Oleh:
Evandio Fadhilah Akbar
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Universitas Andalas
Campusnesia.co.id - Novel The Memory Police karya Yoko Ogawa menggambarkan sebuah dunia distopia yang sunyi dan menindas, di mana berbagai objek secara misterius menghilang dari kehidupan masyarakat, dan seiring dengan itu, ingatan kolektif tentang objek-objek tersebut juga ikut lenyap. Polisi Kenangan - sebuah institusi represif - memastikan bahwa setiap bentuk kenangan dan benda yang hilang tidak kembali, bahkan dalam pikiran.
Lewat narasi yang puitis dan menyentuh, Ogawa membangun kisah tentang bagaimana manusia bertahan, beradaptasi, dan pada saat yang sama mengalami kehancuran batin dalam sistem yang perlahan-lahan menghapus identitas mereka. Dalam esai ini, teori hierarki kebutuhan dari Abraham Maslow akan digunakan untuk menganalisis dinamika psikologis dan eksistensial para tokoh dalam novel ini, serta bagaimana sistem yang represif dapat menghambat dan bahkan menghancurkan proses pemenuhan kebutuhan manusia dari level paling dasar hingga aktualisasi diri.
Abraham Maslow, seorang psikolog humanis, menyusun hierarki kebutuhan manusia dalam bentuk piramida yang terdiri dari lima tingkat: kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial atau cinta dan memiliki, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Dalam teorinya, pemenuhan kebutuhan dilakukan secara bertahap, mulai dari dasar hingga ke puncak. Jika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, maka sangat sulit bagi individu untuk memenuhi kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi. Dalam konteks dunia yang dibangun dalam The Memory Police, kita dapat melihat bagaimana sistem penghapusan kenangan dan benda menyebabkan hambatan besar dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, dan bahkan menyebabkan kemunduran psikologis dan sosial pada individu-individu dalam masyarakat itu.
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar manusia bisa bertahan hidup. Ini mencakup makanan, air, udara, tempat tinggal, dan kebutuhan biologis lainnya. Dalam The Memory Police, kebutuhan ini mulai terancam ketika berbagai benda yang menopang kehidupan sehari-hari secara bertahap menghilang. Misalnya, makanan tertentu seperti buah-buahan, peralatan memasak, bahkan hewan peliharaan - semuanya menghilang dari dunia fisik dan dari ingatan orang-orang.
Ketika sebuah benda 'dihapus', masyarakat tidak hanya kehilangan akses fisik terhadap benda tersebut, tetapi juga tidak lagi mengingat bahwa benda itu pernah ada. Yang lebih mengerikan adalah ketidakmampuan masyarakat untuk mempertanyakan kehilangan tersebut. Mereka hanya menerima, seakan kehilangan adalah bagian alami dari hidup. Ini menggambarkan bagaimana sistem telah mencabut kemampuan individu untuk berpikir kritis dan mempertahankan eksistensi mereka secara sadar.
Tokoh utama dalam novel ini, seorang penulis perempuan yang tidak disebutkan namanya, mengalami secara langsung ancaman terhadap kebutuhan fisiologis ini. Ketika makanan menjadi semakin langka dan alat-alat rumah tangga hilang, ia harus belajar bertahan dengan sumber daya yang terbatas. Dalam salah satu bagian cerita, digambarkan bagaimana dia dan beberapa karakter lain harus berbagi makanan, menyembunyikan persediaan, dan mengatur konsumsi agar tetap bertahan hidup. Rasa lapar dan ketidakpastian akan hari esok menjadi bagian dari keseharian mereka. Dalam hal ini, kebutuhan fisiologis tidak lagi dapat dipenuhi secara stabil, dan mereka hidup dalam keadaan krisis terus-menerus.
Setelah kebutuhan dasar dipenuhi, manusia membutuhkan rasa aman, baik secara fisik maupun psikologis. Rasa aman mencakup perlindungan dari kekerasan, stabilitas lingkungan, dan kejelasan tentang masa depan. Dalam The Memory Police, rasa aman nyaris tidak ada. Polisi Kenangan, dengan kekuasaan absolut, dapat menangkap, menginterogasi, dan menghapus siapa saja yang dicurigai masih mengingat hal-hal yang telah 'dihapus'. Mereka datang tiba-tiba, tanpa alasan yang jelas, dan membawa orang-orang tanpa jejak. Masyarakat hidup dalam ketakutan konstan akan pengawasan dan penangkapan. Ketakutan ini menciptakan iklim represif yang menekan segala bentuk ekspresi diri dan kebebasan berpikir.
Rasa tidak aman ini juga dialami oleh sang penulis dan dua karakter penting lainnya: R, sang editor, dan seorang mantan pematung tua yang menjadi sahabat mereka. R adalah salah satu dari sedikit orang yang masih bisa mengingat benda-benda yang telah dihapus. Oleh karena itu, ia harus disembunyikan di ruang rahasia di rumah sang penulis. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap sistem, tetapi sekaligus menciptakan tekanan emosional yang luar biasa. Sang penulis tidak hanya harus memenuhi kebutuhan fisiknya sendiri, tetapi juga menjaga keselamatan orang lain, dalam kondisi lingkungan yang sangat berbahaya. Dalam situasi ini, kebutuhan akan rasa aman benar-benar tidak terpenuhi, dan individu harus mengorbankan kebebasan, kenyamanan, bahkan rasa tenang, demi bertahan hidup.
Setelah kebutuhan akan rasa aman, manusia mencari cinta dan keterhubungan sosial. Kebutuhan ini mencakup persahabatan, cinta, keintiman, dan rasa memiliki. Dalam novel ini, penghapusan benda juga berarti penghapusan memori kolektif, yang menjadi fondasi utama hubungan sosial. Jika dua orang pernah berbagi kenangan tentang suatu objek yang kini telah 'dihapus', maka kenangan itu pun ikut lenyap dari hubungan mereka. Ini menyebabkan hubungan menjadi datar, tidak bermakna, dan terputus dari sejarah emosionalnya. Proses ini menciptakan isolasi psikologis yang mendalam.
Hubungan antara sang penulis dan R menggambarkan upaya untuk mempertahankan keterhubungan di tengah kehancuran sosial. Mereka saling menjaga, berbagi percakapan, dan mencoba menciptakan ruang keintiman meski ancaman senantiasa mengintai. Namun, hubungan ini pun terancam ketika kemampuan R untuk mengingat sesuatu berbeda dari orang lain—menciptakan jarak yang tidak bisa dihindari. Mereka hidup berdampingan, tetapi dalam dunia mental yang berbeda. Dalam hal ini, Ogawa menunjukkan bahwa bahkan cinta dan keterhubungan pun bisa terkikis oleh sistem yang menghapus memori dan identitas.
Kebutuhan akan penghargaan adalah tahap berikutnya dalam hierarki Maslow. Kebutuhan ini mencakup rasa percaya diri, penghormatan dari orang lain, dan pencapaian pribadi. Dalam novel ini, kebutuhan tersebut sulit dipenuhi karena masyarakat tidak lagi memiliki struktur yang mendukung pengakuan atau pencapaian. Sang penulis, misalnya, merasa semakin sulit untuk menulis karena kosa kata yang ia miliki perlahan menghilang. Ia kehilangan kepercayaan diri, mempertanyakan relevansi karyanya, dan merasa bahwa tulisannya tidak akan pernah dibaca atau dipahami lagi. Karyanya tidak lagi menjadi medium untuk aktualisasi, melainkan hanya menjadi pengingat sunyi bahwa sesuatu telah hilang dan tidak bisa kembali.
Rasa tidak dihargai ini juga diperkuat oleh lingkungan sosial yang tidak lagi memberi nilai pada ekspresi atau kreativitas. Ketika benda-benda yang memiliki nilai emosional atau simbolis menghilang, maka ekspresi terhadap benda-benda itu juga kehilangan makna. Sebuah kalung, sebuah buku, atau bahkan suara burung tidak lagi bisa membawa emosi atau memori, sehingga karya seni pun menjadi hambar dan tidak relevan. Dalam hal ini, kebutuhan akan penghargaan tidak hanya diabaikan, tetapi juga dibungkam oleh sistem yang menolak keberadaan individualitas.
Pada puncaknya, manusia memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri - untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri dan mengembangkan potensi secara penuh. Namun, dalam The Memory Police, kebutuhan ini sangat terhambat. Dunia yang dibangun Ogawa adalah dunia yang menolak pencarian makna, kreativitas, dan kebebasan berpikir. Sistem penindasan yang berlaku membuat individu tidak memiliki ruang untuk tumbuh. Mereka hanya diperbolehkan untuk bertahan, tidak untuk berkembang. Sang penulis tetap mencoba menulis, bahkan ketika ia tidak lagi yakin pada kata-kata yang digunakannya. Menulis menjadi satu-satunya cara baginya untuk menegaskan bahwa ia masih hidup, bahwa pikirannya masih bekerja, dan bahwa ia masih memiliki sesuatu untuk dikatakan, meskipun tidak ada yang mendengarkan.
Aktivitas menulis ini menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang berusaha memadamkan cahaya dalam diri manusia. Ini adalah bentuk aktualisasi yang tidak sempurna, namun jujur - usaha untuk menjadi diri sendiri dalam dunia yang menolak eksistensi pribadi. Ketika ia terus menulis meski tidak ada harapan untuk diterbitkan, ia menegaskan haknya untuk berpikir, mengingat, dan merasakan. Dan dalam hal ini, kita melihat bahwa aktualisasi diri bisa terjadi bahkan dalam bentuk yang paling sunyi dan tersembunyi.
Salah satu kekuatan novel ini adalah simbolismenya. Objek-objek yang hilang bukan hanya barang-barang biasa, melainkan simbol dari struktur psikologis dan sosial manusia. Ketika benda-benda tersebut hilang, mereka membawa serta bagian dari identitas dan sejarah pribadi individu. Ketika burung menghilang, bukan hanya kicauannya yang lenyap, tetapi juga simbol kebebasan, kenangan masa kecil, atau makna religius tertentu. Penghapusan benda-benda ini menyebabkan distorsi dalam persepsi diri, sehingga manusia tidak lagi mengenali siapa mereka, apa yang mereka sukai, atau apa yang penting dalam hidup mereka.
Kondisi ini menggambarkan penghancuran kolektif terhadap struktur identitas. Ketika individu tidak lagi memiliki memori, hubungan sosial, atau kepercayaan diri, maka mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka secara utuh. Mereka menjadi bayangan dari diri mereka sendiri- hidup secara biologis, tetapi mati secara psikologis. Ini menunjukkan bahwa represi sistemik tidak hanya membunuh tubuh, tetapi juga membunuh jiwa. Novel ini menjadi refleksi mengerikan tentang bagaimana kekuasaan bisa mengatur dan menghapus bahkan hal-hal paling pribadi dan intim dalam hidup manusia.
Pada akhirnya, The Memory Police adalah kisah tentang kehilangan dalam segala bentuknya: kehilangan benda, kehilangan memori, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan bahasa, dan pada akhirnya kehilangan diri sendiri. Melalui lensa teori Maslow, kita dapat melihat bahwa hilangnya benda-benda ini tidak hanya berdampak pada kehidupan sehari-hari, tetapi juga pada struktur kebutuhan manusia yang paling mendasar. Ketika kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi, individu menjadi terperangkap dalam eksistensi yang hampa dan penuh penderitaan.
Melalui narasi yang lembut namun menghantui, Yoko Ogawa mengajak kita merenungkan betapa pentingnya kenangan, hubungan sosial, dan kebebasan untuk mempertahankan kemanusiaan kita. Ketika kekuasaan mampu menghapus memori dan mengatur apa yang boleh diingat, maka manusia tidak lagi menjadi subjek yang bebas, melainkan objek yang dikendalikan. Dan dalam dunia seperti itu, bertahan hidup bukanlah tentang mempertahankan tubuh, melainkan mempertahankan jiwa - suatu perjuangan yang sunyi, namun sangat manusiawi.