Pendidikan Seperti Apa yang Dibutuhkan Anak? Monoton atau Mendukung Kreativitas? (Tinjauan Psikologi Humanistik pada Sistem Pendidikan dari Novel Totto-Chan)

 

Jika seorang anak tidak bisa belajar dengan cara kita mengajar, 
mungkin kita harus mengajar dengan cara mereka belajar."
- Ignacio Estrada

Oleh: 
Muhamad Zacky Arifin

Campusnesia.co.id - Dalam dunia pendidikan yang seringkali diseragamkan, muncul satu pertanyaan penting: apakah sistem pendidikan yang kita berikan benar-benar memenuhi kebutuhan anak sebagai individu yang unik? Novel Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi mengajak kita merenung ulang. Di balik kisah sederhana tentang seorang anak perempuan yang dianggap "bermasalah" oleh sekolah lamanya, tersimpan potret pendidikan alternatif yang begitu manusiawi dan revolusioner.

Sekolah Tomoe, tempat Totto-Chan akhirnya bernaung, bukan sekadar institusi pendidikan biasa. Di tangan kepala sekolah Sosaku Kobayashi, sekolah ini menjadi ruang di mana anak-anak tidak hanya belajar, tapi tumbuh, berkembang, dan dikenali sebagai pribadi yang utuh. Melalui pendekatan psikologi humanistik, terutama teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, sistem pendidikan di Sekolah Tomoe terbukti menjadi cermin dari pendidikan yang merangkul kebutuhan fisik, emosional, dan spiritual peserta didik.


Pendidikan dari Lensa Teori Kebutuhan Maslow
Abraham Maslow, seorang psikolog humanistik, menyatakan bahwa manusia memiliki lima kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi secara bertahap: kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan kebersamaan, harga diri, dan aktualisasi diri. Jika kelima kebutuhan ini terpenuhi, maka seseorang dapat berkembang secara optimal - dan hal ini tidak hanya berlaku bagi orang dewasa, tetapi juga sangat penting bagi anak-anak dalam proses pendidikan.

Dalam novel Totto-Chan, kebutuhan-kebutuhan tersebut terepresentasi dalam kehidupan sekolah Tomoe. Kebutuhan fisiologis anak-anak dipenuhi melalui penyediaan ruang kelas yang tidak biasa - berada di dalam gerbong kereta bekas - dengan suasana alami yang menenangkan. Totto-Chan bahkan mengungkapkan bagaimana ia bisa belajar sambil mendengar burung berkicau dan menikmati hembusan angin yang sejuk, menciptakan kenyamanan fisik sekaligus psikologis. Makanan bergizi yang disediakan sekolah pun menjadi bagian dari pengalaman belajar yang menyenangkan dan memperhatikan kesejahteraan tubuh anak.

Selanjutnya, kebutuhan akan rasa aman terpenuhi karena tidak ada praktik hukuman atau penilaian yang mengancam. Totto-Chan, yang sebelumnya dikeluarkan dari sekolah karena dianggap terlalu aktif, justru diterima dengan tangan terbuka oleh Kobayashi. Ia tidak pernah dimarahi meskipun melakukan hal-hal yang tidak biasa. Suasana belajar menjadi bebas dari rasa takut dan penuh penerimaan, memungkinkan anak-anak untuk bereksplorasi dan mengekspresikan diri mereka dengan nyaman.

Kebutuhan akan cinta dan kebersamaan juga tercermin dari relasi hangat antara murid dan guru di Tomoe. Setiap anak diperlakukan seperti anggota keluarga besar. Kobayashi mengenal dan memperhatikan masing-masing murid secara personal, bahkan memberikan kata-kata penuh makna seperti, “Kamu benar-benar anak baik, kau tahu itu, kan?” Kalimat sederhana ini menciptakan rasa dihargai dan diterima yang mendalam bagi seorang anak.

Dari segi kebutuhan harga diri, pendekatan pembelajaran di Tomoe memberikan keleluasaan kepada murid untuk memilih urutan pelajaran yang ingin mereka pelajari. Hal ini mendorong kepercayaan diri dan rasa tanggung jawab dalam diri anak. Mereka merasa diberdayakan untuk mengambil keputusan sendiri dalam proses belajar, sehingga merasa dihormati dan dipercaya oleh gurunya.

Akhirnya, kebutuhan tertinggi menurut Maslow - yakni aktualisasi diri - terwujud ketika anak-anak di sekolah Tomoe memiliki ruang dan dukungan untuk mengenali serta mengembangkan potensi unik mereka. Totto-Chan, yang semula dianggap "bermasalah", berubah menjadi anak yang percaya diri, empatik, dan penuh semangat. Ia menemukan bahwa dirinya mampu tumbuh menjadi individu yang merdeka secara psikologis dan kreatif, karena berada dalam lingkungan yang mendukung.


Pendidikan Humanistik: Apa yang Bisa Dipelajari?
Psikologi humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi positif dan keinginan alami untuk berkembang. Dalam konteks pendidikan, pandangan ini berarti setiap anak perlu diperlakukan sebagai individu yang unik, bukan sekadar bagian dari sistem yang menyamaratakan. Hal ini sejalan dengan filosofi Sekolah Tomoe, yang menolak pendekatan pendidikan satu arah dan seragam.

Di Tomoe, pembelajaran disesuaikan dengan minat pribadi setiap anak. Mereka tidak dipaksa mengikuti urutan pelajaran yang ditentukan, tetapi diberi kebebasan untuk belajar apa yang mereka sukai terlebih dahulu. Hal ini bukan hanya membangun motivasi belajar dari dalam, tetapi juga membantu anak menemukan jalannya sendiri dalam memahami dunia.

Sekolah ini juga berupaya mengembangkan potensi unik setiap siswa, tanpa membandingkan atau memaksakan standar tertentu. Relasi yang dibangun antara guru dan murid sangat personal dan penuh empati. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi menjadi pendamping dalam proses pertumbuhan anak. Inilah inti dari pendidikan yang bukan hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan kepribadian dan kemandirian.


Refleksi untuk Dunia Pendidikan Indonesia
Sistem pendidikan di Indonesia masih banyak berfokus pada capaian akademik, ranking, dan nilai ujian. Sayangnya, pendekatan ini seringkali mengabaikan kebutuhan psikologis siswa yang justru menjadi fondasi penting dalam proses belajar yang bermakna. Kita perlu mempertanyakan kembali: apakah sekolah hari ini sudah menjadi tempat yang aman dan menyenangkan untuk belajar?

Banyak hal yang bisa kita pelajari dari sistem pendidikan Tomoe. Pertama, penting bagi sekolah untuk memberikan ruang kebebasan belajar sesuai minat dan gaya belajar siswa. Anak-anak tidak semuanya belajar dengan cara yang sama, dan sistem yang fleksibel akan memberi mereka kesempatan berkembang lebih optimal. Kedua, budaya hukuman yang masih lazim perlu diganti dengan pendekatan empatik dan penguatan positif, agar anak tidak belajar dalam tekanan dan rasa takut. Ketiga, sekolah harus menjadi tempat yang aman secara fisik dan emosional, di mana setiap anak merasa diterima, dihargai, dan didengar.

Mengadopsi prinsip-prinsip Maslow dalam pendidikan bukan berarti meninggalkan kurikulum atau aturan, tetapi menyelaraskan pendekatan pendidikan agar lebih manusiawi dan berpihak pada kesejahteraan siswa secara menyeluruh.


Penutup
Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela adalah lebih dari sekadar kisah seorang anak yang aktif dan unik. Ia adalah cermin dari pendidikan yang mendengarkan, memanusiakan, dan membimbing anak-anak sesuai kebutuhan dan potensinya. Novel ini menunjukkan bahwa ketika anak merasa aman dan diterima, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang utuh dan penuh percaya diri.

Teori Maslow mengingatkan kita bahwa pendidikan terbaik bukanlah yang paling ketat atau menghasilkan nilai tertinggi, tetapi yang memenuhi kebutuhan dasar anak agar mereka bisa berkembang dan menjadi manusia seutuhnya. Maka, saatnya kita bertanya ulang: pendidikan seperti apa yang benar-benar dibutuhkan anak-anak kita hari ini?



Daftar Pustaka
Adam, S. (2015). Pendidikan Humanis dalam Prespektif Islam (Konsep dan Implementasinya dalam Proses Belajar Mengajar). Jurnal TADBIR, 3(1), 1–13.

Anjarwati, T. (2015). Motivasi dari Sudut Pandang Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, Teori Dua Faktor 

Damaisagita, A., dkk. (2009). Menyelami Metode Pendidikan Humanistik Sosaku Kobayashi Dalam Novel Totto-Chan: The Little Girl at the Window Karya Tetsuko Kuroyanagi. Jurnal Izumi, 8(1), 55–68.

Graham, H. (2005). Psikologi Humanistik dalam Konteks Sosial, Budaya dan Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kuroyanagi, T. (2008). Totto-Chan: The Little Girl at the Window. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Riondita, D. (2017). Aktualisasi Diri Tokoh Utama dalam Novel 1Q84 Karya Murakami Haruki: Sebuah Kajian Psikologi Humanistik. Skripsi. Universitas Diponegoro.

Sumampouw, R. J., Masoko, M., & Lensun, S. (2019). Humanistic Psychology Analysis In Novel Madogiwa No Tottochan. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 383, 209–212.

Wijaya, M. (2001). Mencari Visi Dasar Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Artikel Terkait

Silahkan komen guys..
EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)