Antara Ingatan dan Kehilangan: Tinjauan Psikologi Sastra dalam Novel The Memory Police

 



Campusnesia.co.id - Sastra merupakan gambaran kompleks dari kehidupan manusia. Ia tidak hanya menyoroti tindakan nyata, tetapi juga memperlihatkan kondisi batin yang sering tersembunyi. Salah satu pendekatan untuk memahami kedalaman ini adalah psikologi sastra, yang menelaah kondisi mental tokoh-tokoh, konflik batin, serta trauma dalam karya sastra. Salah satu novel yang menarik untuk dikaji dari sudut ini adalah The Memory Police (1994), karya Yoko Ogawa, pengarang Jepang yang dikenal dengan gaya narasi melankolis dan nuansa surealis.

Novel ini mengisahkan tentang masyarakat di sebuah pulau tanpa nama yang diawasi oleh lembaga bernama Memory Police. Di sana, berbagai benda tiba-tiba “menghilang”, tidak hanya secara fisik tetapi juga dari ingatan orang-orang. Mereka yang tetap mengingat dianggap sebagai ancaman. Tokoh utama mengalami tekanan psikologis hebat di tengah kondisi ini. Oleh karena itu, pendekatan psikologi sastra sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana jiwa manusia bereaksi terhadap tekanan sosial dan represi yang sistematis.


Gambaran Pengarang novel, Tokoh Cerita, dan Analisis

1. Yoko Ogawa: Pengarang dan Gaya Penulisan

Yoko Ogawa adalah penulis Jepang yang lahir di Okayama pada 30 Maret 1962. Ia mulai berkarya sejak 1980-an dan telah menerbitkan berbagai novel, kumpulan cerpen, dan esai. Lulusan Universitas Waseda ini telah meraih banyak penghargaan sastra, termasuk Akutagawa Prize dan Yomiuri Prize.

Karya-karya Ogawa menonjol karena kemampuannya menggambarkan kesunyian, kehilangan, serta trauma melalui gaya bahasa yang lembut namun menghanyutkan. Ia kerap menyoroti sisi batin manusia dan absurditas kehidupan modern. The Memory Police, salah satu karya terkenalnya, menjadi contoh nyata bagaimana ia membangun dunia fiktif yang sunyi, namun menyimpan teror psikologis yang dalam. Novel ini berhasil masuk nominasi International Booker Prize 2020 dan dianggap sebagai representasi dari ancaman terhadap memori dan identitas manusia di bawah kekuasaan represif.


2. Tokoh dalam novel

Dalam The Memory Police, Yoko Ogawa menghadirkan Tokoh utama seorang penulis perempuan yang tidak diberi nama. Ia hidup dalam masyarakat yang perlahan kehilangan berbagai benda dari kehidupan mereka, dan seiring itu, ia pun mulai kehilangan keterikatannya terhadap dunia. Ketika benda-benda hilang, ingatan tentangnya juga terhapus, menciptakan kekosongan yang perlahan-lahan menggerogoti jati dirinya.

Tokoh penting lainnya adalah R, editor sang penulis, yang masih dapat mengingat semua hal yang telah “dihapus.” Ia menjadi simbol dari keteguhan dan perlawanan terhadap lupa. Penulis menyembunyikannya sebagai bentuk resistensi batin terhadap sistem. Selain itu, ada juga pria tua - teman keluarga - yang membantu menjaga R, merepresentasikan solidaritas dan kemanusiaan yang tersisa di tengah situasi suram. Memory Police sendiri digambarkan sebagai kekuatan otoriter tanpa identitas jelas, yang secara sistematis menghapus elemen-elemen memori dan makna dari kehidupan masyarakat.


3. Analisis Psikologis

a. Trauma Kolektif dan Represi Psikis
Tokoh utama mengalami tekanan mental yang berat akibat kehilangan yang tak hanya bersifat material, tetapi juga psikis. Dalam perspektif psikoanalisis Freud, hilangnya benda-benda tersebut mencerminkan proses represi yang mendalam - pemaksaan untuk melupakan demi bertahan hidup. Seiring waktu, hal ini menimbulkan trauma kolektif yang melibatkan seluruh masyarakat, menghapus memori, identitas, dan makna hidup.

b. Relasi Tokoh dan Perlawanan Batin
R, sebagai satu-satunya tokoh yang mengingat, menjadi lambang dari perlawanan batin terhadap otoritas. Dalam pandangan Jung, ia mencerminkan anima dari sang penulis - bagian dari jiwanya yang masih berusaha mengingat. Hubungan mereka bukan hanya fisik, tetapi juga psikis, mencerminkan usaha mempertahankan sisi kemanusiaan yang tersisa.

c. Simbolisme Kehilangan dan Identitas Diri
Kehilangan dalam novel ini tak sekadar benda, melainkan makna dan memori yang menyertainya. Ketika ingatan akan suatu hal hilang, maka maknanya pun lenyap dari kesadaran tokoh. Penulis sebagai tokoh utama lambat laun bahkan kehilangan kemampuan menulis, yang menjadi simbol hilangnya ekspresi diri dan kreativitas. Pandangan eksistensial Viktor Frankl relevan di sin bahwa makna hidup terikat pada pengalaman dan ingatan. Ketika semua itu dipaksa hilang, maka eksistensi manusia menjadi hampa.



Penulis:
Fasya Hazhiyah 
Mahasiswa Program Studi Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
\Universitas Andalas



Daftar Pustaka:

Endraswara, Suwardi. Psikologi Sastra: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003.

Wellek, René, and Austin Warren. Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World, 1949.

Freud, Sigmund. The Interpretation of Dreams. Translated by A.A. Brill. New York: Macmillan, 1913.

Kusnadi, Dedi. “Teori Psikoanalisis dalam Kajian Sastra: Penerapan pada Karakter dan Alur.” Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, vol. 5, no. 2, 2017, pp. 112–125.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Silahkan komen guys..
EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)