Kekuasaan dan Penghapusan Ingatan: Analisis Otoritarianisme dalam Novel The Memory Police Karya Ogawa Yoko



Campusnesia.co.id - Tidak dapat dipungkiri bahwa ingatan dan Sejarah merupakan hal penting dalam membentuk identitas seseorang maupun Masyarakat. Namun, dalam keadaan tertentu kekuasaan dan politik dapat memanipulasi dan juga menghapus ingatan Masyarakat untuk mempertahankan dominasinya di Masyarakat membuatnya terus berkuasa tanpa ada seseorang yang menghalanginya. Keadaan ini tergambar secara jelas dalam novel The Memory Police karya Ogawa Yoko Dimana latar dalam cerita ini menampilkan sebuah pulau Dimana benda-benda yang dihapus secara misterius oleh sebuah rezim yang sangat otoriter.

Kehidupan Masyarakat dalam novel ini sangat di pengaruhi oleh kekuasaan polisi memori Dimana mereka akan menghapus dan juga menghilangkan objek-objek tertentu dan juga ingatan mengenai objek yang dihilangkan yang berada di pulau tersebut, dan jika ada seseorang yang di pulau tersebut yang mengingat atau menyimpan benda yang sudah di hapus oleh para Polisi Kenangan tersebut maka mereka akan di buru dan di tangkap. Penghapusan ini tidak hanya berdampak pada hilangnya benda tetapi juga menyebabkan para masyarakatnya kehilangan Sejarah, makna dan juga identitas diri mereka, hal ini dikemukakan oleh Wellek & Warren  “Sastra menyajikan kehidupan”, dan kehidupan sendiri Sebagian besar terdiri dari kenyataan social, termasuk intitusi kekuasaan yang memngaruhi pola piker dan perilaku Masyarakat 

Fenomena penghapusan ingatan dan benda-benda di pulau tersebut bukan hanya cerita saja tetapi cerminan terhadap kekuasaan rezim yang otoriter yang berupaya mengendalikan Masyarakat dengan menghilangkan objek dan ingatan yang ada demi mempertahankan dominasi mereka di Tengah-tengah Masyarakat tersebut. Dan lebih jauh lagi di dalam novel ini menggambarkan tentang trauma yang di alami oleh Masyarakat akibat kehilangan memori yang terus berulang-ulang yang berdampak terhadap hilangnya identitas diri mereka sendiri. 


Kondisi Masyarakat di Pulau Misterius 

Di pulau yang menjadi tempat cerita The Memory Police, penduduk hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan juga kepasrahan. Mereka terbiasa membuang benda-benda yang sudah tidak bisa di ingat lagi dan setiap hari para penduduk merasakan rasa kehilangan namun, ada beberapa orang yang masih terus mengingat benda-benda yang “hilang” dan mereka harus menyembunyikan ingatan itu agar tidak di tangkap oleh Polisi Kenangan.

Kondisi ini menciptakan suasana social yang penuh dengan ketegangan Dimana orang-orang takut berbicara tentang benda-benda yang hilang tersebut dari waktu ke waktu banyak benda yang hilang bahkan Ketika benda-benda tersebut menghilang, para penjual barang tersebut dengan cepat beralih profesei walaupun gaji mereka yang di terima dengan gaji yang lebih rendah daripada pekerjaan sebelumnya mereka tidak akan protes, contohnya pada kutipan ini:

“Ketika topi dihilangkan, tukang topi yang tinggal di seberang jalan beralih membuat payung. Suami pengasuhku, yang dulunya adalah montir kapal, beralih profesi menjadi petugas keamanan di gudang. Seorang gadis yang beberapa tahun lebih tua dariku dulunya bekerja di salon kecantikan, tetapi ia kemudian dengan cepat beralih profesi menjadi bidan. Tidak seorang pun dari mereka mengatakan sesuatu. Bahkan ketika gaji yang mereka terima dari pekerjaan baru itu lebih rendah, mereka sepertinya tidak menyesal kehilangan pekerjaan yang lama. Tentu saja, apabila mereka mengeluh, mereka mungkin akan menarik perhatian Polisi Kenangan” (Ogawa, 2020, hlm. 14).

Pada kutipan tersebut menunjukan bahwa benda-benda di sana menghilang masyarakatnya dengan cepat beralih profesi walaupun gajinya lebih rendah dibanding pekerjaan sebelumnya dan mereka tidak akan protes karena mereka takut terhadap Polisi Kenangan dan mereka sama sekali tidak bisa memprotes hal yang terjadi karena adanya ketakutan terhadap rezim yang ada dan tidak ada kekuatan untuk melawannya bahkan ini bisa menghancurkan perekonomian yang ada karena sumber mata pencaharian Masyarakat di pulau berkurang dan juga lapangan kerja juga semakin sedikit dan angka kemiskinan bisa melonjak tinggi. 


Penghapusan Ingatan sebagai Alat Kekuasaan Otoriter 
Salah satu tema yang ada di dalam novel ini adalah bagaimana penghapusan ingatan digunakan untuk alat dominasi rezim yang otoriter. Dalam novel The Memory Police, polisi kenangan tidak hanya menghilangkan benda secara fisik tetapi juga memaksa Masyarakat yang masih mengingat benda-benda tersebut untuk melupakannya, jika seseorang masih mengingatnya mereka di anggap berbahaya dan harus di tangkap oleh Polisi Kenangan contohnya pada kutipan berikut ini:

Dan masih ada satu keputusan lagi yang harus kami ambil," kata sang profesor. "Kami harus memutuskan apa yang harus kami lakukan dengan patung-patung pemberian ibumu. Setelah kami menghilang, Polisi Kenangan akan menggeledah rumah kami. Mereka mungkin akan menghancurkan sebagian besar dari apa yang kami tinggalkan di sana. Itulah sebabnya kami ingin melindungi beberapa benda terakhir yang sangat kami hargai walaupun hal itu bisa ter-bukti berbahaya. Rahasia kami bisa terbongkar. Kami harus membatasi jumlah orang yang tahu tentang rumah aman." (Ogawa, 2020, hlm. 42).

Dalam kutipan tersebut terlihat contoh jelas tentang bagaimana Polisi Kenangan, atau rezim otoriter, menggunakan kekuatan untuk menghapus kenangan dan keberadaan warga, termasuk barang-barang yang dianggap berbahaya atau subversif. Mengawasi dan menghancurkan barang pribadi adalah cara kontrol otoriter yang bertujuan untuk menghilangkan kenangan dan identitas kolektif masyarakat. 

Teori otorianisme menyatakan bahwa rezim otoriter membatasi kebebasan individu dengan membatasi akses ke informasi, melakukan pengawasan ketat terhadap tindakan masyarakat, dan menghancurkan segala sesuatu yang dapat mengancam kekuasaan mereka. Dalam konteks novel ini, menjaga benda-benda penting ini adalah cara kecil untuk menentang dominasi kekuasaan yang ingin menghapus semua ingatan dan identitas. Pembatasan jumlah orang yang mengetahui tentang "rumah aman" menunjukkan kekuatan otoriter sekaligus mencerminkan ketakutan dan kehati-hatian warga terhadap rezim yang represif.


Dampak Psikologis dari Penghapusan Ingatan
Penghapusan ingatan yang dilakukan oleh Polisi Kenangan menyebabkan trauma yang dialami oleh Masyarakat di pulau tersebut, tokoh “aku” yang berperan sebagai narrator di dalam cerita menggambarkan bagaimana Masyarakat yang menjadi semakin kehilangan semangat hidup setiap kali ingatan akan benda yang hilang tersebut di hapus, hal ini ada dalam kutipan novel nya berikut:

Aku menjawab dengan jujur. "Entahlah. Karena aku bahkan tidak tahu apa yang seharusnya kuingat. Yang hilang benar-benar sudah hilang sepenuhnya. Dalam diriku tidak ada benih yang menunggu untuk tumbuh lagi. Aku harus menerima hati hampa yang penuh lubang. Itulah sebabnya aku iri pada hatimu, hati yang memberikan perlawanan, yang transparan sekaligus tidak transparan, yang seper-tinya berubah mengikuti sudut cahaya yang menyinarinya." (Ogawa, 2020, hlm. 90-91).

Kutipan ini sangat mendalam menggambarkan dampak psikologis yang dialami tokoh “aku” saat ingatannya dihapus oleh Polisi Kenangan. Kalimat "Entahlah. Karena aku bahkan tidak tahu apa yang seharusnya kuingat " mencerminkan kebingungan dan ketidakpastian yang sangat mendalam tentang identitas. 

Ingatan adalah dasar penting dalam pembentukan identitas seseorang; tanpa ingatan, individu kehilangan pijakan tentang siapa dirinya, apa yang pernah dialaminya, dan nilai-nilai yang membentuk dirinya. Situasi ini menyebabkan perasaan hampa dan kekosongan jiwa yang mendalam. Ungkapan "Aku harus menerima hati hampa yang penuh lubang" mencerminkan keadaan psikologis yang hampa dan terpecah, di mana penghapusan ingatan membuat seseorang merasakan kehilangan elemen penting dari dirinya, sehingga timbul emosi kosong yang sangat berat, yang dapat berujung pada perasaan tidak berarti atau bahkan depresi. 


Novel The Memory Police oleh Ogawa Yōko menggambarkan kekuasaan otoriter yang beroperasi dengan cara yang halus dan sistematis lewat penghilangan ingatan serta objek fisik yang menjadi simbol identitas dan kenangan kolektif masyarakat. Kekuasaan ini tidak hanya mengontrol tindakan fisik masyarakat, tetapi juga menguasai kisah sejarah dan ingatan, sehingga Masyarakat di pulau kehilangan kemampuan untuk mengenang, melawan, dan mempertahankan identitas mereka. Dalam dunia yang dijelaskan Ogawa, penghilangan ingatan berfungsi sebagai alat penindasan paling efisien karena ia mengurangi kemampuan berpikir kritis dan perlawanan secara bertahap tanpa menggunakan kekerasan fisik yang jelas. Ini menghasilkan suasana ketakutan, kesendirian, dan kekosongan psikologis yang mendalam, di mana individu merasakan keterasingan dari dirinya sendiri dan orang lain. Novel ini juga menekankan bagaimana kekuasaan totaliter menguasai informasi dan memanfaatkan pengawasan untuk mengendalikan perlawanan, sementara individu yang berusaha mempertahankan ingatan dan identitasnya harus bersembunyi dan berjuang dalam kesunyian. Ogawa memberikan kritik tajam terhadap otoritarianisme yang tidak hanya merusak tubuh, tetapi juga menghancurkan ingatan dan kemanusiaan. 

The Memory Police mengajak pembaca untuk merenungkan risiko kekuasaan yang mengendalikan ingatan dan bagaimana kehilangan memori bisa berarti kehilangan kebebasan serta esensi kemanusiaan. Kesimpulan ini menegaskan bahwa novel itu adalah alegori politik yang kuat mengenai bagaimana rezim otoriter memanfaatkan penghapusan ingatan sebagai sarana dominasi dan kontrol sosial, serta mencerminkan dampak psikologis dan eksistensial yang dialami oleh masyarakat yang berada di bawah tekanan tersebut. 



Penulis:
Muhammad Imam Tauhid Yusvi
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Universitas Andalas

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Silahkan komen guys..
EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)