Disintegrasi Diri dan Identitas Tinjauan Psikologi Sastra dalam Novel Hisoyakana Kesshou Karya Ogawa Yoko

0
 


Campusnesia.co.id - Identitas merupakan bentuk dari psikologis dan sosial manusia yang dibentuk melalui pengalaman, interaksi, bahkan kesadaran dari individu itu sendiri dan lingkungannya. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, seseorang dapat membentuk kesadaran terhadap dirinya sendiri melalui ingatan, bahasa, simbol, dan hubungan sosial yang dapat menghubungkan manusia dengan masyarakat atau dunia luar. Dalam novel ini, digambarkan dengan tema yang paling mendalam yaitu tentang krisis identitas dan disintegrasi diri. 

Pada tema ini, menggambarkan bagaimana setiap orang dan individu mengalami kehancuran atau kehilangan struktur kepribadiannya karena adanya tekanan yang berasal dari dalam (internal) dan tekanan yang berasal dari luar (Eksternal). Untuk membahas tentang novel Hisoyakana Kesshou yang ditulis oleh Ogawa Yoko dapat menjadi contoh yang kuat tentang bagaimana kekuasaan di suatu tempat yang otoriter dan penghapusan ingatan dapat mengakibatkan hilangnya identitas diri seseorang. 

Selain itu, dalam novel Hisoyakana Keshhou terdapat masyarakat yang enggan bahkan tidak mempunyai daya untuk melawan kekuasaan yang otoriter tersebut. Hal ini dapat mengungkapkan sudah terjadi hilangnya identitas masyarakat tersebut secara perlahan dan menganggap perlakuan dari polisi memori tersebut adalah hal yang biasa terjadi di pulau kecil tersebut. Hal yang paling buruk yang terjadi, mereka akan dipaksa untuk melupakan sesuatu dan lambat laun akan melupakan sesuatu hal tersebut dan bahkan identitas masyarakat tersebut.

Keadaan masyarakat pada cerita tersebut menggambarkan dunia yang kejam dan selalu dikekang tidak adil oleh pemerintah, hal inilah yang disebut dengan distopia. Booker (1994: 22) menjabarkan distopia sebagai istilah yang meliputi bagaimana menyoroti masyarakat dengan pandangan yang imajinatif. Hal ini berfokus kepada bagaimana tidak idealnya masyarakat di suatu tempat yang dikekang oleh suatu sistem pemerintahan dan dicabutnya hak kebebasan serta hak bersuara dalam masyarakat di suatu tempat. Tentunya teori dari Booker sangat berhubungan dengan apa yang digambarkan di dalam cerita novel Hisoyakana Kesshou itu sendiri. Dikarenakan banyaknya terjadi konflik antara masyarakat yang mempunyai ketidakberdayaan untuk melawan terhadap pemerintahan yang otoriter. Hal ini juga berkaitan dengan perampasan dan pencabutan hak-hak kesadaran setiap individu. 

Dalam sudut pandang psikologi sastra, kesadaran setiap individu dapat dinilai dan dianalisis dengan suatu teori dari Jacques Lacan. Dalam tokoh “Aku” merupakan penggambaran yang kuat bagaimana kesadaran dari seorang tokoh “Aku” yang pada awalnya belum tahu apa pun tentang struktur dari masyarakat. Menurut Teori Jacques Lacan (Disampaikan oleh Bowie, 1991: 91) ada tiga tahap utama dalam menganalisis kesadaran seseorang dalam psikologi, Yaitu: Tahap Real, Tahap Imajiner, dan Tahap Simbolik. Hal ini berkaitan bagaimana kesadaran seorang tokoh “Aku” digambarkan di dalam novel Hisoyakana Kesshou


Gambaran Pengarang, Politik Jepang, dan Tokoh Cerita

a. Ogawa Yoko Selaku Pengarang
Ogawa Yoko lahir pada 30 Maret 1962 di Prefektur Okayama, Jepang. Ogawa bekerja sebagai penulis novel, penulis cerpen, dan penulis esai. Selain itu Ogawa mendapatkan “Akutagawa Prize” pada tahun 1990.

Ogawa Yoko merupakan seorang pengarang dari novel “Hisoyakana Kesshou”. Sejak 1988, Ogawa Yoko sendiri telah menerbitkan lebih dari lima karya fiksi serta non-fiksi. Pada tahun 2006, Ogawa Yoko juga menulis dalam buku yang berjudul “Pengantar Matematika Paling Elegan di Dunia” dengan pertnernya yaitu Masahiko Fujiwara seorang ahli dalam bidang matematika sebagai dialog tentang indahnya angka yang luar biasa.

Ogawa Yoko dikatakan mampu untuk mengungkapkan cara kerja psikologi manusia yang paling halus dalam prosa yang terbilang lembut namun tajam. 



b. Kondisi Politik Jepang pada Saat Itu
Kondisi yang ada pada novel dapat dikaitkan dengan keadaan Jepang pada saat Era Taisho (1912). Walaupun pada saat Era Taisho sudah terjadi penghapusan hierarki sosial (士農工商), namun masyarakat tetap tidak bisa menampilkan diri di hadapan ke pemerintahan dikarenakan pada saat itu para petinggi dan kelas atas di Jepang sedang berkuasa di dalam politik pemerintahan. Kedudukan mereka juga tidak dapat digoyahkan karena adanya dukungan dari pemerintah setempat.

Masyarakat pada Era Taisho hanya menurut dan mau tidak mau diatur oleh kalangan atas yang didukung oleh kekuasaan kaisar pada saat itu. Bahkan, serikat tani dan buruh tidak dapat tampil degan bebas dikarenakan selalu dihalang dan dilarang oleh penguasa. Akibat larangan dari petinggi, banyak masyarakat yang ingin melawan rezim ke pemerintahan kaisar. Tetapi pada ujungnya, masyarakat pada saat itu terlalu takut untuk melawan pemerintahan Jepang yang mengakibatkan kemiskinan hebat melanda masyarakat. Latar belakang masyarakat untuk melawan pada saat itu adalah tidak adilnya para pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang berdampak signifikan kepada masyarakat kelas bawah. 


c. Tokoh “Aku” dalam Novel
Tokoh “Aku” selaku tokoh utama dalam novel “Hisoyakana Keshhou” merupakan penggambaran suatu tokoh yang peduli dengan orang lain yang diakibatkan dari masa lalunya. Pada saat itu apa yang disayanginya akan hilang dalam sekejap mata. Maka dari itu, tokoh “Aku” memiliki karakteristik yang peduli terhadap sesuatu dengan bukti kutipan.

“Keesokan harinya, tanpa bertanya kepada R terlebih dahulu, aku memutuskan mengunjungi markas besar Polisi Kenangan.” (Ogawa Yoko, 108).

“Makanlah makanannya selagi panas. Aku minta maaf karena memberimu sup yang sama setiap hari, tetapi hasil tahun ini jelek dan tidak ada sayuran lain selain kentang dan bawang dari tahun lalu.” (Ogawa Yoko, 101).

Pada kutipan pertama, menggambarkan kepedulian tokoh “Aku” yang ingin menyelamatkan editor R dengan cara menyelamatkan paman tua dari interogasi Polisi Memori yang akan menjadi senjata ampuh untuk melacak keberadaan R. Tentunya ini sangat menggambarkan bagaimana pedulinya “Aku” terhadap R dan Paman Tua secara tidak langsung dari tangan Polisi Memori.

Pada kutipan kedua, membuktikan bahwa tokoh “Aku” hanya bisa memberikan sup kepada R yang sedang menginap di ruangan rahasia yang dingin dan tanpa makanan. Makanan pada musim dingin saat itu sangatlah langka sehingga masyarakat pada saat itu sangat susah untuk memberikan keluarga mereka makan karena musim dingin yang melanda saat itu. Ini sangat menggambarkan bagaimana kepedulian tokoh “Aku” kepada R selaku editornya dengan memberikan makan walau sedang terjadi krisis makanan. 


Analisis

a. Tahap Real (Real Phase)
Merupakan tahapan realitas, di mana seorang bayi selalu merasakan sesuatu yang penuh, utuh, dan tanpa kekurangan. Merupakan fase yang mana tak dapat diungkapkan, dipahami, bahkan disimbolkan. Dikarenakan seorang bayi tak dapat menjelaskan rasanya kehilangan dan kesedihan. Pada tahap ini, dapat dianalisis dengan kutipan.

“Apakah rasanya menakutkan?” (Ogawa Yoko, 7)

“Para peneliti muda di sana bersikap baik kepadaku dan selalu memberiku kue-kue dan cokelat panas” (Ogawa Yoko, 12)

Pada kutipan pertama dapat membuktikan bahwa tokoh “Aku” selalu dalam kondisi tercukupi dan diberkahi dengan orang terdekatnya. Dalam kutipan pertama dia pun tak mengenal apa itu perasaan dari kehilangan sesuatu hidupnya sebelum dia merasakannya sendiri.

Pada kutipan kedua, tokoh Aku merupakan seorang yang selalu diberikan kesenangan serta berkah hidup sejak kecil seperti diberi makanan atau minuman dari semua orang sebelum mengetahui apa makna dibalik dari kehilangan memori dan perasaan sedih akan kehilangan.


b. Tahap Imajiner (Imaginary Phase)
Merupakan tahapan di mana seorang bayi mulai bisa membedakan dirinya sendiri dengan orang lain (the others). Disebut dengan tahapan cermin di mana sang bayi dapat melihat bayangan dirinya dengan jelas dan bisa menyebut dirinya ada (exist). Hal ini dapat menimbulkan keinginan (desire) pada dirinya. Pada tahap ini dapat dianalisis dengan kutipan.

“Keesokan harinya, tanpa bertanya kepada R terlebih dahulu, aku memutuskan mengunjungi markas besar Polisi Kenangan” (Ogawa Yoko, 108).

“Rasanya aneh kau masih bisa menciptakan sesuatu yang benar-benar seperti ini hanya dengan kata-kata di pulau di mana segala sesuatu mengilang” (Ogawa Yoko, 31).

Pada kutipan pertama, dapat dibuktikan bahwa digambarkan seorang “Aku” pada saat kakek tua diculik, akhirnya dia tahu bahwa dirinya, kakek tua, dan polisi kenangan itu merupakan the other yang berbeda. Maka dari itu, dalam diri “Aku” muncul keinginan (desire) untuk menolong kakek tua tersebut dari tahanan polisi kenangan.

Pada kutipan kedua, juga dapat dibuktikan karena adanya tokoh “Aku” masih dapat menciptakan sesuatu walaupun dunia sedang hancur-hancurnya di luar. Hal ini menandakan bahwa Tahap Imajiner bisa menutupi kekurangan simbolik.


c. Tahap Simbolik
Merupakan tahap seorang bayi mulai menyebutkan dirinya sebagai “Aku” dalam struktur bahasa. Pada tahapan ini, manusia selalu merasa kekurangan posisi kekurangan. Pada saat bayi masuk dalam dunia yang memiliki struktur bahasa, bayi harus tunduk dengan sistem aturan penandaan bahasa.

“Ia mengeluarkan pemantik dari saku jaket, membakar agenda itu, lalu membuangnya ke luar jendela” (Ogawa Yoko, 166).

“Tapi sepertinya itu tidak cukup untuk mencegah jiwaku terus merosot. Aku mungkin berhasil menyelesaikan ceritanya, tapi aku masih kehilangan diriku sendiri” (Ogawa Yoko, 287).

Pada kutipan pertama, digambarkan “Aku” yang rela menerima pembakaran barang berharganya berupa kalender oleh Polisi Kenangan karena hal itu sudah merupakan hal yang tetap dan tidak bisa dibantah oleh aturan.

Pada kutipan kedua, tokoh “Aku” mulai kehilangan jati diri beserta anggota tubuhnya. Namun, secara paksa “Aku” harus menuruti apa yang diinginkan pemerintahan yang ada di pulau itu dengan menghilangkan benda yang ada pada tubuh “Aku” walaupun identitas dan jati dirinya.


Melalui novel “Hisoyakana Kesshou” kita semua dapat melihat bagaimana identitas dan kesadaran seseorang hancur dikarenakan adanya pemaksaan kekuasaan yang dilakukan oleh para pemimpin dengan metode pemaksaan dan pelanggaran hak-hak serta identitas setiap individu yang terjadi di dalam novel yang dapat diteliti dengan teori Lacan.


Penulis:
Vierdy Raditya Pratama
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Universitas Andalas


Daftar Pustaka:
Booker, M. Keith. (1994). “The Dystopian Impulse in Modern Literature: Fiction as Social Criticism”. London : Greenwood Press.

Darmanto, Rida. 2011. “Kajian Hasrat Dalam Dua Novel ASIA: Sebuah Analisis Psikoanalisis Lacan”.

Pendidikan Seperti Apa yang Dibutuhkan Anak? Monoton atau Mendukung Kreativitas? (Tinjauan Psikologi Humanistik pada Sistem Pendidikan dari Novel Totto-Chan)

0
 

Jika seorang anak tidak bisa belajar dengan cara kita mengajar, 
mungkin kita harus mengajar dengan cara mereka belajar."
- Ignacio Estrada

Oleh: 
Muhamad Zacky Arifin

Campusnesia.co.id - Dalam dunia pendidikan yang seringkali diseragamkan, muncul satu pertanyaan penting: apakah sistem pendidikan yang kita berikan benar-benar memenuhi kebutuhan anak sebagai individu yang unik? Novel Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi mengajak kita merenung ulang. Di balik kisah sederhana tentang seorang anak perempuan yang dianggap "bermasalah" oleh sekolah lamanya, tersimpan potret pendidikan alternatif yang begitu manusiawi dan revolusioner.

Sekolah Tomoe, tempat Totto-Chan akhirnya bernaung, bukan sekadar institusi pendidikan biasa. Di tangan kepala sekolah Sosaku Kobayashi, sekolah ini menjadi ruang di mana anak-anak tidak hanya belajar, tapi tumbuh, berkembang, dan dikenali sebagai pribadi yang utuh. Melalui pendekatan psikologi humanistik, terutama teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, sistem pendidikan di Sekolah Tomoe terbukti menjadi cermin dari pendidikan yang merangkul kebutuhan fisik, emosional, dan spiritual peserta didik.


Pendidikan dari Lensa Teori Kebutuhan Maslow
Abraham Maslow, seorang psikolog humanistik, menyatakan bahwa manusia memiliki lima kebutuhan dasar yang perlu dipenuhi secara bertahap: kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan kebersamaan, harga diri, dan aktualisasi diri. Jika kelima kebutuhan ini terpenuhi, maka seseorang dapat berkembang secara optimal - dan hal ini tidak hanya berlaku bagi orang dewasa, tetapi juga sangat penting bagi anak-anak dalam proses pendidikan.

Dalam novel Totto-Chan, kebutuhan-kebutuhan tersebut terepresentasi dalam kehidupan sekolah Tomoe. Kebutuhan fisiologis anak-anak dipenuhi melalui penyediaan ruang kelas yang tidak biasa - berada di dalam gerbong kereta bekas - dengan suasana alami yang menenangkan. Totto-Chan bahkan mengungkapkan bagaimana ia bisa belajar sambil mendengar burung berkicau dan menikmati hembusan angin yang sejuk, menciptakan kenyamanan fisik sekaligus psikologis. Makanan bergizi yang disediakan sekolah pun menjadi bagian dari pengalaman belajar yang menyenangkan dan memperhatikan kesejahteraan tubuh anak.

Selanjutnya, kebutuhan akan rasa aman terpenuhi karena tidak ada praktik hukuman atau penilaian yang mengancam. Totto-Chan, yang sebelumnya dikeluarkan dari sekolah karena dianggap terlalu aktif, justru diterima dengan tangan terbuka oleh Kobayashi. Ia tidak pernah dimarahi meskipun melakukan hal-hal yang tidak biasa. Suasana belajar menjadi bebas dari rasa takut dan penuh penerimaan, memungkinkan anak-anak untuk bereksplorasi dan mengekspresikan diri mereka dengan nyaman.

Kebutuhan akan cinta dan kebersamaan juga tercermin dari relasi hangat antara murid dan guru di Tomoe. Setiap anak diperlakukan seperti anggota keluarga besar. Kobayashi mengenal dan memperhatikan masing-masing murid secara personal, bahkan memberikan kata-kata penuh makna seperti, “Kamu benar-benar anak baik, kau tahu itu, kan?” Kalimat sederhana ini menciptakan rasa dihargai dan diterima yang mendalam bagi seorang anak.

Dari segi kebutuhan harga diri, pendekatan pembelajaran di Tomoe memberikan keleluasaan kepada murid untuk memilih urutan pelajaran yang ingin mereka pelajari. Hal ini mendorong kepercayaan diri dan rasa tanggung jawab dalam diri anak. Mereka merasa diberdayakan untuk mengambil keputusan sendiri dalam proses belajar, sehingga merasa dihormati dan dipercaya oleh gurunya.

Akhirnya, kebutuhan tertinggi menurut Maslow - yakni aktualisasi diri - terwujud ketika anak-anak di sekolah Tomoe memiliki ruang dan dukungan untuk mengenali serta mengembangkan potensi unik mereka. Totto-Chan, yang semula dianggap "bermasalah", berubah menjadi anak yang percaya diri, empatik, dan penuh semangat. Ia menemukan bahwa dirinya mampu tumbuh menjadi individu yang merdeka secara psikologis dan kreatif, karena berada dalam lingkungan yang mendukung.


Pendidikan Humanistik: Apa yang Bisa Dipelajari?
Psikologi humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi positif dan keinginan alami untuk berkembang. Dalam konteks pendidikan, pandangan ini berarti setiap anak perlu diperlakukan sebagai individu yang unik, bukan sekadar bagian dari sistem yang menyamaratakan. Hal ini sejalan dengan filosofi Sekolah Tomoe, yang menolak pendekatan pendidikan satu arah dan seragam.

Di Tomoe, pembelajaran disesuaikan dengan minat pribadi setiap anak. Mereka tidak dipaksa mengikuti urutan pelajaran yang ditentukan, tetapi diberi kebebasan untuk belajar apa yang mereka sukai terlebih dahulu. Hal ini bukan hanya membangun motivasi belajar dari dalam, tetapi juga membantu anak menemukan jalannya sendiri dalam memahami dunia.

Sekolah ini juga berupaya mengembangkan potensi unik setiap siswa, tanpa membandingkan atau memaksakan standar tertentu. Relasi yang dibangun antara guru dan murid sangat personal dan penuh empati. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi menjadi pendamping dalam proses pertumbuhan anak. Inilah inti dari pendidikan yang bukan hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan kepribadian dan kemandirian.


Refleksi untuk Dunia Pendidikan Indonesia
Sistem pendidikan di Indonesia masih banyak berfokus pada capaian akademik, ranking, dan nilai ujian. Sayangnya, pendekatan ini seringkali mengabaikan kebutuhan psikologis siswa yang justru menjadi fondasi penting dalam proses belajar yang bermakna. Kita perlu mempertanyakan kembali: apakah sekolah hari ini sudah menjadi tempat yang aman dan menyenangkan untuk belajar?

Banyak hal yang bisa kita pelajari dari sistem pendidikan Tomoe. Pertama, penting bagi sekolah untuk memberikan ruang kebebasan belajar sesuai minat dan gaya belajar siswa. Anak-anak tidak semuanya belajar dengan cara yang sama, dan sistem yang fleksibel akan memberi mereka kesempatan berkembang lebih optimal. Kedua, budaya hukuman yang masih lazim perlu diganti dengan pendekatan empatik dan penguatan positif, agar anak tidak belajar dalam tekanan dan rasa takut. Ketiga, sekolah harus menjadi tempat yang aman secara fisik dan emosional, di mana setiap anak merasa diterima, dihargai, dan didengar.

Mengadopsi prinsip-prinsip Maslow dalam pendidikan bukan berarti meninggalkan kurikulum atau aturan, tetapi menyelaraskan pendekatan pendidikan agar lebih manusiawi dan berpihak pada kesejahteraan siswa secara menyeluruh.


Penutup
Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela adalah lebih dari sekadar kisah seorang anak yang aktif dan unik. Ia adalah cermin dari pendidikan yang mendengarkan, memanusiakan, dan membimbing anak-anak sesuai kebutuhan dan potensinya. Novel ini menunjukkan bahwa ketika anak merasa aman dan diterima, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang utuh dan penuh percaya diri.

Teori Maslow mengingatkan kita bahwa pendidikan terbaik bukanlah yang paling ketat atau menghasilkan nilai tertinggi, tetapi yang memenuhi kebutuhan dasar anak agar mereka bisa berkembang dan menjadi manusia seutuhnya. Maka, saatnya kita bertanya ulang: pendidikan seperti apa yang benar-benar dibutuhkan anak-anak kita hari ini?



Daftar Pustaka
Adam, S. (2015). Pendidikan Humanis dalam Prespektif Islam (Konsep dan Implementasinya dalam Proses Belajar Mengajar). Jurnal TADBIR, 3(1), 1–13.

Anjarwati, T. (2015). Motivasi dari Sudut Pandang Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, Teori Dua Faktor 

Damaisagita, A., dkk. (2009). Menyelami Metode Pendidikan Humanistik Sosaku Kobayashi Dalam Novel Totto-Chan: The Little Girl at the Window Karya Tetsuko Kuroyanagi. Jurnal Izumi, 8(1), 55–68.

Graham, H. (2005). Psikologi Humanistik dalam Konteks Sosial, Budaya dan Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kuroyanagi, T. (2008). Totto-Chan: The Little Girl at the Window. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Riondita, D. (2017). Aktualisasi Diri Tokoh Utama dalam Novel 1Q84 Karya Murakami Haruki: Sebuah Kajian Psikologi Humanistik. Skripsi. Universitas Diponegoro.

Sumampouw, R. J., Masoko, M., & Lensun, S. (2019). Humanistic Psychology Analysis In Novel Madogiwa No Tottochan. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 383, 209–212.

Wijaya, M. (2001). Mencari Visi Dasar Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Berburu Koin Tazos di Chiki Balls Edisi One Piece

0


Campusnesia.co.id - Pertama tahu tentang promo Chiki Balls berhadiah Coin Tazos dari twitter mas @mmaryasir . Tiba-tiba ingatan saya mundur jauh ke belakang pada suatu hari di tahun 1995. Masih jelas di ingatan, hari itu seorang teman di kelas 1 SD memberi sebuah mainan yang berkilauan.

Mainan itu berbentuk koin seukuran uang 50 rupiah kala itu. Bila digerakkan bakal berkilauan memperlihatkan dua gambar yang berbeda. Sebagai anak desa yang belum tahu ada mainan seperti itu tentu saja saya sangat bahagia.

Belakangan baru saya tahu, mainan yang diberikan oleh teman saya bernama Etri Cahyaning Rahayu atau biasa saya panggil Dek Ayuk bernama Tazos dan gambar yang ada di dalamnya dari film Star Wars yang di tahun segitu sangat populer.

Dek Ayu yang orang orang tuanya asli Kecamatan Juwana dan rumah nrneknya dekat alun-alun tentu lebih familiar dengan jajanan yang kekinian beda dengan saya yang tinggal di desa, belum lagi sejak dahulu kala snack Chiki Balls memang harganya lebih mahal dibanding jajanan kami seperti snack Top 10 atau Tiara yang secara bentuk dan rasa mirip Taro.

Kembali ke judul, begitu tahu Chiki Balls punya program hadiah Tazos lagi, saya segera meluncur ke Indomaret dan Alfamart. Di Alfamart dapat harga Rp7.500 dan di Indomaret dapt harga Rp7.000 sedikit lebih murah dan sayangnya masa promo Rp5.500 sudah lewat.

Saya beli dua bungkus rasa yang berbeda, rasa Keju expired bulan Oktober 2025 isinya Coin Tazos doff dan yang rasa Coklat expired bulan Desember 2025 dapat coin Tazos hologram. Kenapa saya sebut expired datenya karena hal itu jadi penanda sobat bakal dapat jenis koin apa.

Sayangnya ekspektasi saya pada koin jenis hologram bakal sama dengan Tazos saat SD pemberian Dek Ayuk buyar karena kualitas Tazosnya berbeda. 


Tapi gak apa-apa, sebagai sebuah pengalaman bernostalgia dengan masa kecil bagi saya ini sudah lebih dari cukup. Begini rasanya membeli snack Chiki Balls, membuka kemasannya dan mendapati hadiah Coin Tazos di dalamnya. Terbayag bagaimana kebahagiaan teman saya dulu waktu SD sudah bisa merasakannya. Saking senengnya mungkin kalau saya dapat sendiri Tazos tersebut saat SD mungkin tidak begitu rela jika harus memberikannya pada teman, so..makasih buat Dek Ayuk yang sudah memberikan coin Tazos milikmu.

Oh ya btw, dalam satu kemasan Chiki Balls berisi 2 koin. Buat yang bertanya buat apa koleksi koin Tazos bisa sekedar jadi koleksi atau juga bisa dirakit jadi berbagai macam model dan mainan sesuai imajinasi masing-masing.

Sebagai informasi, Tazo adalah kepingan lingkaran yang dapat ditemui di dalam kemasan makanan ringan yang dibuat oleh Frito-Lay dan cabangnya di dunia. Ide dibuatnya Tazo mirip dengan Pog (mirip dengan Tazo, namun berbentuk tutup botol kemasan), dimana setiap tazo memiliki nilai sendiri, dan dimainkan untuk 'memenangi' tazo dari pemain lain.

Tazo telah diproduksi ke dalam beberapa bentuk pola, dimulai dari piringan bulat yang orisinil, sampai ke piringan segi-delapan, dan beberapa tahun kemudian menyerupai kartu koleksi. Sebagai bentuk tambahan dari Pog veri Jepang, beberapa seri Tazo dilengkapi dengan sedikit irisan dan torehan di ujungnya, memungkinkan pemain untuk menyatukannya dan membuat suatu bangunan. Edisi seri Star Wars memiliki bagian pelengkap tambahan yang memungkinkan pemain untuk membangun kapal luar angkasa.

Tazo biasanya terbuat dari plastik, namun beberapa seri terbuat dari karton atau aluminium (contohnya seperti seri metalik Yu-Gi-Oh! versi Australia). (sumber: wikipedia.org)


Barangkali ada juga pembaca yang punya minat yang sama atau sekedar mau bernostalgia selamat berburu Tazosnya. Semoga bermanfaat sampai jumpa.


Penulis
Nandar




Analisis Psikologi Sastra dalam Novel “Totto-Chan: Gadis Cilik Di Jendela” Karya Tetsuko Kuroyonagi

0
 


Campusnesia.co.idPendidikan merupakan pondasi utama dari pembentukan karakter dan kecerdasan seorang anak. Namun tidak semua sistem Pendidikan cocok dengan karakterisitik sifat ‘unik’ semua anak yang memilki perbedaan cara belajar dan juga kepribadian yang berbeda dari kebanyakan murid lainnya. Novel Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyonagi merupakan novel yang membahas tentang seorang anak yang Bernama Totto-Chan yang di keluarkan dari sekolah karena memiliki karakter yang berbeda dari kebanyakan murid lainnya.

Novel ini merupakan autobiografi dari penulisnya sendiri yaitu Tetsuko Kuroyonagi dan di dalam novel ia berperan sebagai Totto-Chan seorang anak yang dianggap ‘nakal’ dan sangat susah diatur oleh guru nya sendiri sehingga ia dikeluarkan dari sekolah, ia lahir di perfektur Tokyo, Jepang pada tanggal 9 Agustus 1933. Novel ini bercerita tentang Totto-Chan yang awalnya dia bersekolah di sekolah biasa tetapi karena berbagai kenakalan dan juga perilakunya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di sekolah lamanya membuatnya harus di keluarkan dari sekolahnya dan mencari sekolah baru dan saat itu ibunya menemukan sekolah baru yaitu Tomoe Gakkuen.

Tomoe Gakkuen merupakan sekolah yang berbeda dari kebanyakan sekolah tradisional pada zamannya, sekolah ini mengedepankan pendekatan yang berbeda kepada setiap muridnya yang memiliki karakter dan sifat yang berbeda-beda, dalam Pendidikan modern pendekatan ini sama seperti kurikulum Merdeka yang digunakan di Indonesia saat ini, dan setiap anak memiliki cara belajar yang berbeda, desain sekolah ini juga berbeda dari sekolah lainnya yaitu sekolah ini memiliki Gedung yang berupa gerbong-gerbong kereta api yang sudah tidak terpakai dan di ubah menjadi ruangan kelas, ruangan kelas seperti ini membuat suasana belajar tidak membosankan bagi anak-anaknya 

Kepala sekolahnya Sousuke Kobayashi percaya bahwa setiap anak harus diberi kebebasan untuk belajar sesuai dengan keinginan mereka sendiri, tidak seperti pembelajaran biasanya yang hanya duduk diam di dalam kelas, mendengarkan guru dan membuat tugas saja, anak-anak di Tomoe Gakkuen diberikan kesempatan untuk memilih mata Pelajaran apa yang ingin mereka belajar terlebih dahulu dan bahkan mereka bisa dengan sesuka hati memilih tempat duduk mereka. Metode Pelajaran tersebut sangat berbeda dengan metode pelajaraan di Jepang pada saat itu yaitu di era sebelum dan saat perang dunia ke 2 dimana sistem Pendidikan di saat itu sangat kaku dan juga formal. 

Di Tomoe Gakkuen menerapkan pembelajaran yang menggabungkan pembelajaran di dalam kelas dan juga di luar kelas, anak-anak di ajak bermain sambil belajar di alam bebas dan juga berenang hal itu membuat para murid tidak akan merasa jenuh untuk belajar


Gambaran Pengarang Novel, Teori Sastra, dan Tokoh Cerita 

Tetsuko Kuroyonagi Pengarang Novel Totto-Chan

Tetsuko Kuroyanagi dilahirkan pada 9 Agustus 1933 di Tokyo, Jepang. Ia adalah seorang aktris, pengisi suara, presenter televisi, penulis, dan aktivis kemanusiaan yang terkenal di Jepang dan secara global. Tetsuko dilahirkan dalam keluarga seniman, di mana ayahnya merupakan seorang pemain biola di orkestra dan ibunya adalah seorang penulis esai, sehingga sejak kecil ia dibesarkan dalam suasana yang kosmopolitan dan mendukung kebebasan berekspresi. Walaupun orangtuanya semula menginginkan anak laki-laki dan telah menyiapkan nama untuknya, kelahiran Tetsuko yang merupakan seorang perempuan justru menjadi permulaan dari kisah hidupnya yang khas dan berwarna. 

Sejak masa kanak-kanak, Tetsuko telah dikenal sebagai seorang anak yang sangat energik dan memiliki sifat yang berbeda dari anak-anak seusianya yang lain. Ia sulit untuk tetap tenang, sering berbincang dengan burung di luar jendela, dan sering mengganggu kelas di sekolah biasa. Pada saat itu, situasi seperti ini belum dikenal sebagai tanda-tanda ADHD atau kebutuhan khusus, sehingga ia pun akhirnya diusir dari sekolah dasar umum. Akan tetapi, orangtuanya tidak putus asa dan mencari opsi pendidikan yang lebih cocok, sampai akhirnya Tetsuko bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah institusi dengan metode pendidikan progresif yang sangat berbeda dari sekolah konvensional Jepang pada waktu itu. 

Pengalaman masa kecil Tetsuko di Tomoe Gakuen menjadi sumber inspirasi utama dalam penulisan novel autobiografi berjudul Totto-chan: Gadis Kecil di Jendela yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1981. Novel ini menggambarkan perjalanan hidupnya sebagai seorang anak yang istimewa dan bagaimana pendidikan di Tomoe Gakuen mendukungnya untuk tumbuh secara maksimal. Buku ini telah menjadi sangat dikenal, terjual lebih dari 25 juta eksemplar di seluruh dunia dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa, menjadikannya salah satu memoar terlaris sepanjang sejarah Keberhasilan buku ini juga mengangkat reputasi Tetsuko sebagai penulis yang mampu memberikan inspirasi bagi dunia pendidikan modern melalui pendekatan yang humanis.

Selain berprofesi sebagai penulis, Tetsuko Kuroyanagi juga terkenal sebagai pembawa acara legendaris talk show di Jepang, Tetsuko no Heya (Ruang Tetsuko), yang dimulai pada tahun 1975 dan sampai saat ini telah mengudara lebih dari 11.000 episode, mencetak rekor dunia Guinness untuk talk show dengan pembawa acara yang sama terlama. Program ini terkenal dengan gaya wawancara yang akrab, santai, dan penuh perhatian, menjadikan Tetsuko sebagai salah satu sosok televisi terpopuler dan paling dihormati di Jepang. 

Selain berkarier di industri hiburan, Tetsuko juga terlibat dalam berbagai aktivitas kemanusiaan. Pada tahun 1984, ia ditunjuk sebagai Duta Persahabatan UNICEF, sehingga menjadi orang Asia pertama yang mengisi jabatan itu. Selama bertahun-tahun, ia melakukan perjalanan lapangan ke berbagai negara berkembang di Asia dan Afrika, mendukung anak-anak yang menjadi korban perang dan bencana, serta mengumpulkan dana lebih dari 20 juta dolar AS untuk program-program UNICEF. Ia pun mendirikan Yayasan Totto yang berfokus pada pelatihan aktor tuna rungu, mengintegrasikan kepeduliannya terhadap seni dan pendidikan yang inklusif. 

Tetsuko Kuroyanagi telah dianugerahi berbagai penghargaan untuk kontribusinya di sektor seni, televisi, dan kemanusiaan, termasuk Order of the Sacred Treasure dari pemerintah Jepang serta Global Leadership for Children Award dari UNICEF. Ia juga dikenal sebagai konsultan World Wide Fund for Nature (WWF) dan giat mendorong kesadaran lingkungan. 
Secara keseluruhan, Tetsuko Kuroyanagi adalah pribadi yang beraneka ragam, tidak hanya berhasil dalam industri hiburan, tetapi juga menjadi pionir dalam pendidikan inklusif serta aktivis kemanusiaan. Novel Totto-chan tidak hanya menceritakan masa kecilnya, tetapi juga merupakan warisan berharga yang menginspirasi dunia pendidikan agar lebih menghargai keberagaman dan kebebasan belajar anak-anak di seluruh dunia. 


Teori Sastra pada Novel Totto-Chan

Teori Psikologi sastra, teori Psikoanalisis Sigmund Freud yang di perkenalkan oleh Sigmund Freud. Dalam teori psikoanalisis tersebut Sigmund Freud menyebutkan bahwa dalam karya sastra ada 3 konsep yang harus ada yaitu Id, Ego, dan Super Ego dalam novel Totto-Chan terdapat 3 aspek tersebut. 

1. Id pada Totto-Chan

Id merepresentasikan dorongan naluriah dan keinginan dasar Totto-chan sebagai anak kecil, seperti keinginan bermain bebas, bereksplorasi, dan mengekspresikan dirinya tanpa Batasan. Misalkan, Totto-chan yang sering di anggap nakal di sekolah lama karena mengikuti dorongan spontan dan rasa ingin tahu nya yang tinggi, mencerminkan dominasi Id yang menginginkan kepuasan segera tanpa memperhatikan aturan social. Berikut kutipan yang menggambarkan Id di dalam diri Totto-chan.

“Saya sudah menjelaskan bahwa murid-murid tak boleh membuka atau menutup mejanya dan mengeluarkan atau mengambil sesuatu.”

Dalam kutipan tersebut menggambarakan Id di dalam Totto-chan yang memiliki rasa ingin tau yang kuat, karena rasa ingin tau yang kuat tersebutlah ia melakukan hal-hal yang seharusnya tidak di lakukannya 


2. Ego pada Totto-Chan

Ego berfungsi sebagai jembatan antara Id dan lingkungan sekitar, dalam novel Ego terlihat Ketika Totto-chan mulai menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekolah yang baru atau saat di sekolah lamanya Dimana guru nya mengadukan semua sikap yang di lakukan oleh Totto-chan kepada ibunya, seperti di kutipan berikut. 

“Misalnya, waktu Pelajaran menulis abjad putri anda membuka meja, mengeluarkan buku catatan, lalu menutup meja dengan cara membantingnya.”

Dalam kutipan tersebut dapat terlihat bahwa ego di dalam diri Totto-chan mulai bertindak sebagai pemuas dari keinginan Id yang ada di dalam diri Totto-chan 


3. Superego pada Totto-chan 

Superego dalam diri Totto-chan muncul sebagai norma social yang ada di dalam Masyarakat, melalui interaksi dengan guru, orang tua dan teman-temannya di dalam novel tersebut contohnya pada kutipan berikut:

“Karna Totto-chan membuat guru kesal di kelas, ia pun di keluarkan atas perilakunya tersebut.”

Pada kutipan di atas superego yang berperan sebagai norma yang ada di Masyarakat muncul membatasi perilaku Totto-chan yang di anggap tak sesuai norma social yang ada di dalam Masyarakat, kutipan tersebut menjelaskan karena perilaku Totto-chan yang di anggap ‘nakal’ membuat guru mengeluarkannya sebagai akibat sanksi atas perilakunya tersebut.


Tokoh Totto-Chan pada Novel

Totto-chan merupakan karakter sentral dalam novel Totto-chan: Gadis Kecil di Jendela, yang merupakan nama akrab dari Tetsuko Kuroyanagi, pengarang novel ini. Totto-chan digambarkan sebagai seorang gadis kecil berusia tujuh tahun yang kaya akan rasa ingin tahu, memiliki imajinasi yang luar biasa, serta bersemangat tinggi. Ia memiliki sifat yang khas dan bertentangan dengan kebanyakan anak seusianya, sehingga sering dianggap ‘nakal’ atau susah diatur oleh para guru di sekolah biasa. 

Di dalam novel, Totto-chan digambarkan sebagai seorang anak yang sangat energik dan ekspresif. Ia tidak mampu duduk tenang dan sering melakukan aktivitas yang dianggap mengganggu, seperti membuka dan menutup meja secara berulang, memanggil seniman jalanan saat pelajaran berlangsung, serta mencoret-coret meja yang sulit dihapus. Sikap ini membuatnya diusir dari sekolah sebelumnya karena dinilai tidak sejalan dengan peraturan yang ketat dan sistem pendidikan yang rigid pada waktu itu. 

Akan tetapi, itu tidak berarti Totto-chan memiliki niat yang buruk. Sebenarnya, rasa ingin tahunya yang tinggi dan metode belajarnya yang unik menunjukkan bahwa ia memiliki karakter yang kreatif dan antusias terhadap pembelajaran. Ia senantiasa bertanya dan ingin memahami segala hal dengan mendalam, serta berusaha menjelaskan apa yang telah ia pelajari supaya orang lain juga paham. Sikap ini menunjukkan hasrat Totto-chan untuk belajar secara alami dan menyenangkan, bukan melalui tekanan dan aturan yang ketat. 

Setelah keluar dari sekolah sebelumnya, ibunya membawa Totto-chan ke Tomoe Gakuen, yang merupakan sekolah yang sangat berbeda dari sekolah konvensional. Di tempat itu, Totto-chan disambut dengan ramah oleh kepala sekolah, Mr. Kobayashi, yang memahami dan menghargai keistimewaan setiap anak. Tomoe Gakuen memberikan kebebasan sepenuhnya kepada siswa untuk belajar sesuai dengan ketertarikan dan karakter mereka. Totto-chan sangat mencintai sekolah ini, terutama karena ruangan-ruangannya terletak di dalam gerbong kereta api tua, yang menciptakan atmosfer belajar yang menyenangkan dan tidak monoton. 


Novel Totto-chan: Gadis Kecil di Jendela oleh Tetsuko Kuroyanagi menyajikan pandangan yang menggugah tentang sistem pendidikan yang ramah, inklusif, dan berkembang melalui pengalaman seorang anak yang istimewa dan bersemangat dalam belajar. Melalui cerita Totto-chan dan sekolah Tomoe Gakuen, pembaca diajak untuk menyadari pentingnya memberi kebebasan serta penghargaan pada keunikan setiap anak dalam proses pembelajaran. Pendekatan pendidikan yang berfokus pada anak ini sangat berkaitan dengan konsep kurikulum merdeka yang saat ini banyak diterapkan, yang mengedepankan pengembangan potensi individu secara maksimal. Oleh karena itu, novel ini tidak hanya berfungsi sebagai kisah masa kecil yang menggerakkan hati, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi dunia pendidikan untuk menciptakan suasana belajar yang lebih bersifat manusiawi, inovatif, dan adaptif demi masa depan generasi penerus.


Penulis:
Muhammad Imam Tauhid Yusvi
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Universitas Andalas

Kekuasaan dan Penghapusan Ingatan: Analisis Otoritarianisme dalam Novel The Memory Police Karya Ogawa Yoko

0


Campusnesia.co.id - Tidak dapat dipungkiri bahwa ingatan dan Sejarah merupakan hal penting dalam membentuk identitas seseorang maupun Masyarakat. Namun, dalam keadaan tertentu kekuasaan dan politik dapat memanipulasi dan juga menghapus ingatan Masyarakat untuk mempertahankan dominasinya di Masyarakat membuatnya terus berkuasa tanpa ada seseorang yang menghalanginya. Keadaan ini tergambar secara jelas dalam novel The Memory Police karya Ogawa Yoko Dimana latar dalam cerita ini menampilkan sebuah pulau Dimana benda-benda yang dihapus secara misterius oleh sebuah rezim yang sangat otoriter.

Kehidupan Masyarakat dalam novel ini sangat di pengaruhi oleh kekuasaan polisi memori Dimana mereka akan menghapus dan juga menghilangkan objek-objek tertentu dan juga ingatan mengenai objek yang dihilangkan yang berada di pulau tersebut, dan jika ada seseorang yang di pulau tersebut yang mengingat atau menyimpan benda yang sudah di hapus oleh para Polisi Kenangan tersebut maka mereka akan di buru dan di tangkap. Penghapusan ini tidak hanya berdampak pada hilangnya benda tetapi juga menyebabkan para masyarakatnya kehilangan Sejarah, makna dan juga identitas diri mereka, hal ini dikemukakan oleh Wellek & Warren  “Sastra menyajikan kehidupan”, dan kehidupan sendiri Sebagian besar terdiri dari kenyataan social, termasuk intitusi kekuasaan yang memngaruhi pola piker dan perilaku Masyarakat 

Fenomena penghapusan ingatan dan benda-benda di pulau tersebut bukan hanya cerita saja tetapi cerminan terhadap kekuasaan rezim yang otoriter yang berupaya mengendalikan Masyarakat dengan menghilangkan objek dan ingatan yang ada demi mempertahankan dominasi mereka di Tengah-tengah Masyarakat tersebut. Dan lebih jauh lagi di dalam novel ini menggambarkan tentang trauma yang di alami oleh Masyarakat akibat kehilangan memori yang terus berulang-ulang yang berdampak terhadap hilangnya identitas diri mereka sendiri. 


Kondisi Masyarakat di Pulau Misterius 

Di pulau yang menjadi tempat cerita The Memory Police, penduduk hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan juga kepasrahan. Mereka terbiasa membuang benda-benda yang sudah tidak bisa di ingat lagi dan setiap hari para penduduk merasakan rasa kehilangan namun, ada beberapa orang yang masih terus mengingat benda-benda yang “hilang” dan mereka harus menyembunyikan ingatan itu agar tidak di tangkap oleh Polisi Kenangan.

Kondisi ini menciptakan suasana social yang penuh dengan ketegangan Dimana orang-orang takut berbicara tentang benda-benda yang hilang tersebut dari waktu ke waktu banyak benda yang hilang bahkan Ketika benda-benda tersebut menghilang, para penjual barang tersebut dengan cepat beralih profesei walaupun gaji mereka yang di terima dengan gaji yang lebih rendah daripada pekerjaan sebelumnya mereka tidak akan protes, contohnya pada kutipan ini:

“Ketika topi dihilangkan, tukang topi yang tinggal di seberang jalan beralih membuat payung. Suami pengasuhku, yang dulunya adalah montir kapal, beralih profesi menjadi petugas keamanan di gudang. Seorang gadis yang beberapa tahun lebih tua dariku dulunya bekerja di salon kecantikan, tetapi ia kemudian dengan cepat beralih profesi menjadi bidan. Tidak seorang pun dari mereka mengatakan sesuatu. Bahkan ketika gaji yang mereka terima dari pekerjaan baru itu lebih rendah, mereka sepertinya tidak menyesal kehilangan pekerjaan yang lama. Tentu saja, apabila mereka mengeluh, mereka mungkin akan menarik perhatian Polisi Kenangan” (Ogawa, 2020, hlm. 14).

Pada kutipan tersebut menunjukan bahwa benda-benda di sana menghilang masyarakatnya dengan cepat beralih profesi walaupun gajinya lebih rendah dibanding pekerjaan sebelumnya dan mereka tidak akan protes karena mereka takut terhadap Polisi Kenangan dan mereka sama sekali tidak bisa memprotes hal yang terjadi karena adanya ketakutan terhadap rezim yang ada dan tidak ada kekuatan untuk melawannya bahkan ini bisa menghancurkan perekonomian yang ada karena sumber mata pencaharian Masyarakat di pulau berkurang dan juga lapangan kerja juga semakin sedikit dan angka kemiskinan bisa melonjak tinggi. 


Penghapusan Ingatan sebagai Alat Kekuasaan Otoriter 
Salah satu tema yang ada di dalam novel ini adalah bagaimana penghapusan ingatan digunakan untuk alat dominasi rezim yang otoriter. Dalam novel The Memory Police, polisi kenangan tidak hanya menghilangkan benda secara fisik tetapi juga memaksa Masyarakat yang masih mengingat benda-benda tersebut untuk melupakannya, jika seseorang masih mengingatnya mereka di anggap berbahaya dan harus di tangkap oleh Polisi Kenangan contohnya pada kutipan berikut ini:

Dan masih ada satu keputusan lagi yang harus kami ambil," kata sang profesor. "Kami harus memutuskan apa yang harus kami lakukan dengan patung-patung pemberian ibumu. Setelah kami menghilang, Polisi Kenangan akan menggeledah rumah kami. Mereka mungkin akan menghancurkan sebagian besar dari apa yang kami tinggalkan di sana. Itulah sebabnya kami ingin melindungi beberapa benda terakhir yang sangat kami hargai walaupun hal itu bisa ter-bukti berbahaya. Rahasia kami bisa terbongkar. Kami harus membatasi jumlah orang yang tahu tentang rumah aman." (Ogawa, 2020, hlm. 42).

Dalam kutipan tersebut terlihat contoh jelas tentang bagaimana Polisi Kenangan, atau rezim otoriter, menggunakan kekuatan untuk menghapus kenangan dan keberadaan warga, termasuk barang-barang yang dianggap berbahaya atau subversif. Mengawasi dan menghancurkan barang pribadi adalah cara kontrol otoriter yang bertujuan untuk menghilangkan kenangan dan identitas kolektif masyarakat. 

Teori otorianisme menyatakan bahwa rezim otoriter membatasi kebebasan individu dengan membatasi akses ke informasi, melakukan pengawasan ketat terhadap tindakan masyarakat, dan menghancurkan segala sesuatu yang dapat mengancam kekuasaan mereka. Dalam konteks novel ini, menjaga benda-benda penting ini adalah cara kecil untuk menentang dominasi kekuasaan yang ingin menghapus semua ingatan dan identitas. Pembatasan jumlah orang yang mengetahui tentang "rumah aman" menunjukkan kekuatan otoriter sekaligus mencerminkan ketakutan dan kehati-hatian warga terhadap rezim yang represif.


Dampak Psikologis dari Penghapusan Ingatan
Penghapusan ingatan yang dilakukan oleh Polisi Kenangan menyebabkan trauma yang dialami oleh Masyarakat di pulau tersebut, tokoh “aku” yang berperan sebagai narrator di dalam cerita menggambarkan bagaimana Masyarakat yang menjadi semakin kehilangan semangat hidup setiap kali ingatan akan benda yang hilang tersebut di hapus, hal ini ada dalam kutipan novel nya berikut:

Aku menjawab dengan jujur. "Entahlah. Karena aku bahkan tidak tahu apa yang seharusnya kuingat. Yang hilang benar-benar sudah hilang sepenuhnya. Dalam diriku tidak ada benih yang menunggu untuk tumbuh lagi. Aku harus menerima hati hampa yang penuh lubang. Itulah sebabnya aku iri pada hatimu, hati yang memberikan perlawanan, yang transparan sekaligus tidak transparan, yang seper-tinya berubah mengikuti sudut cahaya yang menyinarinya." (Ogawa, 2020, hlm. 90-91).

Kutipan ini sangat mendalam menggambarkan dampak psikologis yang dialami tokoh “aku” saat ingatannya dihapus oleh Polisi Kenangan. Kalimat "Entahlah. Karena aku bahkan tidak tahu apa yang seharusnya kuingat " mencerminkan kebingungan dan ketidakpastian yang sangat mendalam tentang identitas. 

Ingatan adalah dasar penting dalam pembentukan identitas seseorang; tanpa ingatan, individu kehilangan pijakan tentang siapa dirinya, apa yang pernah dialaminya, dan nilai-nilai yang membentuk dirinya. Situasi ini menyebabkan perasaan hampa dan kekosongan jiwa yang mendalam. Ungkapan "Aku harus menerima hati hampa yang penuh lubang" mencerminkan keadaan psikologis yang hampa dan terpecah, di mana penghapusan ingatan membuat seseorang merasakan kehilangan elemen penting dari dirinya, sehingga timbul emosi kosong yang sangat berat, yang dapat berujung pada perasaan tidak berarti atau bahkan depresi. 


Novel The Memory Police oleh Ogawa Yōko menggambarkan kekuasaan otoriter yang beroperasi dengan cara yang halus dan sistematis lewat penghilangan ingatan serta objek fisik yang menjadi simbol identitas dan kenangan kolektif masyarakat. Kekuasaan ini tidak hanya mengontrol tindakan fisik masyarakat, tetapi juga menguasai kisah sejarah dan ingatan, sehingga Masyarakat di pulau kehilangan kemampuan untuk mengenang, melawan, dan mempertahankan identitas mereka. Dalam dunia yang dijelaskan Ogawa, penghilangan ingatan berfungsi sebagai alat penindasan paling efisien karena ia mengurangi kemampuan berpikir kritis dan perlawanan secara bertahap tanpa menggunakan kekerasan fisik yang jelas. Ini menghasilkan suasana ketakutan, kesendirian, dan kekosongan psikologis yang mendalam, di mana individu merasakan keterasingan dari dirinya sendiri dan orang lain. Novel ini juga menekankan bagaimana kekuasaan totaliter menguasai informasi dan memanfaatkan pengawasan untuk mengendalikan perlawanan, sementara individu yang berusaha mempertahankan ingatan dan identitasnya harus bersembunyi dan berjuang dalam kesunyian. Ogawa memberikan kritik tajam terhadap otoritarianisme yang tidak hanya merusak tubuh, tetapi juga menghancurkan ingatan dan kemanusiaan. 

The Memory Police mengajak pembaca untuk merenungkan risiko kekuasaan yang mengendalikan ingatan dan bagaimana kehilangan memori bisa berarti kehilangan kebebasan serta esensi kemanusiaan. Kesimpulan ini menegaskan bahwa novel itu adalah alegori politik yang kuat mengenai bagaimana rezim otoriter memanfaatkan penghapusan ingatan sebagai sarana dominasi dan kontrol sosial, serta mencerminkan dampak psikologis dan eksistensial yang dialami oleh masyarakat yang berada di bawah tekanan tersebut. 



Penulis:
Muhammad Imam Tauhid Yusvi
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Universitas Andalas

Pendidikan Humanis dan Inovatif dalam Novel Totto-Chan Si Gadis Kecil di Tepi Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi

0



Campusnesia.co.id - Novel Totto-chan Si Gadis Kecil di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi merupakan otobiografi yang manggambarkan pengalaman penulis semasa kecil di sekolah Tomoe Gakuen, sebuah sekolah dasar yang unik yang didirikan oleh Sosaku Kobayashi di Tokyo pada era sebelum Perang Pasifik berkecamuk di Jepang. 

Novel ini tidak hanya menceritakan kisah hidup seorang anak perempuan bernama Totto-chan, yang penuh dengan rasa ingin tahu, imajinasi dan antusiasme untuk belajar, tetapi juga menjelaskan model pendidikan yang sama sekali berbeda dari sekolah konvensional saat itu. Tomoe Gakuen, yang dibentuk dari mobil kereta bekas, adalah tempat di mana anak -anak diperlakukan secara manusiawi, mengingat kebebasan berekspresi yang mengembangkan potensi mereka sesuai dengan keunikan mereka sendiri.

Latar belakang sosial novel ini sangat kental dengan suasana Jepang tahun 1930 hingga 1940-an, dan pendidikan di Jepang masih kaku, menekankan akademik dan kepatuhan, dan tidak memperhatikan kebutuhan psikologis dan kreativitas anak-anak. Dianggap nakal dan sulit di sekolah-sekolah awal, Totto-chan menemukan rasa bahagia dan pengakuan yang diterima di Tomoe Gakuen. Bagi orang yang percaya diri, mandiri dan simpatik, hingga perjalanan Totto-chan dikeluarkan dari sekolah formal, menunjukkan pentingnya pendekatan pendidikan yang menghormati sifat kemanusiaan anak.

Dalam konteks sosiologi sastra, novel Totto-chan dapat dianalisis sebagai bagian dari refleksi dan kritiknya terhadap sistem pendidikan yang cocok dengan masyarakat Jepang pada saat itu. Menurut Wellek dan Warren, teori sosiologi sastra ada sebagai cerminan masyarakat dan masyarakat. Teori ini menekankan bahwa karya sastra berfungsi tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana untuk mengekspresikan, mengkritik, dan bahkan mempengaruhi nilai-nilai, norma, dan struktur sosial masyarakat. Jadi novel Totto-chan tidak hanya menunjukkan realitas pendidikan Jepang pra-Perang Dunia II, tetapi juga menawarkan alternatif pendidikan kemanusiaan dan inovatif.
 
Pendekatan Wellek Warren terhadap sosiologi sastra menekankan pentingnya menganalisis bagaimana nilai-nilai sosial, budaya dan pendidikan terwujud dalam karya sastra dan bagaimana bekerja dengan pembaca dan komunitas yang lebih luas berinteraksi. Novel Totto-chan sangat relevan karena mereka tidak hanya mencerminkan negara-negara pendidikan masa lalu, tetapi juga mendorong pembaca dari berbagai generasi dan negara untuk memikirkan kembali praktik praktik pendidikan yang lebih manusiawi dan terintegrasi. Melalui kisah Totto-chan, pembaca diajakuntuk melihat betapa pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang menyampaikan keamanan, kebebasan berekspresi, dan terima kasih atas keunikan nilai-nilai masing-masing anak yang sangat relevan dalam konteks pendidikan modern.


Pendekatan Sosiologi Sastra Wellek-Warren

Menurut Wellek dan Warren, sosiologi sastra adalah pendekatan yang menempatkan karya sastra sebagai bagian dari realitas sosial. Karya sastra tidak hanya mencerminkan masyarakat, tetapi juga membentuk dan mempengaruhi pemahaman pembaca tentang nilai-nilai sosial. Pendekatan ini menyoroti bagaimana nilai-nilai sosial, budaya dan pendidikan terwujud dalam karya sastra, dan bagaimana interaksi karya tersbeut dengan pembaca dan masyarakat. Dalam konteks Totto-chan, pendekatan sosiologi sastra memungkinkan untuk memahami bagaimana novel ini mempresentasikan pendidikan yang humanis dan inovatif sebagai respon terhadap sistem pendidikan yang ketat dan tidak banyak mengamati kebutuhan anak.


Pendidikan Humanis dalam Totto-chan

Pendidikan humanis adalah pendidikan yang menempatkan manusia sebagai pusat proses pembelajaran. Dalam novel Totto-chan, nilai pendidikan kemanusiaan direalisasikan melalui empat aspek utama, yaitu bebas, dimanusiakan, demokratis, dan dialogis. Pak Kobayashi menerapkan metode pembelajaran yang membebaskan anak sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka. Anak-anak memiliki kebebasan untuk memilih pelajaran yang ingin mereka pelajari terlebih dahulu, sehingga mereka merasa dihargai dan dapat dipercaya.

Selain itu, pendidikan Tomoe Gakuen menekankan aspek-aspek kemanusiaan, yaitu memperlakukan setiap anak sebagai individu yang unik dan berharga. Anak-anak difabel, seperti Yasuaki Chan, disambut dengan tangan terbuka dan diperlakukan sama dengan anak-anak lain. Ini menunjukkan penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kesetaraan dalam pendidikan. Pendidikan demokratis juga dapat dilihat dalam cara anak-anak diajak untuk terlibat dalam berdebat, berdiskusi dan membuat keputusan di sekolah. Dialog antara guru dan siswa juga sangat diprioritaskan, sehingga anak-anak merasa didengar dan dihargai pendapatnya.


Inovasi dalam Pendidikan di Tomoe Gakuen

Tomoe Gakuen juga dikenal karena inovasi pendidikannya. Metode pembelajaran yang digunakan sangat beragam, seperti pembelajaran di luar ruangan, tanya jawab, demonstrasi, simulasi, dan ceramah. Metode ini bertujuan untuk mengembangkan berbagai potensi anak, secara intelektual, emosional dan sosial. Belajar di luar kelas memungkinkan anak-anak untuk belajar langsung dari alam, tidak hanya memberikan pengetahuan kognitif tetapi juga pengalaman konkret yang memperkaya pemahaman mereka tentang dunia.

Selain itu, Tomoe Gakuen juga menggunakan pembelajaran yang menyenangkan dan kreatif seperti euritmik (musik), latihan berbicara di depan umum, dan kegiatan bercerita. Para guru di sekolah ini tidak pernah memarahi murid, melainkan selalu memuji, memberi nasihat dan kepercayaan pada mereka. Ini bertujuan untuk membangun kepercayaan diri dan kepribadian positif pada anak -anak.


Nilai Sosial dalam Pendidikan Humanis dan Inovatif

Pendidikan humanis dan inovatif di Tomoe Gakuen juga menanamkan nilai-nilai sosial yang penting, seperti saling membantu, kepedulian, kemandirian, menghormati lingkungan, dan empati. Anak-anak diajarkan untuk saling menghormati, bekerja sama dan peduli pada sesama. Nilai-nilai ini sangat relevan dalam membentuk kepribadian anak yang siap hidup dalam masyarakat yang semakin kompleks dan beragam.

Dari perspektif sosiologi sastra, nilai-nilai sosial yang ditanamkan oleh pendidikan di Tomoe Gakuen mencerminkan keinginan penulis untuk memberikan pendidikan alternatif yang lebih manusiawi dan terintegrasi. Novel ini bukan hanya kritik terhadap sistem pendidikan yang ketat, tetapi juga menjadi inspirasi bagi pembaca untuk menerapkan nilai-nilai humanis dan inovatif dalam pendidikan sehari-hari.


Interaksi Karya Sastra dengan Masyarakat

Menurut teori Wellek-Warren, karya sastra tidak hanya mencerminkan masyarakat, tetapi juga membentuk pemahaman pembaca tentang realitas sosial. Novel Totto-chan telah memengaruhi banyak pembaca di Jepang dan negara lain, memungkinkan untuk melihat pendidikan dari perspektif yang lebih humanis dan inovatif. Novel ini juga digunakan sebagai bahan pengajaran di sekolah-sekolah Jepang, terutama untuk pelajaran bahasa dan etika. Ini menunjukkan bahwa karya sastra dapat menjadi alat yang efektif untuk perubahan sosial.


Novel Totto-chan Si Gadis Kecil di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi merupakan contoh konkret tentang bagaimana pendidikan yang humanis dan inovatif dapat terwujud. Melalui pendekatan Welek Warren mengenai sosiologi sastra, kita dapat memahami bahwa novel ini tidak hanya mencerminkan realitas pendidikan Jepang, tetapi juga memberikan alternatif dan inspirasi bagi dunia pendidikan di seluruh dunia. Nilai-nilai pendidikan humanis, seperti inovasi dalam metode pembelajaran, kebebasan, demokratis, dialog, dan memanusiakan, membentuk karakter anak-anak Tomoe Gakuen menjadi individu yang percaya diri, kreatif dan peduli pada sesame.

Pendekatan Sosiologi sastra membantu untuk melihat bahwa karya sastra seperti Totto-chan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media perubahan sosial yang dapat mengubah paradigma pendidikan dengan cara yang lebih manusiawi dan terintegrasi. Oleh karena itu, pendidikan humanis dan inovatif bukan hanya mimpi, tetapi juga sesuatu yang dapat dicapai melalui komitmen dan kolaborasi antara pendidik, siswa dan semua elemen masyarakat.


Penulis:
Azizah Hanifah
Mahasiswa Sastra Jepang 
Universitas Andalas


Daftar Pustaka:
Krissandi, A. D., & Setiawan, K. A. (2019). Menyelami Metode Pendidikan Humanistik Sosaku Kobayashi dalam Novel Totto Chan: The Little Girl At The Window Karya Tetsuko Kuroyanagi. Jurnal Undip IZUMI, 30.

Sukma, D. (2024). Membongkar Kreativitas Pendidikan: Analisis Konsep Pedagogi dalam Totto Chan. Jurnal Kajian Konseling, 3.

Suliastini, L. (2015). Nilai-nilai pendidikan humanis Dalam novel totto-chan gadis cilik di jendela karya Tetsuko Kuroyanagi. Etheses UIN K. H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, 21.

Membangun Empati Lewat Aksi: Mahasiswa Inhum UNDIP Salurkan Bantuan Sembako Lewat Program 'Inhum Berbagi' Bagi Masyarakat Rentan Ekonomi

0


Campusnesia.co.id - Semarang, 5 Juni 2025. Dalam rangka implementasi mata kuliah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Relasi Komunitas, tujuh mahasiswa Program Studi D4 Informasi dan Hubungan Masyarakat, Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro (UNDIP), menggelar aksi sosial bertajuk “Inhum Berbagi”. Kegiatan ini dilaksanakan di wilayah sekitar Pleburan, dengan membagikan langsung paket sembako kepada masyarakat rentan ekonomi.

Aksi sosial ini merupakan hasil kerja sama antara mahasiswa dan PT Amazon Karya Elok Mandiri. Sebanyak 25 paket sembako yang berisi bahan pokok seperti beras, minyak goreng, mie instan, teh, dan gula pasir disalurkan langsung kepada warga yang membutuhkan. Kegiatan dimulai sejak pagi hari dan menyasar para pekerja informal seperti tukang becak, pemulung, lansia, serta pedagang kecil yang belum tersentuh bantuan rutin dari lembaga formal.

Tujuh mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Sya’ira Ad-Diini Firsta Humaira, Dian Triya Pratiwi, Meisya Zahra Widyandita, Naila Faza Allysea, Raisya Billa Khabitsyah, Seisha Charvia Sondang Manurung, dan Muhammad Luthfi Ali. Mereka berperan aktif mulai dari proses perencanaan, pendataan calon penerima manfaat, pengemasan sembako, hingga distribusi langsung di lapangan.

Perwakilan mahasiswa, Muhammad Lutfi Ali, menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan menumbuhkan empati sosial sekaligus mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan secara langsung.

“Kami ingin belajar tidak hanya di ruang kelas, tapi juga dari interaksi langsung dengan masyarakat. Inhum Berbagi menjadi pengalaman yang sangat bermakna untuk memahami isu sosial secara nyata,” ujarnya dalam rilis yang dikirim ke Campusnesia.

Selama proses pelaksanaan, para mahasiswa dibekali dengan pemahaman etika pemberian bantuan dan pendekatan komunikasi humanis. Pendekatan ini penting agar bantuan yang disalurkan tidak hanya bersifat transaksional, namun juga menyampaikan pesan solidaritas dan kepedulian antar manusia.

Perwakilan dari PT Amazon Karya Elok Mandiri, Pak Mustari, menyampaikan apresiasi atas semangat mahasiswa dalam mewujudkan kegiatan sosial ini.

“Kami sangat mendukung kolaborasi seperti ini. Mahasiswa UNDIP menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya tentang teori, tetapi juga aksi nyata di lapangan,” tuturnya.

Kegiatan ini mendapat sambutan positif dari masyarakat sekitar. Banyak warga yang mengaku senang, terbantu, dan merasa diperhatikan di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu. Distribusi dilakukan dengan menyusuri area publik, sambil menyapa dan berdialog langsung dengan warga penerima bantuan.

Dengan adanya program Inhum Berbagi, diharapkan kolaborasi antara dunia pendidikan dan sektor industri seperti PT Amazon dapat terus berlanjut dan diperluas skalanya. Kegiatan ini menjadi contoh nyata peran mahasiswa sebagai agen perubahan, sekaligus menjadi ruang pembelajaran yang mendalam bagi generasi muda untuk berkontribusi dalam pembangunan sosial yang inklusif dan berkelanjutan.



Editor:
Achmad Munandar

Mahasiswa KKN Undip Bekali Karang Taruna dan UMKM Bonang dengan Branding Digital "Bahari Demak"

0
 


Campusnesia.co.id - Demak (8 Juni 2025) - Puluhan anggota Karang Taruna dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dari tiga desa di Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, mengikuti pelatihan intensif bertema branding dan pemasaran digital. Kegiatan ini diinisiasi oleh Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Tim 18 Universitas Diponegoro (UNDIP) yang dibimbing oleh Prof. Bulan Prabawani (SDGs Center) dan Dr. Ardy Wibowo (Departemen Administrasi Bisnis).

Pelatihan yang dipusatkan di Balai Desa Morodemak pada Sabtu (8/6) ini sekaligus menjadi momentum peluncuran jenama lokal “Bahari Demak”, sebuah inisiatif untuk memperkuat identitas produk UMKM pesisir dan menjangkau pasar digital yang lebih luas.

Program ini bertujuan mendorong kemandirian pemuda desa dan pelaku UMKM melalui penguasaan teknologi digital. Materi pelatihan mencakup pengembangan strategi branding, desain kemasan, penggunaan media sosial, hingga pemanfaatan aplikasi berbasis web (WebApp) untuk pemasaran.

Pelatihan dibagi dalam tiga sesi utama. Sesi pertama membahas konsep “Bahari Demak” sebagai platform kolaboratif Karang Taruna TriDesa (Purworejo, Morodemak, dan Margolinduk), termasuk struktur organisasi dan keberlanjutan operasional pasca-KKN. Sesi kedua bersifat teknis, meliputi pelatihan pengelolaan WebApp dan pembuatan konten promosi dengan aplikasi seperti Canva dan Instagram. Adapun sesi ketiga menyoroti strategi pemasaran di marketplace, aspek hukum digital seperti hak cipta logo, serta praktik desain kemasan produk.

Antusiasme peserta terlihat tinggi sepanjang kegiatan. Perangkat desa dan tokoh Karang Taruna pun memberikan dukungan penuh. Salah satu peserta menyatakan, “Program ini sangat membuka wawasan kami. Dengan sinergi antara Karang Taruna dan UMKM, kami optimis bisa melanjutkan inisiatif ini secara mandiri.”

Inisiatif “Bahari Demak” diharapkan menjadi batu loncatan menuju ekonomi lokal yang lebih adaptif dan berkelanjutan. Tak hanya sekadar program kerja KKN, tetapi sebuah model pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis kolaborasi dan inovasi digital. WebApp ”Bahari Demak” : https://baharidemak.com.


Editor:
Achmad Munandar

Review Series Netflix Mercy For None, John Wick Versi Drama Korea

0
 


Campusnesia.co.id - Saya mengenal sosok So Ji-Sub pertama kali di drama korea Master's Sun, bersama dengan Kong Hyo-Jin. Tahun 2025 ini ia kembali bermain dalam sebuah drama garapan Netflix berjudul Mercy For None yang mengangkat tema genster dan penuh aksi.

Jika sobat suka John Wick, Mercy For None ini menurut saya sejenis film tersebut dengan pertarungan hand to hand yang lebih intens dan sangat minim penggunaan senjata api.

Jumlah episodenya cuma 7 sehingga buat sobat yang mau marathon dalam sehari pasti bisa langsung tamat.


Sinopsis Drama Korea Mercy For None

Di masa lalunya, Nam Gi-Jun (So Ji-Sub) adalah anggota Geng Bongsan yang dipimpin oleh Gu Bong-San (Ahn Kil-Kang). Nam Gi-Jun mengalahkan geng lain melalui pertempuran sengit dan geng tersebut berkembang menjadi perusahaan besar, tetapi Nam Gi-Jun memutuskan untuk meninggalkan geng tersebut. 

Adiknya, Nam Gi-Seok (Lee Jun-Hyuk) bergabung dengan Geng Joowoon yang dipimpin oleh Lee Ju-Woon (Heo Jun-Ho). Kedua geng tersebut merupakan saingan. Demi saudaranya, Nam Gi-Jun keluar dari Geng Bongsan dengan memotong tendon Achilles kirinya.

11 tahun kemudian, Nam Gi-Jun hidup dengan damai dan mencari nafkah dengan memasok minuman ke bisnis yang dijalankan oleh Bongsan. Saudaranya, Nam Gi-Seok sekarang menjadi orang dengan peringkat tertinggi kedua di Joowoon, tetapi ia tiba-tiba meninggal. 

Untuk mengungkap rahasia di balik kematian Nam Gi-Seok dan membalas dendam kepada mereka yang bertanggung jawab, Nam Gi-Jun kembali ke dunia geng yang ditinggalkannya 11 tahun lalu.


Pemeran Drama Korea Mercy For None

So Ji-sub sebagai Nam Gi-jun
Mantan anggota organisasi tersebut, ia mengalami cedera tendon Achilles dan pergi, tetapi kembali setelah 11 tahun karena kematian adiknya Gi-seok.

Huh Joon-ho sebagai Lee Joo-woon
Pimpinan Joowoon.

Ahn Gil-kang sebagai Gu Bong-san
Pimpinan Bongsan, geng saingan Joowoon.

Lee Beom-soo sebagai Sim Sung-won
CEO N.Clean, perusahaan pembersihan trauma.

Gong Myung sebagai Gu Jun-mo
Putra Bong-san yang diharapkan akan mengambil alih kendali Bongsan dari ayahnya.

Choo Young-woo sebagai Lee Geum-son
Putra Joo-woon yang merupakan jaksa.

Jo Han-chul sebagai Choi Sung-cheol
Seorang direktur Joowoon, dan asisten Joo-woon yang cakap.

Cha Seung-won sebagai Cha Yeong-do
Seseorang yang memperjuangkan keberadaan geng Joowoon dan Bongsan. Ia adalah pengawas Badan Kepolisian Metropolitan Seoul.

Lee Joon-hyuk sebagai Nam Gi-seok
Adik laki-laki Gi-jun, dan orang kedua yang bertanggung jawab atas Joowoon. Ia dibunuh secara brutal, yang menyebabkan Gi-jun melakukan balas dendam.


Poster Drama Korea Mercy For None


Review Drama Korea Mercy For None

Walau mengangkat tema gangster, namun pertarungan dalam drakor Mercy For None masih menerapkan kaidah koreagrafi yang indah. Drakor ini diangkat dari komik web  berjudul "Gwangjang" yang ditulis oleh Oh Se-Hyeong dan ilustrasikan oleh Kim Kyun-Tae diterbitkan pada tangga; 11 September 2020 - 19 November 2021 di situs Naver.

Sepanjang 7 episode penonton disajikan adegan pertarungan yang epik sekaligus brutal. Jalan ceritanya penuh misteri mengajak penonton ikut menebak-nebak siapakah pembunuh adik Gi-jun.

Selanjutnya kita bakal diajak menyusuri setiap informasi yang didapat Gi-Jun menunju satu persatu para pelaku pembunuhan itu. Jalan cerita dan drama yang dihadirkan sangat baik, membuat kita ikut bersimpati dengan Gi-Jun, menyayangkan kenapa karakter Gi-Seok yang diperankan Lee Joon Hyuk sangat sedikit screen timenya dan perlahan diajak menggali lebih dalam lewat kilas balik sesekali.

Ada titik dimana penonton yang berada di sisi Gi-Jun agak ragu dengan jalan yang dipilih karakter utama ini, sempat terbersit dalam hati, oh pantesan ini semacam karma sih. Namun percayalah hal ini hanya upaya sutradara Choi Sung-Eun dalam menggoyahkan moral kita. Selanjutnya plot twist demi plot twist bakal dihadirkan dan membuat kita jadi mengalami moment "Oh Pantes...".

Hal yang selalu saya suka dari drama korea adalah penyajian layer cerita yang berlapis, kalau Hollywood punya istilah Plot Twist, percayalah lewat drakor Mercy For None atau secara umum drama dna film korea sobat akan terbiasa dengan jalan cerita yang berlapis menyajikan fakta unik. Treatment seperti ini yang membuat drakor jadi unggul tentu saja aspek teknis produksi dan akting para aktor dan aktrisnya juga sangat berpengaruh.

Oh ya lupa menyebut kenapa di awal tadi saya mention John Wick karena dalam banyak hal series Mercy For None terdapat unsur yang sama, misalnya organisasi pembunuh bayaran dan pembersihan sisa-sisa kerusuhan antar geng.

Sangat rekomended untuk sobat yang suka drakor tema aksi dan nir cerita cinta, jika sobat suka drakor seperti My Name yang dibintangi Han So He maka Mercy For None berkali-kali lipat lebih bagus, selamat menonton.



Penulis
Nandar


=====
Rekomendasi drama dan film korea tema Gangster: