Campusnesia.co.id - Dalam kehidupan manusia, memori atau ingatan merupakan aspek fundamental yang membentuk identitas dan keutuhan psikologis seseorang. Ingatan tidak hanya menjadi alat untuk merekam masa lalu, tetapi juga berfungsi sebagai landasan bagi individu dalam memahami diri, membentuk hubungan sosial, dan menentukan arah masa depan. Dalam konteks sastra, memori sering dijadikan sebagai tema yang menggambarkan konflik internal tokoh, trauma, atau krisis identitas yang mendalam.
Salah satu karya sastra yang secara simbolis dan eksistensial menyoroti peran penting memori adalah novel Polisi Kenangan (The Memory Police, 1994) karya Yoko Ogawa. Dalam novel ini, diceritakan sebuah masyarakat di pulau terpencil yang mengalami fenomena penghilangan ingatan secara bertahap dan sistematis. Ketika suatu benda “menghilang”, masyarakat tidak hanya berhenti menggunakannya, tetapi juga benar-benar melupakannya seolah-olah benda tersebut tidak pernah ada. Proses pelupaan ini dikontrol oleh lembaga represif bernama Polisi Kenangan, yang berperan aktif dalam memburu dan menghancurkan setiap bentuk kenangan yang tersisa. Di tengah kondisi tersebut, tokoh utama seorang penulis wanita mulai merasakan kehampaan dan kegelisahan batin karena kehilangan demi kehilangan tidak hanya menghapus dunia luar, tetapi juga perlahan menggerus jati dirinya.
Untuk menganalisis persoalan ini secara mendalam, teori psikologi sastra yang dikemukakan oleh Sigmund Freud dapat digunakan sebagai pisau analisis. Freud menyatakan bahwa ingatan memiliki relasi erat dengan pembentukan identitas, dan bahwa represi (repression) terhadap ingatan atau pengalaman traumatik dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam jiwa seseorang. Represi adalah mekanisme pertahanan psikologis di mana pikiran, emosi, atau kenangan yang menimbulkan kecemasan ditekan ke alam bawah sadar. Dalam konteks Polisi Kenangan, represi tidak hanya terjadi secara individual, tetapi bersifat kolektif masyarakat secara sadar dipaksa untuk melupakan dan menekan kenangan mereka sebagai bentuk kepatuhan terhadap sistem yang berkuasa.
Dengan demikian, kajian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana hilangnya memori dalam novel Polisi Kenangan berdampak langsung pada krisis identitas tokoh-tokohnya, serta bagaimana mekanisme represi ala Freud menjelaskan dinamika psikologis yang terjadi dalam masyarakat yang dikendalikan oleh ketakutan dan pelupaan. Melalui pendekatan ini, akan terlihat bahwa memori bukan hanya bagian dari masa lalu, melainkan elemen penting dalam menjaga eksistensi dan kemanusiaan seseorang.
Gambaran Pengarang: Yoko Ogawa
Yoko Ogawa (小川 洋子) adalah seorang penulis ternama asal Jepang yang dikenal dengan gaya penulisan yang halus, atmosferik, dan penuh kedalaman psikologis. Ia lahir pada **30 Maret 1962 di Okayama, Jepang, dan mulai dikenal luas sejak tahun 1988 setelah karyanya memenangkan Penghargaan Akutagawa, salah satu penghargaan sastra paling bergengsi di Jepang.
Yoko Ogawa telah menulis lebih dari 20 novel dan puluhan kumpulan cerita pendek, esai, serta memoar. Karyanya sering mengeksplorasi tema kesendirian, trauma, kehilangan, ingatan, serta hubungan manusia yang kompleks, dengan gaya prosa yang tenang namun sering kali mengandung kengerian tersembunyi atau rasa absurd yang mendalam. Ia dikenal mampu menciptakan dunia yang tampak biasa di permukaan, namun menyimpan ketegangan psikologis yang sunyi dan mendalam di dalamnya.
Salah satu karya paling terkenal secara internasional adalah The Memory Police (Polisi Kenangan), diterbitkan pertama kali pada tahun 1994 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 2019 oleh Stephen Snyder. Novel ini masuk dalam daftar panjang Booker International Prize 2020 dan mendapat pujian luas atas penyajiannya yang puitis dan alegoris, menyentuh tema pelupaan dan represi dengan nuansa distopia yang khas.
Yoko Ogawa juga dikenal melalui karya lainnya seperti The Housekeeper and the Professor (tentang hubungan unik antara profesor matematika dengan gangguan memori dan pengurus rumahnya), yang menunjukkan kecenderungannya untuk mengangkat psikologi manusia dengan empati dan kehalusan narasi.
Melalui Polisi Kenangan, Yoko Ogawa tidak hanya menegaskan dirinya sebagai penulis fiksi spekulatif, tetapi juga sebagai penggali psikologi manusia dalam situasi ekstrem. Ia memperlihatkan bagaimana sastra bisa menjadi medium untuk merefleksikan kemanusiaan, sejarah, dan pentingnya ingatan di tengah dunia yang mudah melupakan.
Sistem Pendidikan yang Kaku
Novel Polisi Kenangan mengangkat tema trauma kolektif yang dialami oleh masyarakat yang kehilangan ingatan tentang orang-orang terdekat mereka akibat tindakan represi memori yang sistematis. Trauma ini bukan hanya pengalaman individu, tapi juga menciptakan luka bersama yang mengakar pada komunitas, menimbulkan rasa hampa dan keterasingan massal.
Represi memori dalam novel ini berfungsi sebagai alat penghapusan identitas, di mana ingatan sebagai inti dari identitas personal dan kolektif dihapus secara paksa. Proses ini menimbulkan ketidakmampuan untuk mengenali masa lalu dan diri sendiri, sehingga identitas personal menjadi terfragmentasi dan hilang. Dengan demikian, novel menggambarkan bagaimana trauma kolektif dapat dipertahankan dan diperkuat oleh penghilangan ingatan, membuat korban terjebak dalam kondisi tanpa akar sejarah, dan menghadirkan refleksi mendalam tentang pentingnya memori sebagai fondasi identitas dan eksistensi.
Psikologis Sastra Sigmund Freud
Dalam novel Polisi Kenangan karya Yoko Ogawa, persoalan psikologis muncul secara mendalam melalui penggambaran masyarakat yang perlahan-lahan kehilangan kenangan mereka terhadap berbagai benda dan konsep kehidupan. Fenomena pelupaan yang terjadi bukan disebabkan oleh penyakit, melainkan oleh sistem kekuasaan yang represif, yakni Polisi Kenangan. Mereka mengontrol ingatan masyarakat dan memastikan bahwa setiap hal yang “dihapus” benar-benar dilupakan, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara psikologis.
Dari sudut pandang teori psikologis sastra Sigmund Freud, kondisi ini dapat dibaca sebagai bentuk represi kolektif, yaitu ketika memori tertentu ditekan secara sistematis ke dalam alam bawah sadar agar tidak menimbulkan konflik atau ancaman terhadap tatanan yang telah dibangun. Freud menyatakan bahwa represi terjadi ketika pengalaman atau kenangan yang dianggap mengganggu ditekan ke dalam ketidaksadaran, namun represi semacam ini tidak benar-benar menghapus jejaknya ia tetap hidup dan memengaruhi perilaku serta emosi secara tidak langsung.
Tokoh utama dalam novel, seorang penulis wanita, mengalami krisis identitas sebagai akibat dari penghapusan memori yang terus-menerus. Ia mulai kehilangan orientasi terhadap dunia di sekitarnya, terhadap makna dari objek-objek, dan bahkan terhadap dirinya sendiri sebagai manusia dan penulis. Dalam teori Freud, krisis semacam ini mencerminkan ketidakseimbangan antara id, ego, dan superego. Sang tokoh harus menyesuaikan diri dengan norma dan tekanan dari sistem yang diwakili oleh superego (Polisi Kenangan), meski dalam hatinya terdapat dorongan bawah sadar (id) untuk mengingat dan mempertahankan identitas lamanya. Ego, sebagai pengatur realitas, tidak mampu sepenuhnya menengahi konflik tersebut, sehingga tokoh mengalami kegelisahan batin, keterasingan, dan kehampaan emosional. Penindasan memori bukan membuat tokoh menjadi tenang, tetapi justru mendorongnya menuju keterpurukan psikologis yang lebih dalam.
Karakter R, sang editor, berperan penting dalam analisis psikologis ini. Ia adalah satu dari sedikit orang yang masih bisa mengingat semua yang telah “dihapus.” Secara simbolik, R mewakili kesadaran yang bertahan, atau bahkan alam bawah sadar kolektif yang tidak bisa sepenuhnya ditekan oleh kekuasaan. Ketika tokoh utama memilih untuk menyembunyikan R dan merawatnya, tindakan ini bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan psikologis terhadap represi usaha untuk mempertahankan sisa identitas, makna, dan masa lalu yang masih tersisa dalam dirinya. Ini mencerminkan dorongan bawah sadar untuk tidak menyerah sepenuhnya pada penyeragaman dan pelupaan yang dilakukan oleh sistem. Di sisi lain, masyarakat yang tunduk total pada Polisi Kenangan menjadi lambang individu-individu yang mengalami alienasi psikologis, yakni keterasingan tidak hanya dari dunia luar, tetapi juga dari kepribadian dan sejarah diri mereka sendiri.
Melalui pendekatan psikologis sastra, khususnya teori Sigmund Freud, novel Polisi Kenangan karya Yoko Ogawa memperlihatkan bagaimana represi sistematis terhadap memori dapat menghancurkan struktur psikologis manusia dan identitas kolektif masyarakat. Ingatan yang ditekan secara paksa oleh otoritas dalam cerita dilambangkan melalui Polisi Kenangan menciptakan masyarakat yang kehilangan koneksi dengan masa lalu, dan pada akhirnya kehilangan jati diri serta makna hidup. Dalam kerangka teori Freud, tindakan melupakan secara paksa ini merupakan bentuk represi yang menimbulkan kegelisahan bawah sadar, krisis identitas, dan ketegangan antara keinginan untuk mengingat (id) dengan tekanan untuk melupakan superego.
Novel ini menegaskan bahwa melupakan secara paksa bukanlah bentuk perlindungan, melainkan penghancuran perlahan atas kemanusiaan itu sendiri. Dalam dunia yang kehilangan ingatan, manusia pun kehilangan dirinya. Oleh karena itu, melalui perspektif Freud, Polisi Kenangan menjadi peringatan halus namun kuat akan bahaya penghapusan memori baik oleh kekuasaan eksternal, maupun oleh mekanisme pertahanan jiwa sendiri.
Penulis:
Hafidz Dwi Kurniawan
Mahasiswa Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas
Referensi:
https://repository.unesa.ac.id/sysop/files/2020-03-27_buku1%20anas.pdf
https://www.bacaanipeh.web.id/2024/02/review-novel-memory-police-yoko-ogawa.html
https://repository.ikippgribojonegoro.ac.id/1875/1/9.%20Teori%20Sastra-compressed.pdf
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5811906/memahami-unsur-intrinsik-dan-ekstrinsik-dalam-cerita-pendek/amp
https://repository.ikippgribojonegoro.ac.id/1875/1/9.%20Teori%20Sastra-compressed.pdf