Disintegrasi Diri dan Identitas Tinjauan Psikologi Sastra dalam Novel Hisoyakana Kesshou Karya Ogawa Yoko

 


Campusnesia.co.id - Identitas merupakan bentuk dari psikologis dan sosial manusia yang dibentuk melalui pengalaman, interaksi, bahkan kesadaran dari individu itu sendiri dan lingkungannya. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, seseorang dapat membentuk kesadaran terhadap dirinya sendiri melalui ingatan, bahasa, simbol, dan hubungan sosial yang dapat menghubungkan manusia dengan masyarakat atau dunia luar. Dalam novel ini, digambarkan dengan tema yang paling mendalam yaitu tentang krisis identitas dan disintegrasi diri. 

Pada tema ini, menggambarkan bagaimana setiap orang dan individu mengalami kehancuran atau kehilangan struktur kepribadiannya karena adanya tekanan yang berasal dari dalam (internal) dan tekanan yang berasal dari luar (Eksternal). Untuk membahas tentang novel Hisoyakana Kesshou yang ditulis oleh Ogawa Yoko dapat menjadi contoh yang kuat tentang bagaimana kekuasaan di suatu tempat yang otoriter dan penghapusan ingatan dapat mengakibatkan hilangnya identitas diri seseorang. 

Selain itu, dalam novel Hisoyakana Keshhou terdapat masyarakat yang enggan bahkan tidak mempunyai daya untuk melawan kekuasaan yang otoriter tersebut. Hal ini dapat mengungkapkan sudah terjadi hilangnya identitas masyarakat tersebut secara perlahan dan menganggap perlakuan dari polisi memori tersebut adalah hal yang biasa terjadi di pulau kecil tersebut. Hal yang paling buruk yang terjadi, mereka akan dipaksa untuk melupakan sesuatu dan lambat laun akan melupakan sesuatu hal tersebut dan bahkan identitas masyarakat tersebut.

Keadaan masyarakat pada cerita tersebut menggambarkan dunia yang kejam dan selalu dikekang tidak adil oleh pemerintah, hal inilah yang disebut dengan distopia. Booker (1994: 22) menjabarkan distopia sebagai istilah yang meliputi bagaimana menyoroti masyarakat dengan pandangan yang imajinatif. Hal ini berfokus kepada bagaimana tidak idealnya masyarakat di suatu tempat yang dikekang oleh suatu sistem pemerintahan dan dicabutnya hak kebebasan serta hak bersuara dalam masyarakat di suatu tempat. Tentunya teori dari Booker sangat berhubungan dengan apa yang digambarkan di dalam cerita novel Hisoyakana Kesshou itu sendiri. Dikarenakan banyaknya terjadi konflik antara masyarakat yang mempunyai ketidakberdayaan untuk melawan terhadap pemerintahan yang otoriter. Hal ini juga berkaitan dengan perampasan dan pencabutan hak-hak kesadaran setiap individu. 

Dalam sudut pandang psikologi sastra, kesadaran setiap individu dapat dinilai dan dianalisis dengan suatu teori dari Jacques Lacan. Dalam tokoh “Aku” merupakan penggambaran yang kuat bagaimana kesadaran dari seorang tokoh “Aku” yang pada awalnya belum tahu apa pun tentang struktur dari masyarakat. Menurut Teori Jacques Lacan (Disampaikan oleh Bowie, 1991: 91) ada tiga tahap utama dalam menganalisis kesadaran seseorang dalam psikologi, Yaitu: Tahap Real, Tahap Imajiner, dan Tahap Simbolik. Hal ini berkaitan bagaimana kesadaran seorang tokoh “Aku” digambarkan di dalam novel Hisoyakana Kesshou


Gambaran Pengarang, Politik Jepang, dan Tokoh Cerita

a. Ogawa Yoko Selaku Pengarang
Ogawa Yoko lahir pada 30 Maret 1962 di Prefektur Okayama, Jepang. Ogawa bekerja sebagai penulis novel, penulis cerpen, dan penulis esai. Selain itu Ogawa mendapatkan “Akutagawa Prize” pada tahun 1990.

Ogawa Yoko merupakan seorang pengarang dari novel “Hisoyakana Kesshou”. Sejak 1988, Ogawa Yoko sendiri telah menerbitkan lebih dari lima karya fiksi serta non-fiksi. Pada tahun 2006, Ogawa Yoko juga menulis dalam buku yang berjudul “Pengantar Matematika Paling Elegan di Dunia” dengan pertnernya yaitu Masahiko Fujiwara seorang ahli dalam bidang matematika sebagai dialog tentang indahnya angka yang luar biasa.

Ogawa Yoko dikatakan mampu untuk mengungkapkan cara kerja psikologi manusia yang paling halus dalam prosa yang terbilang lembut namun tajam. 



b. Kondisi Politik Jepang pada Saat Itu
Kondisi yang ada pada novel dapat dikaitkan dengan keadaan Jepang pada saat Era Taisho (1912). Walaupun pada saat Era Taisho sudah terjadi penghapusan hierarki sosial (士農工商), namun masyarakat tetap tidak bisa menampilkan diri di hadapan ke pemerintahan dikarenakan pada saat itu para petinggi dan kelas atas di Jepang sedang berkuasa di dalam politik pemerintahan. Kedudukan mereka juga tidak dapat digoyahkan karena adanya dukungan dari pemerintah setempat.

Masyarakat pada Era Taisho hanya menurut dan mau tidak mau diatur oleh kalangan atas yang didukung oleh kekuasaan kaisar pada saat itu. Bahkan, serikat tani dan buruh tidak dapat tampil degan bebas dikarenakan selalu dihalang dan dilarang oleh penguasa. Akibat larangan dari petinggi, banyak masyarakat yang ingin melawan rezim ke pemerintahan kaisar. Tetapi pada ujungnya, masyarakat pada saat itu terlalu takut untuk melawan pemerintahan Jepang yang mengakibatkan kemiskinan hebat melanda masyarakat. Latar belakang masyarakat untuk melawan pada saat itu adalah tidak adilnya para pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang berdampak signifikan kepada masyarakat kelas bawah. 


c. Tokoh “Aku” dalam Novel
Tokoh “Aku” selaku tokoh utama dalam novel “Hisoyakana Keshhou” merupakan penggambaran suatu tokoh yang peduli dengan orang lain yang diakibatkan dari masa lalunya. Pada saat itu apa yang disayanginya akan hilang dalam sekejap mata. Maka dari itu, tokoh “Aku” memiliki karakteristik yang peduli terhadap sesuatu dengan bukti kutipan.

“Keesokan harinya, tanpa bertanya kepada R terlebih dahulu, aku memutuskan mengunjungi markas besar Polisi Kenangan.” (Ogawa Yoko, 108).

“Makanlah makanannya selagi panas. Aku minta maaf karena memberimu sup yang sama setiap hari, tetapi hasil tahun ini jelek dan tidak ada sayuran lain selain kentang dan bawang dari tahun lalu.” (Ogawa Yoko, 101).

Pada kutipan pertama, menggambarkan kepedulian tokoh “Aku” yang ingin menyelamatkan editor R dengan cara menyelamatkan paman tua dari interogasi Polisi Memori yang akan menjadi senjata ampuh untuk melacak keberadaan R. Tentunya ini sangat menggambarkan bagaimana pedulinya “Aku” terhadap R dan Paman Tua secara tidak langsung dari tangan Polisi Memori.

Pada kutipan kedua, membuktikan bahwa tokoh “Aku” hanya bisa memberikan sup kepada R yang sedang menginap di ruangan rahasia yang dingin dan tanpa makanan. Makanan pada musim dingin saat itu sangatlah langka sehingga masyarakat pada saat itu sangat susah untuk memberikan keluarga mereka makan karena musim dingin yang melanda saat itu. Ini sangat menggambarkan bagaimana kepedulian tokoh “Aku” kepada R selaku editornya dengan memberikan makan walau sedang terjadi krisis makanan. 


Analisis

a. Tahap Real (Real Phase)
Merupakan tahapan realitas, di mana seorang bayi selalu merasakan sesuatu yang penuh, utuh, dan tanpa kekurangan. Merupakan fase yang mana tak dapat diungkapkan, dipahami, bahkan disimbolkan. Dikarenakan seorang bayi tak dapat menjelaskan rasanya kehilangan dan kesedihan. Pada tahap ini, dapat dianalisis dengan kutipan.

“Apakah rasanya menakutkan?” (Ogawa Yoko, 7)

“Para peneliti muda di sana bersikap baik kepadaku dan selalu memberiku kue-kue dan cokelat panas” (Ogawa Yoko, 12)

Pada kutipan pertama dapat membuktikan bahwa tokoh “Aku” selalu dalam kondisi tercukupi dan diberkahi dengan orang terdekatnya. Dalam kutipan pertama dia pun tak mengenal apa itu perasaan dari kehilangan sesuatu hidupnya sebelum dia merasakannya sendiri.

Pada kutipan kedua, tokoh Aku merupakan seorang yang selalu diberikan kesenangan serta berkah hidup sejak kecil seperti diberi makanan atau minuman dari semua orang sebelum mengetahui apa makna dibalik dari kehilangan memori dan perasaan sedih akan kehilangan.


b. Tahap Imajiner (Imaginary Phase)
Merupakan tahapan di mana seorang bayi mulai bisa membedakan dirinya sendiri dengan orang lain (the others). Disebut dengan tahapan cermin di mana sang bayi dapat melihat bayangan dirinya dengan jelas dan bisa menyebut dirinya ada (exist). Hal ini dapat menimbulkan keinginan (desire) pada dirinya. Pada tahap ini dapat dianalisis dengan kutipan.

“Keesokan harinya, tanpa bertanya kepada R terlebih dahulu, aku memutuskan mengunjungi markas besar Polisi Kenangan” (Ogawa Yoko, 108).

“Rasanya aneh kau masih bisa menciptakan sesuatu yang benar-benar seperti ini hanya dengan kata-kata di pulau di mana segala sesuatu mengilang” (Ogawa Yoko, 31).

Pada kutipan pertama, dapat dibuktikan bahwa digambarkan seorang “Aku” pada saat kakek tua diculik, akhirnya dia tahu bahwa dirinya, kakek tua, dan polisi kenangan itu merupakan the other yang berbeda. Maka dari itu, dalam diri “Aku” muncul keinginan (desire) untuk menolong kakek tua tersebut dari tahanan polisi kenangan.

Pada kutipan kedua, juga dapat dibuktikan karena adanya tokoh “Aku” masih dapat menciptakan sesuatu walaupun dunia sedang hancur-hancurnya di luar. Hal ini menandakan bahwa Tahap Imajiner bisa menutupi kekurangan simbolik.


c. Tahap Simbolik
Merupakan tahap seorang bayi mulai menyebutkan dirinya sebagai “Aku” dalam struktur bahasa. Pada tahapan ini, manusia selalu merasa kekurangan posisi kekurangan. Pada saat bayi masuk dalam dunia yang memiliki struktur bahasa, bayi harus tunduk dengan sistem aturan penandaan bahasa.

“Ia mengeluarkan pemantik dari saku jaket, membakar agenda itu, lalu membuangnya ke luar jendela” (Ogawa Yoko, 166).

“Tapi sepertinya itu tidak cukup untuk mencegah jiwaku terus merosot. Aku mungkin berhasil menyelesaikan ceritanya, tapi aku masih kehilangan diriku sendiri” (Ogawa Yoko, 287).

Pada kutipan pertama, digambarkan “Aku” yang rela menerima pembakaran barang berharganya berupa kalender oleh Polisi Kenangan karena hal itu sudah merupakan hal yang tetap dan tidak bisa dibantah oleh aturan.

Pada kutipan kedua, tokoh “Aku” mulai kehilangan jati diri beserta anggota tubuhnya. Namun, secara paksa “Aku” harus menuruti apa yang diinginkan pemerintahan yang ada di pulau itu dengan menghilangkan benda yang ada pada tubuh “Aku” walaupun identitas dan jati dirinya.


Melalui novel “Hisoyakana Kesshou” kita semua dapat melihat bagaimana identitas dan kesadaran seseorang hancur dikarenakan adanya pemaksaan kekuasaan yang dilakukan oleh para pemimpin dengan metode pemaksaan dan pelanggaran hak-hak serta identitas setiap individu yang terjadi di dalam novel yang dapat diteliti dengan teori Lacan.


Penulis:
Vierdy Raditya Pratama
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Universitas Andalas


Daftar Pustaka:
Booker, M. Keith. (1994). “The Dystopian Impulse in Modern Literature: Fiction as Social Criticism”. London : Greenwood Press.

Darmanto, Rida. 2011. “Kajian Hasrat Dalam Dua Novel ASIA: Sebuah Analisis Psikoanalisis Lacan”.

Artikel Terkait

Silahkan komen guys..
EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)