa yang justru menjadi fondasi penting dalam proses belajar yang bermakna. Kita perlu mempertanyakan kembali: apakah sekolah hari ini sudah menjadi tempat yang aman dan menyenangkan untuk belajar?

Banyak hal yang bisa kita pelajari dari sistem pendidikan Tomoe. Pertama, penting bagi sekolah untuk memberikan ruang kebebasan belajar sesuai minat dan gaya belajar siswa. Anak-anak tidak semuanya belajar dengan cara yang sama, dan sistem yang fleksibel akan memberi mereka kesempatan berkembang lebih optimal. Kedua, budaya hukuman yang masih lazim perlu diganti dengan pendekatan empatik dan penguatan positif, agar anak tidak belajar dalam tekanan dan rasa takut. Ketiga, sekolah harus menjadi tempat yang aman secara fisik dan emosional, di mana setiap anak merasa diterima, dihargai, dan didengar.

Mengadopsi prinsip-prinsip Maslow dalam pendidikan bukan berarti meninggalkan kurikulum atau aturan, tetapi menyelaraskan pendekatan pendidikan agar lebih manusiawi dan berpihak pada kesejahteraan siswa secara menyeluruh.


Penutup
Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela adalah lebih dari sekadar kisah seorang anak yang aktif dan unik. Ia adalah cermin dari pendidikan yang mendengarkan, memanusiakan, dan membimbing anak-anak sesuai kebutuhan dan potensinya. Novel ini menunjukkan bahwa ketika anak merasa aman dan diterima, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang utuh dan penuh percaya diri.

Teori Maslow mengingatkan kita bahwa pendidikan terbaik bukanlah yang paling ketat atau menghasilkan nilai tertinggi, tetapi yang memenuhi kebutuhan dasar anak agar mereka bisa berkembang dan menjadi manusia seutuhnya. Maka, saatnya kita bertanya ulang: pendidikan seperti apa yang benar-benar dibutuhkan anak-anak kita hari ini?



Daftar Pustaka
Adam, S. (2015). Pendidikan Humanis dalam Prespektif Islam (Konsep dan Implementasinya dalam Proses Belajar Mengajar). Jurnal TADBIR, 3(1), 1–13.

Anjarwati, T. (2015). Motivasi dari Sudut Pandang Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, Teori Dua Faktor 

Damaisagita, A., dkk. (2009). Menyelami Metode Pendidikan Humanistik Sosaku Kobayashi Dalam Novel Totto-Chan: The Little Girl at the Window Karya Tetsuko Kuroyanagi. Jurnal Izumi, 8(1), 55–68.

Graham, H. (2005). Psikologi Humanistik dalam Konteks Sosial, Budaya dan Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kuroyanagi, T. (2008). Totto-Chan: The Little Girl at the Window. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Riondita, D. (2017). Aktualisasi Diri Tokoh Utama dalam Novel 1Q84 Karya Murakami Haruki: Sebuah Kajian Psikologi Humanistik. Skripsi. Universitas Diponegoro.

Sumampouw, R. J., Masoko, M., & Lensun, S. (2019). Humanistic Psychology Analysis In Novel Madogiwa No Tottochan. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 383, 209–212.

Wijaya, M. (2001). Mencari Visi Dasar Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Berburu Koin Tazos di Chiki Balls Edisi One Piece

0


Campusnesia.co.id - Pertama tahu tentang promo Chiki Balls berhadiah Coin Tazos dari twitter mas @mmaryasir . Tiba-tiba ingatan saya mundur jauh ke belakang pada suatu hari di tahun 1995. Masih jelas di ingatan, hari itu seorang teman di kelas 1 SD memberi sebuah mainan yang berkilauan.

Mainan itu berbentuk koin seukuran uang 50 rupiah kala itu. Bila digerakkan bakal berkilauan memperlihatkan dua gambar yang berbeda. Sebagai anak desa yang belum tahu ada mainan seperti itu tentu saja saya sangat bahagia.

Belakangan baru saya tahu, mainan yang diberikan oleh teman saya bernama Etri Cahyaning Rahayu atau biasa saya panggil Dek Ayuk bernama Tazos dan gambar yang ada di dalamnya dari film Star Wars yang di tahun segitu sangat populer.

Dek Ayu yang orang orang tuanya asli Kecamatan Juwana dan rumah nrneknya dekat alun-alun tentu lebih familiar dengan jajanan yang kekinian beda dengan saya yang tinggal di desa, belum lagi sejak dahulu kala snack Chiki Balls memang harganya lebih mahal dibanding jajanan kami seperti snack Top 10 atau Tiara yang secara bentuk dan rasa mirip Taro.

Kembali ke judul, begitu tahu Chiki Balls punya program hadiah Tazos lagi, saya segera meluncur ke Indomaret dan Alfamart. Di Alfamart dapat harga Rp7.500 dan di Indomaret dapt harga Rp7.000 sedikit lebih murah dan sayangnya masa promo Rp5.500 sudah lewat.

Saya beli dua bungkus rasa yang berbeda, rasa Keju expired bulan Oktober 2025 isinya Coin Tazos doff dan yang rasa Coklat expired bulan Desember 2025 dapat coin Tazos hologram. Kenapa saya sebut expired datenya karena hal itu jadi penanda sobat bakal dapat jenis koin apa.

Sayangnya ekspektasi saya pada koin jenis hologram bakal sama dengan Tazos saat SD pemberian Dek Ayuk buyar karena kualitas Tazosnya berbeda. 


Tapi gak apa-apa, sebagai sebuah pengalaman bernostalgia dengan masa kecil bagi saya ini sudah lebih dari cukup. Begini rasanya membeli snack Chiki Balls, membuka kemasannya dan mendapati hadiah Coin Tazos di dalamnya. Terbayag bagaimana kebahagiaan teman saya dulu waktu SD sudah bisa merasakannya. Saking senengnya mungkin kalau saya dapat sendiri Tazos tersebut saat SD mungkin tidak begitu rela jika harus memberikannya pada teman, so..makasih buat Dek Ayuk yang sudah memberikan coin Tazos milikmu.

Oh ya btw, dalam satu kemasan Chiki Balls berisi 2 koin. Buat yang bertanya buat apa koleksi koin Tazos bisa sekedar jadi koleksi atau juga bisa dirakit jadi berbagai macam model dan mainan sesuai imajinasi masing-masing.

Sebagai informasi, Tazo adalah kepingan lingkaran yang dapat ditemui di dalam kemasan makanan ringan yang dibuat oleh Frito-Lay dan cabangnya di dunia. Ide dibuatnya Tazo mirip dengan Pog (mirip dengan Tazo, namun berbentuk tutup botol kemasan), dimana setiap tazo memiliki nilai sendiri, dan dimainkan untuk 'memenangi' tazo dari pemain lain.

Tazo telah diproduksi ke dalam beberapa bentuk pola, dimulai dari piringan bulat yang orisinil, sampai ke piringan segi-delapan, dan beberapa tahun kemudian menyerupai kartu koleksi. Sebagai bentuk tambahan dari Pog veri Jepang, beberapa seri Tazo dilengkapi dengan sedikit irisan dan torehan di ujungnya, memungkinkan pemain untuk menyatukannya dan membuat suatu bangunan. Edisi seri Star Wars memiliki bagian pelengkap tambahan yang memungkinkan pemain untuk membangun kapal luar angkasa.

Tazo biasanya terbuat dari plastik, namun beberapa seri terbuat dari karton atau aluminium (contohnya seperti seri metalik Yu-Gi-Oh! versi Australia). (sumber: wikipedia.org)


Barangkali ada juga pembaca yang punya minat yang sama atau sekedar mau bernostalgia selamat berburu Tazosnya. Semoga bermanfaat sampai jumpa.


Penulis
Nandar