Penerimaan dan Toleransi terhadap Perbedaan dalam Novel Totto-chan Karya Tetsuko Kuroyanagi: Analisis Dengan Teori Abraham Maslow dan Carl Rogers

 


Campusnesia.co.id - Esai ini menganalisis tema penerimaan dan toleransi terhadap perbedaan dalam Totto-chan: The Little Girl at the Window karya Tetsuko Kuroyanagi. Novel ini menghadirkan lingkungan pendidikan yang unik-Tomoe Gakuen - yang merangkul keberagaman, menghargai individualitas setiap anak, dan mendorong empati dan rasa saling menghormati. 

Dengan menggunakan teori psikologi humanistik Carl Rogers dan Abraham Maslow, serta teori sastra sosiologis Wellek dan Warren, studi ini menyoroti bagaimana sastra dapat berfungsi sebagai alat untuk mencerminkan dan mempromosikan nilai-nilai inklusif dalam pendidikan. Temuan ini menunjukkan bahwa lingkungan belajar yang inklusif dan empatik dapat secara signifikan mendukung perkembangan emosional, harga diri, dan aktualisasi diri anak-anak. Novel ini tidak hanya menceritakan kisah pribadi tetapi juga berfungsi sebagai kritik sosial dan visi penuh harapan untuk sistem pendidikan di masa depan.


1. Pendahuluan
Pendidikan merupakan fondasi utama dalam pembentukan karakter manusia sejak usia dini. Namun, sistem pendidikan konvensional sering kali menekankan keseragaman dan kepatuhan, tanpa mempertimbangkan keberagaman karakter dan kebutuhan setiap anak. Dalam konteks ini, novel Totto-chan: The Little Girl at the Window karya Tetsuko Kuroyanagi menghadirkan narasi yang menyentuh dan menyegarkan tentang pentingnya penerimaan dan toleransi terhadap perbedaan dalam dunia pendidikan.

Novel ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi Tetsuko Kuroyanagi saat bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah progresif yang dipimpin oleh Sosaku Kobayashi. Di sekolah ini, murid-murid yang berbeda, baik dari segi fisik, psikologis, maupun latar belakang sosial, diterima dengan tangan terbuka dan didampingi dengan penuh kasih sayang.

Tema ini berfokus pada “Penerimaan dan toleransi terhadap perbedaan dikonstruksi” dalam novel Totto-chan, dengan menggunakan pendekatan teori humanistik dari Carl Rogers dan Abraham Maslow, serta teori sastra sosial dari Wellek dan Warren.


2. Pembahasan 

2.1. Tokoh Kepala Sekolah Kobayashi sebagai Simbol Penerimaan
Kepala Sekolah Kobayashi merupakan tokoh sentral dalam narasi pendidikan alternatif yang ditawarkan dalam novel. Ia adalah figur pendidik yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki empati tinggi dan wawasan luar biasa tentang psikologi anak. Ketika Totto-chan datang ke sekolah barunya dan berbicara tanpa henti selama berjam-jam, Kobayashi tidak menghentikannya, melainkan mendengarkan dengan sabar.

“She kept talking for four hours. The headmaster just listened quietly.” (Kuroyanagi, 1981)

Kutipan ini memperlihatkan bahwa Kobayashi memberi ruang ekspresi tanpa syarat kepada anak. Dalam teori Carl Rogers, hal ini disebut sebagai unconditional positive regard, yaitu suatu sikap di mana seseorang diterima dan dihargai tanpa prasyarat. Rogers menekankan bahwa dalam iklim seperti ini, individu - terutama anak-anak - dapat mengembangkan potensi diri secara optimal karena merasa aman, dihargai, dan dimengerti.

Lebih jauh, pendekatan ini juga menyentuh hierarki kebutuhan Maslow, khususnya pada tingkatan ketiga (kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki) serta keempat (harga diri). Totto-chan, yang sebelumnya merasa ditolak oleh sistem sekolah lamanya, kini menemukan tempat yang menerimanya secara utuh, tanpa prasangka atau stigma. Dari aspek ini, Kobayashi menjadi manifestasi dari sistem pendidikan yang toleran terhadap keunikan pribadi, sekaligus menjadi simbol kritik terhadap pendidikan konvensional yang seragam.

Dalam perspektif sastra sosial Wellek dan Warren, sosok Kobayashi dan sekolah Tomoe Gakuen mencerminkan cita-cita perubahan sosial melalui sastra. Melalui penggambaran pendidikan inklusif ini, novel ini menyuarakan bahwa masyarakat yang adil dimulai dari pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan.


2.2. Inklusi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dan Perbedaan Sosial
Aspek kedua yang menonjol adalah bagaimana Tomoe Gakuen menerima dan melibatkan anak-anak dengan disabilitas dan dari latar sosial berbeda. Salah satu tokoh penting yang menonjol adalah Yasuaki-chan, seorang anak penderita polio yang memiliki keterbatasan fisik. Di sekolah lain, ia mungkin akan dianggap sebagai "beban", tetapi di Tomoe ia dilibatkan dalam kegiatan dan diperlakukan sebagai individu yang setara.

“Kobayashi-sensei thought up ways for Yasuaki-chan to take part in everything, and the children naturally followed his lead.” (Kuroyanagi, 1981)

Kutipan ini menunjukkan bahwa toleransi dan penerimaan bukan hanya nilai yang diajarkan secara verbal, tetapi juga diterapkan secara nyata dalam sistem dan kebiasaan sekolah. Inisiatif kepala sekolah dalam melibatkan Yasuaki-chan menumbuhkan budaya empati dalam diri para siswa, sehingga mereka belajar untuk menghormati perbedaan sejak dini.

Dalam teori Abraham Maslow, perlakuan seperti ini memenuhi kebutuhan akan cinta, penghargaan, dan yang paling tinggi aktualisasi diri, karena anak-anak seperti Yasuaki-chan tidak hanya diterima, tetapi juga diberi peran dan kesempatan untuk berkembang. Sedangkan dalam perspektif Carl Rogers, perlakuan ini merupakan bentuk empathy dan congruence (keaslian sikap guru terhadap murid), yang menjadi syarat mutlak bagi pertumbuhan pribadi yang sehat.

Melalui lensa teori sastra sosial, penggambaran ini adalah bagian dari upaya sastra untuk mengkritik sistem sosial yang eksklusif dan diskriminatif, serta menghadirkan dunia alternatif di mana perbedaan bukan untuk disingkirkan, tetapi untuk dirayakan.


2.3. Kebebasan Mengekspresikan Diri sebagai Penghormatan terhadap Keunikan Anak
Di Tomoe Gakuen, murid-murid memiliki kebebasan memilih mata pelajaran yang ingin mereka mulai di pagi hari, serta diperbolehkan mengekspresikan minat dan rasa ingin tahu mereka tanpa dibatasi oleh aturan kaku. Totto-chan, misalnya, suka membuka dan menutup laci mejanya karena penasaran dengan fungsinya—hal yang sebelumnya dianggap aneh oleh sekolah lamanya.

“You can study what you like first. That’s the rule here.” (Kuroyanagi, 1981)

Metode ini adalah cerminan dari pendekatan pendidikan yang berpusat pada anak, bukan pada kurikulum. Dalam teori Maslow, pendekatan seperti ini memungkinkan anak untuk mencapai aktualisasi diri, karena mereka bisa memilih, mengeksplorasi, dan mengalami secara langsung apa yang mereka minati. Sementara itu, dalam teori Rogers, kebebasan ini adalah bentuk dari pengakuan terhadap eksistensi individu sebagai pribadi yang memiliki kehendak dan arah pertumbuhan alami.

Penghargaan terhadap keunikan anak ini menonjol sebagai perwujudan nyata dari toleransi terhadap keragaman kepribadian, gaya belajar, dan ekspresi diri, sesuatu yang jarang ditemukan dalam sistem pendidikan tradisional.

Dari perspektif Wellek dan Warren, penggambaran kebebasan belajar ini menunjukkan peran sastra dalam mempromosikan cita-cita masyarakat yang mendukung otonomi individu, terutama anak-anak, sebagai bagian dari transformasi sosial yang lebih luas.


3. Penutup
Tema penerimaan dan toleransi terhadap perbedaan dalam novel Totto-chan memberikan gambaran nyata tentang pentingnya pendidikan yang berpihak pada kemanusiaan. Melalui pendekatan humanistik Carl Rogers dan Abraham Maslow, terlihat bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari capaian akademik, tetapi juga dari sejauh mana pendidikan itu memenuhi kebutuhan emosional dan psikologis anak-anak.

Dengan pendekatan teori sastra sosial, novel ini dapat dipahami sebagai bentuk refleksi dan kritik terhadap sistem yang gagal memahami keunikan anak. Totto-chan bukan hanya kisah seorang anak yang nakal tetapi menggemaskan; ia adalah representasi dari anak-anak yang tak diberi ruang oleh sistem kaku, namun justru bersinar ketika mereka diterima.

Karya ini tidak hanya penting sebagai literatur, tetapi juga sebagai inspirasi bagi dunia pendidikan, bahwa keberagaman bukan untuk diseragamkan, tetapi untuk dihargai dan dirayakan.


Penulis:
Zakir Maulana Dafi
Mahasiwa Sastra Jepang
Universitas Andalas



Daftar Pustaka:

Kuroyanagi, Tetsuko. (1981). Totto-chan: The Little Girl at the Window. Tokyo: Kodansha International.

Maslow, Abraham H. (1943). “A Theory of Human Motivation.” Psychological Review, 50(4), 370–396.

Maslow, Abraham H. (1970). Motivation and Personality (2nd ed.). New York: Harper & Row.

Rogers, Carl R. (1980). A Way of Being. Boston: Houghton Mifflin.

Rogers, Carl R. (1961). On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy. Boston: Houghton Mifflin.

Wellek, René & Warren, Austin. (1949). Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace and Company.

Nurgiyantoro, Burhan. (2010). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Semi, Atar. (1993). Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Silahkan komen guys..
EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)