Analisis Psikologi Sastra dalam Novel “Totto-Chan: Gadis Cilik Di Jendela” Karya Tetsuko Kuroyonagi

 


Campusnesia.co.idPendidikan merupakan pondasi utama dari pembentukan karakter dan kecerdasan seorang anak. Namun tidak semua sistem Pendidikan cocok dengan karakterisitik sifat ‘unik’ semua anak yang memilki perbedaan cara belajar dan juga kepribadian yang berbeda dari kebanyakan murid lainnya. Novel Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyonagi merupakan novel yang membahas tentang seorang anak yang Bernama Totto-Chan yang di keluarkan dari sekolah karena memiliki karakter yang berbeda dari kebanyakan murid lainnya.

Novel ini merupakan autobiografi dari penulisnya sendiri yaitu Tetsuko Kuroyonagi dan di dalam novel ia berperan sebagai Totto-Chan seorang anak yang dianggap ‘nakal’ dan sangat susah diatur oleh guru nya sendiri sehingga ia dikeluarkan dari sekolah, ia lahir di perfektur Tokyo, Jepang pada tanggal 9 Agustus 1933. Novel ini bercerita tentang Totto-Chan yang awalnya dia bersekolah di sekolah biasa tetapi karena berbagai kenakalan dan juga perilakunya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di sekolah lamanya membuatnya harus di keluarkan dari sekolahnya dan mencari sekolah baru dan saat itu ibunya menemukan sekolah baru yaitu Tomoe Gakkuen.

Tomoe Gakkuen merupakan sekolah yang berbeda dari kebanyakan sekolah tradisional pada zamannya, sekolah ini mengedepankan pendekatan yang berbeda kepada setiap muridnya yang memiliki karakter dan sifat yang berbeda-beda, dalam Pendidikan modern pendekatan ini sama seperti kurikulum Merdeka yang digunakan di Indonesia saat ini, dan setiap anak memiliki cara belajar yang berbeda, desain sekolah ini juga berbeda dari sekolah lainnya yaitu sekolah ini memiliki Gedung yang berupa gerbong-gerbong kereta api yang sudah tidak terpakai dan di ubah menjadi ruangan kelas, ruangan kelas seperti ini membuat suasana belajar tidak membosankan bagi anak-anaknya 

Kepala sekolahnya Sousuke Kobayashi percaya bahwa setiap anak harus diberi kebebasan untuk belajar sesuai dengan keinginan mereka sendiri, tidak seperti pembelajaran biasanya yang hanya duduk diam di dalam kelas, mendengarkan guru dan membuat tugas saja, anak-anak di Tomoe Gakkuen diberikan kesempatan untuk memilih mata Pelajaran apa yang ingin mereka belajar terlebih dahulu dan bahkan mereka bisa dengan sesuka hati memilih tempat duduk mereka. Metode Pelajaran tersebut sangat berbeda dengan metode pelajaraan di Jepang pada saat itu yaitu di era sebelum dan saat perang dunia ke 2 dimana sistem Pendidikan di saat itu sangat kaku dan juga formal. 

Di Tomoe Gakkuen menerapkan pembelajaran yang menggabungkan pembelajaran di dalam kelas dan juga di luar kelas, anak-anak di ajak bermain sambil belajar di alam bebas dan juga berenang hal itu membuat para murid tidak akan merasa jenuh untuk belajar


Gambaran Pengarang Novel, Teori Sastra, dan Tokoh Cerita 

Tetsuko Kuroyonagi Pengarang Novel Totto-Chan

Tetsuko Kuroyanagi dilahirkan pada 9 Agustus 1933 di Tokyo, Jepang. Ia adalah seorang aktris, pengisi suara, presenter televisi, penulis, dan aktivis kemanusiaan yang terkenal di Jepang dan secara global. Tetsuko dilahirkan dalam keluarga seniman, di mana ayahnya merupakan seorang pemain biola di orkestra dan ibunya adalah seorang penulis esai, sehingga sejak kecil ia dibesarkan dalam suasana yang kosmopolitan dan mendukung kebebasan berekspresi. Walaupun orangtuanya semula menginginkan anak laki-laki dan telah menyiapkan nama untuknya, kelahiran Tetsuko yang merupakan seorang perempuan justru menjadi permulaan dari kisah hidupnya yang khas dan berwarna. 

Sejak masa kanak-kanak, Tetsuko telah dikenal sebagai seorang anak yang sangat energik dan memiliki sifat yang berbeda dari anak-anak seusianya yang lain. Ia sulit untuk tetap tenang, sering berbincang dengan burung di luar jendela, dan sering mengganggu kelas di sekolah biasa. Pada saat itu, situasi seperti ini belum dikenal sebagai tanda-tanda ADHD atau kebutuhan khusus, sehingga ia pun akhirnya diusir dari sekolah dasar umum. Akan tetapi, orangtuanya tidak putus asa dan mencari opsi pendidikan yang lebih cocok, sampai akhirnya Tetsuko bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah institusi dengan metode pendidikan progresif yang sangat berbeda dari sekolah konvensional Jepang pada waktu itu. 

Pengalaman masa kecil Tetsuko di Tomoe Gakuen menjadi sumber inspirasi utama dalam penulisan novel autobiografi berjudul Totto-chan: Gadis Kecil di Jendela yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1981. Novel ini menggambarkan perjalanan hidupnya sebagai seorang anak yang istimewa dan bagaimana pendidikan di Tomoe Gakuen mendukungnya untuk tumbuh secara maksimal. Buku ini telah menjadi sangat dikenal, terjual lebih dari 25 juta eksemplar di seluruh dunia dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa, menjadikannya salah satu memoar terlaris sepanjang sejarah Keberhasilan buku ini juga mengangkat reputasi Tetsuko sebagai penulis yang mampu memberikan inspirasi bagi dunia pendidikan modern melalui pendekatan yang humanis.

Selain berprofesi sebagai penulis, Tetsuko Kuroyanagi juga terkenal sebagai pembawa acara legendaris talk show di Jepang, Tetsuko no Heya (Ruang Tetsuko), yang dimulai pada tahun 1975 dan sampai saat ini telah mengudara lebih dari 11.000 episode, mencetak rekor dunia Guinness untuk talk show dengan pembawa acara yang sama terlama. Program ini terkenal dengan gaya wawancara yang akrab, santai, dan penuh perhatian, menjadikan Tetsuko sebagai salah satu sosok televisi terpopuler dan paling dihormati di Jepang. 

Selain berkarier di industri hiburan, Tetsuko juga terlibat dalam berbagai aktivitas kemanusiaan. Pada tahun 1984, ia ditunjuk sebagai Duta Persahabatan UNICEF, sehingga menjadi orang Asia pertama yang mengisi jabatan itu. Selama bertahun-tahun, ia melakukan perjalanan lapangan ke berbagai negara berkembang di Asia dan Afrika, mendukung anak-anak yang menjadi korban perang dan bencana, serta mengumpulkan dana lebih dari 20 juta dolar AS untuk program-program UNICEF. Ia pun mendirikan Yayasan Totto yang berfokus pada pelatihan aktor tuna rungu, mengintegrasikan kepeduliannya terhadap seni dan pendidikan yang inklusif. 

Tetsuko Kuroyanagi telah dianugerahi berbagai penghargaan untuk kontribusinya di sektor seni, televisi, dan kemanusiaan, termasuk Order of the Sacred Treasure dari pemerintah Jepang serta Global Leadership for Children Award dari UNICEF. Ia juga dikenal sebagai konsultan World Wide Fund for Nature (WWF) dan giat mendorong kesadaran lingkungan. 
Secara keseluruhan, Tetsuko Kuroyanagi adalah pribadi yang beraneka ragam, tidak hanya berhasil dalam industri hiburan, tetapi juga menjadi pionir dalam pendidikan inklusif serta aktivis kemanusiaan. Novel Totto-chan tidak hanya menceritakan masa kecilnya, tetapi juga merupakan warisan berharga yang menginspirasi dunia pendidikan agar lebih menghargai keberagaman dan kebebasan belajar anak-anak di seluruh dunia. 


Teori Sastra pada Novel Totto-Chan

Teori Psikologi sastra, teori Psikoanalisis Sigmund Freud yang di perkenalkan oleh Sigmund Freud. Dalam teori psikoanalisis tersebut Sigmund Freud menyebutkan bahwa dalam karya sastra ada 3 konsep yang harus ada yaitu Id, Ego, dan Super Ego dalam novel Totto-Chan terdapat 3 aspek tersebut. 

1. Id pada Totto-Chan

Id merepresentasikan dorongan naluriah dan keinginan dasar Totto-chan sebagai anak kecil, seperti keinginan bermain bebas, bereksplorasi, dan mengekspresikan dirinya tanpa Batasan. Misalkan, Totto-chan yang sering di anggap nakal di sekolah lama karena mengikuti dorongan spontan dan rasa ingin tahu nya yang tinggi, mencerminkan dominasi Id yang menginginkan kepuasan segera tanpa memperhatikan aturan social. Berikut kutipan yang menggambarkan Id di dalam diri Totto-chan.

“Saya sudah menjelaskan bahwa murid-murid tak boleh membuka atau menutup mejanya dan mengeluarkan atau mengambil sesuatu.”

Dalam kutipan tersebut menggambarakan Id di dalam Totto-chan yang memiliki rasa ingin tau yang kuat, karena rasa ingin tau yang kuat tersebutlah ia melakukan hal-hal yang seharusnya tidak di lakukannya 


2. Ego pada Totto-Chan

Ego berfungsi sebagai jembatan antara Id dan lingkungan sekitar, dalam novel Ego terlihat Ketika Totto-chan mulai menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekolah yang baru atau saat di sekolah lamanya Dimana guru nya mengadukan semua sikap yang di lakukan oleh Totto-chan kepada ibunya, seperti di kutipan berikut. 

“Misalnya, waktu Pelajaran menulis abjad putri anda membuka meja, mengeluarkan buku catatan, lalu menutup meja dengan cara membantingnya.”

Dalam kutipan tersebut dapat terlihat bahwa ego di dalam diri Totto-chan mulai bertindak sebagai pemuas dari keinginan Id yang ada di dalam diri Totto-chan 


3. Superego pada Totto-chan 

Superego dalam diri Totto-chan muncul sebagai norma social yang ada di dalam Masyarakat, melalui interaksi dengan guru, orang tua dan teman-temannya di dalam novel tersebut contohnya pada kutipan berikut:

“Karna Totto-chan membuat guru kesal di kelas, ia pun di keluarkan atas perilakunya tersebut.”

Pada kutipan di atas superego yang berperan sebagai norma yang ada di Masyarakat muncul membatasi perilaku Totto-chan yang di anggap tak sesuai norma social yang ada di dalam Masyarakat, kutipan tersebut menjelaskan karena perilaku Totto-chan yang di anggap ‘nakal’ membuat guru mengeluarkannya sebagai akibat sanksi atas perilakunya tersebut.


Tokoh Totto-Chan pada Novel

Totto-chan merupakan karakter sentral dalam novel Totto-chan: Gadis Kecil di Jendela, yang merupakan nama akrab dari Tetsuko Kuroyanagi, pengarang novel ini. Totto-chan digambarkan sebagai seorang gadis kecil berusia tujuh tahun yang kaya akan rasa ingin tahu, memiliki imajinasi yang luar biasa, serta bersemangat tinggi. Ia memiliki sifat yang khas dan bertentangan dengan kebanyakan anak seusianya, sehingga sering dianggap ‘nakal’ atau susah diatur oleh para guru di sekolah biasa. 

Di dalam novel, Totto-chan digambarkan sebagai seorang anak yang sangat energik dan ekspresif. Ia tidak mampu duduk tenang dan sering melakukan aktivitas yang dianggap mengganggu, seperti membuka dan menutup meja secara berulang, memanggil seniman jalanan saat pelajaran berlangsung, serta mencoret-coret meja yang sulit dihapus. Sikap ini membuatnya diusir dari sekolah sebelumnya karena dinilai tidak sejalan dengan peraturan yang ketat dan sistem pendidikan yang rigid pada waktu itu. 

Akan tetapi, itu tidak berarti Totto-chan memiliki niat yang buruk. Sebenarnya, rasa ingin tahunya yang tinggi dan metode belajarnya yang unik menunjukkan bahwa ia memiliki karakter yang kreatif dan antusias terhadap pembelajaran. Ia senantiasa bertanya dan ingin memahami segala hal dengan mendalam, serta berusaha menjelaskan apa yang telah ia pelajari supaya orang lain juga paham. Sikap ini menunjukkan hasrat Totto-chan untuk belajar secara alami dan menyenangkan, bukan melalui tekanan dan aturan yang ketat. 

Setelah keluar dari sekolah sebelumnya, ibunya membawa Totto-chan ke Tomoe Gakuen, yang merupakan sekolah yang sangat berbeda dari sekolah konvensional. Di tempat itu, Totto-chan disambut dengan ramah oleh kepala sekolah, Mr. Kobayashi, yang memahami dan menghargai keistimewaan setiap anak. Tomoe Gakuen memberikan kebebasan sepenuhnya kepada siswa untuk belajar sesuai dengan ketertarikan dan karakter mereka. Totto-chan sangat mencintai sekolah ini, terutama karena ruangan-ruangannya terletak di dalam gerbong kereta api tua, yang menciptakan atmosfer belajar yang menyenangkan dan tidak monoton. 


Novel Totto-chan: Gadis Kecil di Jendela oleh Tetsuko Kuroyanagi menyajikan pandangan yang menggugah tentang sistem pendidikan yang ramah, inklusif, dan berkembang melalui pengalaman seorang anak yang istimewa dan bersemangat dalam belajar. Melalui cerita Totto-chan dan sekolah Tomoe Gakuen, pembaca diajak untuk menyadari pentingnya memberi kebebasan serta penghargaan pada keunikan setiap anak dalam proses pembelajaran. Pendekatan pendidikan yang berfokus pada anak ini sangat berkaitan dengan konsep kurikulum merdeka yang saat ini banyak diterapkan, yang mengedepankan pengembangan potensi individu secara maksimal. Oleh karena itu, novel ini tidak hanya berfungsi sebagai kisah masa kecil yang menggerakkan hati, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi dunia pendidikan untuk menciptakan suasana belajar yang lebih bersifat manusiawi, inovatif, dan adaptif demi masa depan generasi penerus.


Penulis:
Muhammad Imam Tauhid Yusvi
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Universitas Andalas

Artikel Terkait

Silahkan komen guys..
EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)