Pendaftaran Program Beasiswa Kepemimpinan TELADAN 2026 - Tanoto Foundation

0
 


Campusnesia.co.id - Program TELADAN (Transformasi Edukasi untuk melahirkan Pemimpin Masa Depan) merupakan salah satu inisiatif Tanoto Foundation dalam membangun generasi unggul dan pemimpin masa depan yang tangguh untuk berkontribusi membawa dampak positif untuk Indonesia. Dalam program ini, Tanoto Foundation memberikan dukungan pengembangan kepemimpinan berjenjang dan terstruktur, kesempatan pengembangan diri hingga tingkat global, pengabdian masyarakat, berbagai sarana kolaborasi dan jejaring, disertai dengan dukungan biaya kuliah dan tunjangan biaya hidup.

Mahasiswa semester pertama di 10 perguruan tinggi mitra program TELADAN yang memiliki prestasi di berbagai bidang, pengalaman organisasi, serta menunjukkan potensi kepemimpinan dapat mendaftarkan diri pada program TELADAN.

Pendaftaran program TELADAN 2026 dibuka mulai tanggal 1 Juli 2025 sampai 7 September 2025. 

MANFAAT BAGI TANOTO SCHOLAR

Mahasiswa terpilih akan menjadi Tanoto Scholars, dan menjalani perjalanan program TELADAN selama 3.5 tahun dari semester 2 hingga 8. Selama perjalanan program TELADAN, Tanoto Scholars akan mendapatkan manfaat:

1. Dukungan Pengembangan Kepemimpinan
Tanoto Scholars akan bersama-sama mengembangkan pengetahuan dan kemampuan kepemimpinan yang dirancang secara terstruktur dan berkelanjutan dalam 3 tahapan. Masing-masing tahapan mencakup pengetahuan baru, pengembangan diri sebagai pemimpin, pembelajaran berbasis proyek, serta persiapan pengembangan karier, yang disertai dengan kesempatan berkontribusi kembali untuk masyarakat.



2. Dukungan Lingkaran Pengembangan TELADAN
Selain pengembangan kepemimpinan yang terstruktur, Tanoto Scholars juga akan mendapatkan dukungan untuk mengikuti kegiatan pengayaan yang disebut sebagai Lingkaran Pengembangan TELADAN.


a. Tanoto Scholars Association (TSA): hadir di setiap perguruan tinggi mitra Tanoto Foundation sebagai wadah/komunitas untuk Tanoto Scholars bertemu dan berinteraksi sebagai satu keluarga baru

b. Pay It Forward Initiative: salah satu kegiatan yang dilakukan oleh TSA untuk memberikan dampak positif secara langsung dan terus-menerus kepada komunitas/masyarakat di sekitar tempat tinggal Tanoto Scholars

c. Tanoto Scholars Gathering (TSG): aktivitas tahunan yang mempertemukan Tanoto Scholars dari semua perguruan tinggi mitra untuk melakukan kegiatan pengembangan diri, sebagai transisi dari tahapan Lead Self ke Lead Others

d. Tanoto Student Research Award (TSRA): kegiatan tahunan berupa dukungan dana dan pelatihan riset bagi mahasiswa di perguruan tinggi mitra, dan terbuka untuk mahasiswa di perguruan tinggi mitra tersebut

e. Internship: kesempatan bagi Tanoto Scholars untuk mendapatkan pengalaman magang di Tanoto Foundation, di kelompok perusahaan Royal Golden Eagle (RGE), ataupun di industry mitra lainnya

f. Sponsorship: kesempatan bagi Tanoto Scholars untuk mendapatkan dukungan finansial tambahan dalam rangka mengikuti kompetisi, konferensi, maupun sertifikasi pengembangan kompetensi untuk persiapan karir baik di dalam maupun di luar negeri

g. Global Experiences Program: kesempatan bagi para Tanoto Scholars yang berprestasi untuk mendapatkan pengalaman global dan membangun jejaring internasional melalui program jangka pendek di dalam dan di luar negeri, seperti summer course, exchange program, volunteering, dan lainnya.

3. Dukungan Biaya Kuliah dan Tunjangan Hidup
Selama aktif sebagai Tanoto Scholars, biaya kuliah secara penuh akan dibayarkan langsung kepada perguruan tinggi mitra Tanoto Foundation. Selain itu, tunjangan biaya hidup bulanan juga disediakan dan akan dibayarkan langsung kepada Tanoto Scholars.

4. Jaringan Alumni di Indonesia dan Dunia
Setelah lulus, Tanoto Scholars akan bergabung bersama dengan jaringan alumni penerima beasiswa Tanoto Foundation yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dan di belahan dunia lainnya. Dalam jaringan alumni, selain terkoneksi untuk saling menginspirasi satu sama lain, juga ada kegiatan pengembangan profesional dan peningkatan kapasitas seiring kebutuhan perkembangan dunia.


PERGURUAN TINGGI MITRA PROGRAM TELADAN

Program TELADAN bermitra dengan sepuluh perguruan tinggi berikut:



SYARAT PENDAFTARAN

1. Warga Negara Indonesia (WNI).

2. Terdaftar sebagai mahasiswa reguler (S1) semester pertama di salah satu perguruan tinggi mitra program TELADAN.

3. Berkomitmen mengikuti Program Pengembangan Kepemimpinan selama masa Program TELADAN (Semester 2 – Semester 8).

4. Menunjukkan potensi kepemimpinan yang kuat serta berkomitmen untuk berkontribusi pada masyarakat dan pembangunan bangsa.

5. Mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, kemampuan berbahasa Inggris dan bahasa internasional lainnya akan menjadi nilai tambah.

6. Memiliki prestasi akademik (minimum nilai rata-rata rapor Kelas XII SMA/SMK/MA adalah 8 dari skala 10) dan non-akademik seperti pengalaman organisasi kesiswaan, komunitas sosial, atau terkait lainnya.

7. Sedang tidak menerima beasiswa atau mengikuti program dukungan finansial lainnya, dan bersedia tidak menerima beasiswa atau program finansial lainnya ataupun program pengembangan kepemimpinan sejenis apabila terpilih dalam program TELADAN.

8. Mendaftarkan diri secara online pada website Tanoto Foundation.


Tahapan Seleksi dan Tanggal-Tanggal Penting



Link pendaftaran: https://www.tanotofoundation.org/id/teladan-2026/



Perjalanan Psikologis Tokoh Utama dalam Novel Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela Karya Tetsuko Kuroyagi (Kajian Psikoanalisis Jacques Lacan)

0
 



Campusnesia.co.id - Karya sastra merupakan salah satu bentuk ekspresi yang merefleksikan kehidupan manusia, baik yang bersifat nyata maupun hasil imajinasi pengarang. Melalui karya sastra, penulis tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi juga mengangkat nilai-nilai kehidupan seperti moral, sosial, budaya, dan agama yang dapat menjadi pembelajaran bagi pembacanya (Djojosuroto dalam Romadhon, 2015:2; Tuloli dalam Dakia, 2014:49). Sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembaca, karya sastra memiliki potensi untuk menggambarkan dinamika psikologis yang kompleks dari para tokohnya.

Salah satu bentuk karya sastra yang konsisten memiliki daya tarik lintas zaman adalah novel. Novel kerap dianggap sebagai cerminan kehidupan manusia pada kurun waktu tertentu, karena menggambarkan perilaku, latar sosial, dan kejiwaan tokohnya dengan cukup mendalam (Reeve dalam Nofrita & Hendri, 2017:80). Salah satu novel yang menarik untuk dianalisis secara psikologis adalah Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi (2008). Novel ini menceritakan pengalaman seorang anak perempuan yang dianggap “berbeda” oleh lingkungan sekolah konvensional, namun kemudian berkembang secara positif dalam sistem pendidikan alternatif  Tomoe Gakuen. Tokoh Totto-Chan memberikan gambaran yang unik mengenai perkembangan psikologis anak dan bagaimana sistem pendidikan serta interaksi sosial dapat memengaruhinya.

Untuk memahami dinamika psikologis dalam novel ini, digunakan pendekatan psikoanalisis Lacan. Jacques Lacan mengembangkan teori psikoanalisis yang mengaitkan struktur ketidaksadaran manusia dengan bahasa, simbol, dan struktur sosial. Lacan membagi perkembangan manusia ke dalam tiga ranah: Real, yaitu kondisi sebelum manusia mengenal bahasa dan pemisahan dari objek yang diinginkan; Imaginary, saat individu mulai membentuk citra diri melalui fase cermin (mirror stage); dan Symbolic, ranah bahasa, norma, serta hukum yang membentuk subjek dalam masyarakat (Lacan dalam Sarup, 1993).

Selain itu, Lacan juga mengemukakan bahwa perkembangan jiwa manusia melalui tiga bentuk relasi dengan objek: kebutuhan (need) sebagai kebutuhan biologis dasar, permintaan (demand) yang muncul ketika kebutuhan disampaikan kepada orang lain dalam bentuk simbolik (misalnya bahasa), dan hasrat (desire) yang lahir dari kekurangan yang tidak pernah sepenuhnya terpenuhi, sehingga manusia terus mencari kepenuhan melalui simbol atau relasi sosial (Evans, 1996).

Tokoh Totto-Chan menunjukkan dinamika ketidaksadaran, citra diri, serta hasrat yang terbentuk melalui relasinya dengan lingkungan, terutama sekolah dan orang-orang di sekitarnya. Dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis Lacan, esai ini bertujuan untuk menganalisis struktur kejiwaan Totto-Chan dan memahami bagaimana pengalaman masa kecil serta interaksi sosial membentuk identitas dan hasrat tokoh tersebut. Analisis ini diharapkan dapat memberikan sudut pandang baru terhadap persoalan psikologis anak dalam karya sastra.


Gambaran Pengarang Novel, Masyarakat Jepang, dan Tokoh Cerita

1 Tetsuko Kuroyanagi Selaku Pengarang
Tetsuko Kuroyanagi merupakan sosok penting dalam dunia sastra dan hiburan Jepang. Lahir pada 9 Agustus 1933 di Tokyo, ia dikenal sebagai aktris, pembawa acara televisi, serta penulis buku anak-anak yang menginspirasi. Salah satu karya terkenalnya adalah Totto-Chan: The Little Girl at the Window (1981), sebuah buku autobiografi masa kecilnya yang berfokus pada pengalaman belajar di sekolah progresif Tomoe Gakuen. Buku ini menampilkan pendekatan pendidikan yang menghargai kebebasan dan keunikan anak, dan telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa.

Kesuksesan karya ini tidak hanya menjadikan Kuroyanagi sebagai penulis ternama, tetapi juga memperkuat citranya sebagai aktivis pendidikan dan kemanusiaan. Pada tahun 1984, ia diangkat sebagai Duta Besar UNICEF, menjadi orang Asia pertama yang menyandang posisi tersebut. Dalam perannya itu, ia telah berkeliling dunia untuk mendukung kesejahteraan anak-anak dan mempromosikan pentingnya pendidikan yang inklusif.

Melalui latar belakangnya sebagai seniman dan pendidik, karya Kuroyanagi tidak hanya menyampaikan nilai-nilai pendidikan, tetapi juga memperlihatkan kepekaan terhadap perkembangan psikologis anak, yang menjadi fokus utama dalam analisis psikoanalisis terhadap tokoh Totto-Chan.


2. Masyarakat Jepang
Novel ini berlatar pada masa sebelum dan selama Perang Dunia II, saat Jepang berada di tengah arus nasionalisme, tekanan sosial, dan kontrol pemerintah yang ketat. Masyarakat Jepang pada masa itu sangat menghormati aturan, tata krama, dan kekompakan dalam suatu kelompok. Anak-anak diharapkan untuk patuh, tertib, dan mengikuti norma yang berlaku di sekolah maupun di Masyarakat. Sistem pendidikan juga cenderung kaku, menuntut anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan standar yang sudah ditetapkan. Namun, di balik itu semua, ada juga sisi humanis dan upaya untuk membangun solidaritas melalui organisasi seperti tonarigumi (kelompok tetangga) dan chōnaikai (dewan komunitas), yang menjadi sarana pemerintah untuk menggalang dukungan perang pada kala itu.


3. Tokoh Totto-Chan dalam Novel
Totto-Chan adalah tokoh utama dalam novel Totto-Chan: The Little Girl at the Window karya Tetsuko Kuroyanagi. Tokoh ini diangkat dari kisah nyata masa kecil Kuroyanagi sendiri. Totto-Chan digambarkan sebagai anak perempuan yang penuh rasa ingin tahu, ceria, dan memiliki perilaku yang tidak sesuai dengan standar sekolah konvensional. Karena sifatnya yang dianggap "nakal" dan terlalu aktif, ia dikeluarkan dari sekolah pertamanya. Namun, kehidupan Totto-Chan berubah setelah ia bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah dengan sistem pendidikan alternatif yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Sosaku Kobayashi. Di Tomoe, Totto-Chan diberikan ruang untuk menjadi dirinya sendiri, didengarkan, dan dibimbing dengan pendekatan yang penuh kasih sayang dan pemahaman terhadap dunia anak.

Tokoh Totto-Chan mewakili semangat kebebasan dan individualitas dalam pendidikan. Perjalanan kepribadiannya yang berkembang di bawah sistem pendidikan yang inklusif menjadikan Totto-Chan simbol dari pentingnya memahami kebutuhan psikologis anak. Melalui narasi yang sederhana namun menyentuh, Kuroyanagi menampilkan bagaimana pendidikan yang manusiawi dapat membentuk karakter anak secara positif. Tokoh Totto-Chan juga menarik untuk dianalisis melalui pendekatan psikoanalisis, khususnya teori Lacan, karena pengalaman masa kecilnya memperlihatkan perkembangan identitas dan hasrat dalam konteks lingkungan sosial yang unik.


3. Analisis

Aspek Real Tokoh Utama dalam Novel Totto-Chan Gadis Cilik di Jendela Karya Tetsuko Kuryanagi

Dalam teori psikoanalisis Jacques Lacan, aspek real mengacu pada kondisi eksistensial yang belum tersentuh oleh bahasa atau simbol, sehingga tidak dapat sepenuhnya direpresentasikan secara linguistik. Pada tahap ini, individu belum mengalami kekurangan, kehilangan, atau ketidakhadiran. Fase real menggambarkan keadaan utuh dan lengkap, di mana seluruh kebutuhan terasa terpenuhi secara alami. Dalam konteks ini, tokoh utama dalam novel Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi menunjukkan fase real ketika dirinya masih merasa seluruh keinginannya tercapai tanpa adanya rasa kurang atau kehampaan. Representasi fase ini dapat ditemukan melalui kutipan-kutipan tertentu dalam novel yang menggambarkan pengalaman awal kehidupan tokoh sebelum masuk ke dalam dunia simbolik.

Sejak sebelum sekolah, Totto-Chan suka mendengarkan pelawak-pelawak rakugo- pendongeng kisah-kisah lucu tradisional jepang-sambil menekankan telinganya pada kain sutra merah jambu radio. Menurutnya, lawakan mereka sangat lucu. Mama tidak pernah keberatan ia mendengarkan lawakan di radio sampai kemarin.

Kutipan diatas menggambarkan kebiasaan Totto-Chan mendengarkan pelawak rakugo melalui radio menunjukkan bagaimana ia menikmati pengalaman tersebut secara utuh dan spontan. Ia melibatkan diri sepenuhnya dalam aktivitas itu, bahkan sampai menempelkan telinga pada kain radio untuk mendengarnya dengan lebih jelas. Dalam konteks psikoanalisis Lacan, hal ini mencerminkan aspek real, yaitu tahap awal dalam perkembangan psikis seseorang, di mana individu belum mengenal konsep kekurangan atau ketidakhadiran (lack). Pada tahap ini, dunia anak masih dipersepsikan sebagai sesuatu yang utuh, penuh, dan memuaskan.

Totto-Chan, yang masih dalam usia kanak-kanak, hidup dalam realitas yang belum tersusun secara simbolik oleh bahasa atau norma sosial yang membatasi. Ia bebas menikmati hal-hal yang disukainya tanpa mempertanyakan makna atau alasan rasional di baliknya. Rasa ingin tahunya yang besar serta kebebasan dalam mengekspresikan diri yang juga didukung penuh oleh ibunya menunjukkan bahwa ia belum masuk ke ranah simbolik atau imajiner sepenuhnya. Ia masih berada dalam aspek real, di mana tidak ada batasan antara keinginan dan pemenuhannya, dan ia merasa segala kebutuhannya bisa dipenuhi secara langsung oleh lingkungannya.


Aspek Imajiner Tokoh Utama dalam Novel Totto-Chan Gadis Cilik di Jendela Karya Tetsuko Kuryanagi

Aspek Imajiner menurut Lacan adalah tahap ketika manusia mulai membentuk identitas diri melalui pengenalan dan interaksi dengan orang lain, terutama dalam fase cermin. Pada Totto-Chan, aspek Imajiner muncul ketika ia berhadapan dengan lingkungan sekolah yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Ia dianggap sebagai anak nakal oleh guru di sekolah sebelumnya, sehingga merasa tidak diterima dan merasa cemas akan penilaian orang lain, termasuk ibunya. Kesenjangan antara harapan Totto-Chan terhadap lingkungan sekolah dan kenyataan yang ia hadapi menimbulkan perasaan tidak nyaman, tidak aman dan kecemasan. Pada tahap ini Totto-Chan membentuk citra diri berdasarkan penilaian orang lain, yang memengaruhi identitas dan hasratnya.

Mama tidak bilang kepada Totto-Chan bahwa dia dikeluarkan dari sekolah. dia tahu, Totto- Chan takan mengerti mengapa dia di anggap telah berbuat salah dan mama tidak ingin putrinya menderita tekanan batin, jadi diputuskannya untuk tidak memberi tahu Totto-Chan sampai dia dewasa kelak. Mama hanya berkata, “bagaimana kalau kau pindah ke sekolah baru? Mama dengar ada sekolah yang sangat bagus.”

Dalam  kutipan diatas Mama berperan sebagai penentu narasi realitas bagi Totto-Chan. Dengan tidak mengungkapkan bahwa Totto-Chan dikeluarkan dari sekolah, Mama “membangun citra positif” yang melindungi identitas anaknya. Ia menciptakan realitas alternatif bahwa pindah sekolah adalah pilihan yang menyenangkan, bukan akibat dari kesalahan. Ini adalah bentuk dari proyeksi simbolik yang dibungkus dalam fase imajiner, di mana realitas disampaikan bukan secara langsung, tetapi melalui “cermin” yang disesuaikan dengan dunia anak.

Totto-Chan yang masih dalam usia kanak-kanak menerima realitas ini apa adanya. Ia belum mampu menyadari struktur sosial yang lebih kompleks (ranah simbolik) dan masih hidup dalam konstruksi identitas yang dibentuk melalui refleksi dari orang-orang terdekat. Dalam hal ini, Mama membantu membentuk imaji Totto-Chan tentang dirinya sebagai anak yang tetap baik dan pantas, meskipun sebenarnya dikeluarkan dari sekolah.

Dengan demikian, tindakan Mama tidak hanya melindungi Totto-Chan secara emosional, tetapi juga memperlihatkan dinamika bagaimana fase imajiner bekerja dalam membentuk persepsi diri anak berdasarkan narasi yang disampaikan orang tua.

Aspek Simbolik Tokoh Utama dalam Novel Totto-Chan Gadis Cilik di Jendela Karya Tetsuko Kuryanagi

Aspek simbolik merupakan tahap di mana seseorang mulai mengenali dirinya dan lingkungan sekitar melalui bahasa serta aturan sosial yang berlaku. Pada tokoh Totto-Chan, aspek ini tampak jelas ketika ia mulai bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah yang berbeda jauh dengan tempat sebelumnya. Di sana, Totto-Chan diterima sepenuhnya oleh guru, kepala sekolah, dan teman-temannya, sehingga ia memperoleh lingkungan yang mendukung perkembangan dirinya. Dengan merasa dihargai dan dimengerti, Totto-Chan dapat menyerap dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai serta norma yang ada di sekitarnya. Keinginan Totto-Chan untuk diakui sebagai pribadi yang unik dan diterima oleh orang lain pun terpenuhi, sehingga berkontribusi pada pertumbuhan psikologisnya secara positif.

Totto-chan merasa dia telah bertemu dengan orang yang benarbenar disukainya. Belum pernah ada orang yang mau mendengarkan dia sampai berjam-jam seperti kepala sekolah. Lebih dari itu, kepala sekolah sama sekali tidak menguap atau tampak bosan. Dia selalu tampak tertarik pada apa yang diceritakan Totto-chan, sama seperti Totto-chan sendiri.
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Totto-Chan merasa keinginannya untuk bersekolah di sekolah kereta itu telah terpenuhi. Ia diterima di Tomoe Gakuen setelah melalui percakapan panjang tanpa henti, di mana ia bebas menceritakan berbagai pengalaman dan pikirannya. Kepala sekolah meminta Totto-Chan untuk mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan, sebuah proses yang menunjukkan penghargaan terhadap suara dan identitas uniknya.

Dalam perspektif teori psikoanalisis Jacques Lacan, momen ini mencerminkan aspek simbolik, yaitu tahap di mana seseorang mulai memahami dirinya dan dunia melalui bahasa, aturan, dan norma sosial. Dengan kemampuan Totto-Chan untuk berbicara dan diterima oleh lingkungan sekolah baru, ia memasuki ranah simbolik yang memungkinkan dirinya membangun identitas sosial yang diakui. Penerimaan dan komunikasi melalui bahasa ini membantu Totto-Chan menginternalisasi nilai-nilai serta norma yang berlaku, sehingga membentuk perkembangan psikologisnya yang lebih matang dan rasa keinginannya untuk diakui sebagai individu yang unik dapat terpenuhi.


Penutup
Melalui analisis dengan pendekatan teori psikoanalisis Jacques Lacan, dapat dipahami bahwa perkembangan psikologis tokoh Totto-Chan sangat dipengaruhi oleh interaksi antara hasrat, lingkungan, dan struktur ketidaksadaran yang meliputi tatanan Real, Imajiner, dan Simbolik. Pada tatanan Real, Totto-Chan memperoleh pemenuhan kebutuhan dasar dari orang tuanya yang penuh kasih sayang dan pengertian, sehingga ia tumbuh sebagai anak yang percaya diri dan bebas berekspresi. Hal ini menjadi fondasi awal bagi pembentukan identitas dan hasratnya.

Namun, ketika memasuki lingkungan sekolah yang kaku dan penuh aturan, Totto-Chan mengalami kecemasan dan ketidakpastian, yang merupakan bagian dari tatanan Imajiner. Ia merasa tidak diterima dan dianggap berbeda oleh guru serta lingkungan sekolah sebelumnya, sehingga membentuk citra diri yang kurang positif dan menimbulkan perasaan tidak aman. Di sinilah muncul konflik internal antara hasratnya untuk diterima dan realitas lingkungan yang menolaknya.

Tatanan Simbolik menjadi titik balik bagi Totto-Chan ketika ia pindah ke Tomoe Gakuen, sebuah sekolah yang sangat berbeda dari sekolah pada umumnya. Di sini, Totto-Chan mendapatkan penerimaan, penghargaan, dan kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri. Lingkungan baru ini memungkinkan Totto-Chan untuk menginternalisasi nilai-nilai dan norma yang positif, sehingga ia dapat membangun identitas yang lebih utuh dan percaya diri. Hasratnya untuk diterima dan diakui sebagai individu yang unik pun terpenuhi, sehingga ia berkembang secara psikologis dan emosional.

Dengan demikian, kisah Totto-Chan tidak hanya menjadi kisah inspirasi tentang pentingnya pendidikan yang humanis dan inklusif, tetapi juga memberikan gambaran nyata tentang bagaimana lingkungan sosial dapat membentuk dan mengubah struktur kejiwaan seseorang. Teori psikoanalisis Lacan memberikan perspektif yang mendalam dalam memahami proses pembentukan subjek, khususnya pada masa kanak-kanak. Melalui analisis ini, kita semakin menyadari bahwa setiap anak memiliki potensi yang unik dan berhak untuk diterima sepenuhnya, tanpa harus tunduk pada standar yang kaku dan mengekang pendidikan yang memahami kebutuhan psikologis anak.


Penulis:
Syntia Maharani
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Univeristas Andalas Padang



Daftar Pustaka:

Kuroyanagi, Tetsuko. Totto-Chan: The Little Girl at the Window. Diterjemahkan oleh Dorothy Britton. Tokyo: Kodansha International, 1984. (atau edisi bahasa Indonesia: Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela, Penerjemah: Widya Kirana, Gramedia Pustaka Utama, tahun sesuai edisi).

Lacan, Jacques. Écrits. Diterjemahkan oleh Bruce Fink. New York: W.W. Norton & Company, 2006.

Kuroyanagi, T. (2018). Totto-Chan: Gadis cilik di jendela (Penerjemah: P. Soetardi). Gramedia Pustaka Utama. (Karya asli diterbitkan tahun 1981)

Maleja, W., Baruadi, M. K., & Bagtayan, Z. A. (2022). Proses Perkembangan Kejiwaan Tokoh Utama Dalam Novel “Totto-Chan: Gadis Cilik Di Jendela” Karya Tetsuko Kuroyanagi (Kajian Psikoanalisis Jacques Lacan). Jambura Journal of Linguistics and Literature, 3(2).Manik, S. “Psikoanalisis Lacan dalam Karya Sastra: Studi Kasus pada Cerpen Indonesia.” Jurnal Bahasa dan Sastra, vol. 4, no. 2, 2016, hlm. 120-135.

List Of Upcoming Korean Dramas and Japanese Dramas July 2025

0
 



Campusnesia.co.id - This is List Of Upcoming Korean Dramas and Japanese Dramas July 2025, Dont miss it.


July 1-7
- 40 Made ni Shitai 10 no Koto (TV Tokyo)

- Ameagari no Bokura ni Tsuite (TV Tokyo)

- Ashita wa Motto, Ii Hi ni Naru (Fuji TV)

- Bitch and Rich 2 (Wavve)

- Doctor Price (NTV)

- DOPE (TBS)

- Kaibutsu (WOWOW)

- Kita-kun ga Kawai Sugite Te ni Amaru node, Sannin de Share Suru Koto ni Shimashita (Fuji TV)

- Law and the City (tvN)

- Love is for the Dogs (TBS)

- Renai Kinshi (NTV)

- Revenge Spy (TV Asahi)


July 8-14
- Ai no, Gakko (Fuji TV)

- Bokutachi wa Mada Sono Hoshi no Kosoku wo Shiranai (Fuji TV)

- Chihayafuru: Meguri (NTV)

- Daitsuiseki (TV Asahi)

- Housoukyoku Senkyo (NTV)

- Koroshita Otto ga Kaette Kimashita (WOWOW)

- Noumen Kenji (TV Tokyo)

- Saigo no Kanteinin (Fuji TV)

- S Line (Wavve)

- The 19th Medical Chart (TBS)

- The Kidnapping Day (TV Asahi)


July 15-21

- Low Life (Disney+)
Since Oh Hee-Dong (Yang Se-Jong) was little, his uncle Oh Gwan-Seok (Ryu Seung-Ryong) looked after him and led him into the criminal world. Oh Gwan-Seok will do anything to make money and he doesn't care whether it is legal or not. Oh Hee-Dong now works for his uncle. One day, Oh Gwan-Seok receives a request. The request is to salvage treasures from a sunken ship off the waters of Shinan, South Jeolla Province. Oh Gwan-Seok senses an opportunity to make a fortune, but rumors and gossip about the ship attracts all sorts of people to the area.

- Shiawasena Kekkon (TV Asahi)

- The Defects (ENA)

- The Nice Guy (JTBC)
Park Seok-Cheol (Lee Dong-Wook) is the eldest grandson of a three generation crime family. Unlike the people in his background, he is an innocent man who has a pure love for Kang Mi-Young (Lee Sung-Kyung). She is his first love and she dreams of becoming a singer.

- Ubai Ai, Manatsu (TV Asahi)


July 22-31
- Glass Heart (Netflix)

- My Girlfriend is a Tough Guy (KBS2)

- Stingers (Fuji TV)

- Trigger (Netflix)
The purchase, selling, or owning of a gun are banned in South Korea. There's almost zero crime cases involving guns in the country. Things change quickly. Illegal guns, from unknown sources, are brought into the country and gun incidents proliferate.

Yi-Do (Kim Nam-Gil) is a righteous detective. In his past, he served in the military as a sniper. Now, Yi-Do struggles to stop a series of gun incidents and chases after the source of the illegal firearms.

Moon-Baek (Kim Young-Kwang) is a key figure in the underground arms broker world. He acts like an easy going person, but he is a person who meticulously plans out his actions and then puts his plan into action. These two men, Yi-Do and Moon-Baek, hold a gun for their own reasons.

-Try: a Miracle in Us (SBS)
Joo Ka-Ram (Yoon Kye-Sang) used to be a rugby player who was the hope for Korean rugby. He had talent and star potential, but a drug scandal ruined everything. All of the sports media covered his drug scandal. He retired from the sport under the stigma of a drug addict. 3 years later, he returns as a contract coach for the high school rugby team where he once played for. The high school rugby team is the weakest team in its league. As a coach, Joo Ka-Ram shows unrivaled charisma and an uncompromising leadership ability. He also reunites with his ex-girlfriend Bae Yi-Ji (Lim Se-Mi), who is a shooting coach at the same high school. They dated for 10 years, but, after his drug scandal, Joo Ka-Ram disappeared. Now, they reunite again while working at the same high school.

Meanwhile, the rugby team has 7 players including its captain Yoon Seong-Joon (Kim Yo-Han). Yoon Seong-Joon is in the 3rd year of high school. He has a twin brother who is a member of the junior national soccer team. Yoon Seong-Joon also played soccer in the past, but he switched to rugby due to his lack of talent. He is twisted by envy and feels inferior toward people with talent. Yet, Yoon Seong-Joon is a hard-working person who wants to be recognized in sports.

Daftar Film Korea dan Jepang Tayang Bulan Juli 2025 Catat Tanggal Mainnya

0
 



Campusnesia.co.id - Selamat datang bulan Juli, tak terasa tahu 2025 sudah berlalu setengan jalan dan kali ini menemanikan semester kedua sobat pembaca, Campusnesia bahal menghadirkan informasi tentang Daftar Film Korea dan Jepang Tayang Bulan Juli 2025.

Apa saja? ini dia daftarnya:


1, Baban Baban Ban Vampire - Film Jepang Tayang 4 Juli 2025
Ranmaru Mori (Ryo Yoshizawa) bekerja di pemandian umum sebagai pekerja paruh waktu. Dia sebenarnya adalah vampir berusia 450 tahun. Dalam pencarian cita rasa tertinggi, yaitu darah perawan berusia 18 tahun, dia menjaga Rihito Tatsuno (Rihito Itagaki) yang berusia 15 tahun, yang merupakan putra tunggal pemilik pemandian umum. Suatu hari, Rihito Tatsuno jatuh cinta pada pandangan pertama dengan teman sekelasnya Aoi Shinozuka (Nanoka Hara). Jika cinta Rihito Tatsuno menjadi kenyataan, itu berarti dia akan berada dalam bahaya kehilangan keperawanannya. Dalam situasi putus asa yang tiba-tiba, Ranmaru Mori memutuskan untuk menghentikan Rihito Tatsuno dari melangkah lebih jauh dengan cinta sejatinya.


Berdasarkan serial manga "Baban Baban Ban Vampire" oleh Hiromasa Okujima (pertama kali diterbitkan 13 Oktober 2021 di Bessatsu Shonen Champion).


2. Natsu no Suna no Ue - Film Jepang Tayang 4 Juli 2025
Kehidupan Osamu Koura (Joe Odagiri) terhenti setelah kehilangan putranya yang masih kecil. Karena rasa kehilangan yang dirasakannya, ia berpisah dari istrinya Keiko Koura (Takako Matsu). Bahkan setelah galangan kapal tempatnya bekerja bangkrut, ia belum menemukan pekerjaan baru. Suatu hari, adik perempuannya (Hikari Mitsushima) memintanya untuk tinggal bersama putrinya yang berusia 17 tahun, Yuko (Akari Takaishi), dan ia meninggalkannya bersamanya. Adik perempuannya adalah seorang ibu tunggal dan Yuko tumbuh tanpa mengenal kasih sayang dari seorang ayah. Osamu Koura dan Yuko tiba-tiba mulai hidup bersama. Saat mereka mulai hidup bersama, mereka menghadapi rasa sakit yang mereka miliki dan menemukan secercah harapan.

Film ini berdasarkan drama teater tahun 1998 "Natsu no Suna no Ue," yang naskahnya ditulis oleh Masataka Matsuda.


3. Wall to Wall - Film Korea Tayang 18 Juli 2025
Woo-Sung (Kang Ha-Neul) adalah seorang pekerja kantoran biasa berusia 30-an. Ia telah berhasil membeli apartemennya sendiri, yang merupakan impiannya sejak lama. Untuk membeli apartemen tersebut, ia menggunakan semua tabungannya, mengambil pinjaman, dan bahkan menggunakan ladang bawang putih milik ibunya. Ia kini tengah berjuang untuk melunasi pinjaman berbunga tinggi tersebut. Yang memperburuk keadaan, ia menderita suara bising terus-menerus dari lantai tetangga. Karena suara bising tersebut, ia terlibat konfrontasi tajam dengan para tetangganya. Woo-Sung kemudian bekerja sama dengan tetangganya di lantai atas, Jin-Ho (Seo Hyun-Woo) untuk mencari sumber suara tersebut. Sementara itu Eun-Hwa (Yum Hye-Ran) adalah seorang perwakilan penghuni kompleks apartemen dan ia berusaha menjaga kedamaian di gedung tersebut.


4. Omniscient Reader - Film Korea Tayang 23 Juli 2025
Kim Dok-Ja (Ahn Hyo-Seop) adalah seorang pekerja kantoran biasa. Ia adalah penggemar berat web novel fantasi yang kurang dikenal "Three Ways to Survive in a Ruined World," yang baru saja menyelesaikan 10 tahun penayangannya. Kim Dok-Ja adalah satu-satunya orang yang telah membaca web novel tersebut hingga akhir dan tahu bagaimana akhirnya. Suatu hari, Kim Dok-Ja menghadapi dunia yang berubah menjadi web novel "Three Ways to Survive in a Ruined World." Sementara itu, Yoo Joong-Hyeok (Lee Min-Ho) adalah tokoh utama dalam "Three Ways to Survive in a Ruined World." Ia memiliki kemampuan khusus untuk hidup kembali setelah ia meninggal. Ia adalah pria tampan dengan keterampilan bertarung yang luar biasa.


Yoo Joong-Hyeok dan Kim Dok-Ja memulai perjalanan epik untuk menyelamatkan dunia. Orang-orang di sekitar mereka termasuk Yoo Sang-A (Chae Soo-Bin), Lee Hyeon-Seong (Shin Seung-Ho), Gong Pil-Doo (Park Ho-San), Jung Hee-Won (Nana), Han Myeong-O (Choi Young-Joon) dan Lee Ji-Hye (Kim Ji-Soo).

Berdasarkan novel web "Jeonjijeok Dokja Shijeom" karya Sing Shong (pertama kali diterbitkan pada 6 Januari 2018 melalui Naver). Proses syuting dimulai pada 5 Desember 2023 dan selesai pada Mei 2024.


5. My Daughter is a Zombie - Film Korea Tayang 30 Juli 2025
Virus zombi tiba-tiba merajalela di mana-mana. Lee Jeung-Hwan (Cho Jung-Seok) adalah seorang ayah tunggal biasa yang membesarkan putrinya Lee Soo-A (Choi Yoo-Ri) sendirian. Sayangnya, Lee Soo-A digigit zombi. Lee Jeung-Hwan membawa putrinya ke kampung halamannya tempat ibunya Kim Bam-Soon (Lee Jung-Eun) tinggal. Ia berjuang untuk melindunginya.



Berdasarkan komik web "Zombiega Dweeeobeorin Naui Ddal" oleh Lee Yoon-Chang (diterbitkan 22 Agustus 2018 - 17 Juni 2020 melalui Naver).



Totto-chan: Sebuah Studi Kasus tentang Dinamika Id, Ego, dan Super Ego dalam Pembentukan Karakter

0
 



Campusnesia.co.idNovel Totto-chan Si Gadis Keci di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi yang terbit pada tahun 1981. Merupakan karya sastra yang menggambarkan perjalanan jiwa seorang anak perempuan bernama Totto-chan dalam menghadapi dunia pendidikan dan lingkungan sosialnya. Novel ini tidak hanya bercerita tentang pengalaman masa kecil, tetapi juga mengandung dimensi psikologis yang mendalam. Dalam kajian psikologi sastra, terutama yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, karya sastra dipandang sebagai cerminan alam bawah sadar manusia, termasuk konflik batin dan perkembangan kepribadian tokoh di dalamnya. Freud membagi aspek kepribadian menjadi tiga komponen utama yaitu id, ego, dan superego, yang berperan dalam membentuk perilaku dan psikologi individu. Essay ini akan membahas bagaimana teori psikologi sastra Freud dapat diterapkan untuk memahami karakter dan perkembangan jiwa Totto-chan dalam novel tersebut. 


Pembahasan
Menurut Sigmund Freud, kepribadian manusia terdiri dari tiga komponen utama yaitu id, ego, dan superego. Id merupakan dorongan naluriah yang beroperasi di alam bawah sadar dan berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar dan hasrat tanpa memperhatikan realitas. Ego berfungsi sebagai penengah antara id dan dunia nyata, beroperasi di tingkat sadar dan bertugas menyesuaikan dorongan id dengan norma sosial. Sedangkan superego adalah bagian kepribadian yang berisi nilai moral dan norma yang dipelajari dari lingkungan sosial, berfungsi mengontrol dan mengarahkan ego agar bertindak sesuai dengan aturan. Dalam konteks sastra, teori ini digunakan untuk menganalisis karakter tokoh dan konflik psikologis yang mereka alami, karena karya sastra sering kali mencerminkan kondisi jiwa dan alam bawah sadar pengarang maupun tokoh dalam cerita.

Dalam novel ini Totto-chan, karakter utama Totto-chan, memperlihatkan perubahan dan perkembangan kepribadian yang unik dan menarik untuk dianalisis dengan menggunakan teori Sigmund Freud. Totto-chan adalah anak yang penuh rasa ingin tahu dan ekspresif. Id Totto-chan tampak jelas dalam keinginannya untuk bebas berekspresi dan bermain sesuai dengan naluri kanak-kanak, seperti, bermain, belajar, dan berinteraksi secara bebas, tanpa dibatasi oleh norma ketat yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Ketika ia dikeluarkan dari sekolah karena perilakunya yang dianggap tidak sesuai, hal ini mencerminkan konflik antara dorongan id-nya dan aturan yang diwakili oleh superego lingkungan sekolah.

Ego Totto-chan berfungsi sebagai penengah antara keinginan alami dan tuntutan realitas. Ego Totto-chan berkembang seiring dengan pengalamannya di sekolah baru yang lebih memahami kebutuhan psikologis anak, yaitu Tomoe Gakuen. Di sekolah ini, guru dan lingkungan mendukung perkembangan ego yang sehat dengan menyeimbangkan antara keinginan id dan tuntutan superego. Metode pembelajaran yang kreatif dan penuh kasih sayang memungkinkan ego Totto-chan untuk menyesuaikan diri dan berkembang tanpa harus menekan dorongan naluriah yang ada dalam dirinya. Hal ini menunjukkan bagaimana ego berfungsi sebagai mediator yang mampu mengggabungkan kebutuhan bawah sadar dan realitas sosial secara baik.

Superego Totto-chan juga mulai terbentuk melalui interaksi dengan guru dan teman-temannya di sekolah baru. Seperti, ketika ia menceritakan banyak hal kepada bapak kepala sekolah Tomoe Gakuen dan bernyanyi bersama teman-temannya sebelun makan. Nilai-nilai moral dan norma yang diajarkan secara tidak langsung membentuk kesadaran moralnya, sehingga ia belajar menghargai aturan yang ada namun dengan cara yang lebih manusiawi dan sesuai dengan perkembangan psikologisnya. Proses ini menunjukkan perkembangan superego yang sehat, yang tidak menindas id secara berlebihan, melainkan mengarahkan perilaku Totto-chan ke arah yang positif.

Ada perubahan signifikan dalam kepribadian Totto-chan setelah ia berada di Sekolah Tomoe. Sebelumnya, Totto-chan dianggap nakal dan berbeda oleh guru-guru di sekolah lamanya karena tingkah lakunya yang penuh rasa ingin tahu dan sulit dikendalikan. Ia merasa dianggap aneh dan kurang mendapatkan perhatian yang memadai, sehingga muncul rasa tidak aman dan kurang percaya diri. Setelah pindah ke Sekolah Tomoe, yang menerapkan metode pendidikan humanistik dan inklusif oleh kepala sekolah Sosaku Kobayashi, Totto-chan mengalami perubahan positif yang cukup baik. Di sekolah ini, ia diterima apa adanya, diberikan kebebasan untuk mencari tahu, dan didukung untuk mengembangkan potensinya tanpa tekanan aturan yang ketat. Hal ini membuat Totto-chan merasa aman, nyaman, dan sangat bersemangat untuk belajar dan beraktivitas di sekolah. Ia menjadi lebih percaya diri, ceria, dan penuh semangat, bahkan setiap pulang sekolah selalu bercerita dengan antusias tentang pengalaman dan kegiatannya.

Novel ini, menggambarkan bagaimana pengalaman masa kecil dan lingkungan sekitar berperan penting dalam perkembangan kepribadian Totto-chan. Sigmund Freud menekankan bahwa pengalaman masa kanak-kanak sangat menentukan pembentukan kepribadian dewasa. Dalam novel ini, pola asuh orang tua yang peduli dan lingkungan sekolah yang mendukung sangat membantu pada perkembangan mental Totto-chan yang sehat dan bahagia. Hal ini sesuai dengan pandangan Sigmund Freud bahwa keseimbangan antara id, ego, dan superego yang didukung oleh lingkungan yang tepat akan menghasilkan kepribadian yang berkembang dan konsisten.

Dalam novel ini juga, Totto-chan menunjukkan kemampuan adaptasi yang baik meskipun menghadapi penolakan dan ketidakpahaman dari lingkungan awalnya. Mekanisme pertahanan seperti sublimasi terlihat ketika Totto-chan menyalurkan energi dan keinginannya melalui kegiatan belajar dan bermain di sekolah baru yang lebih mendukung. Perkembangan psikologis Totto-chan dalam novel ini juga menunjukkan bagaimana lingkungan yang suportif sangat penting bagi pembentukan kepribadian yang sehat. Peran orang tua dan guru yang peduli terhadap kebutuhan mental anak menjadi faktor utama yang membantu Totto-chan mengatasi konflik internal dan menumbuhkan ego yang kuat dan superego yang seimbang seperti yang telah di jelaskan sebelumnya.

Selain itu, novel ini juga dapat dilihat sebagai ekspresi dari alam bawah sadar pengarangnya, Tetsuko Kuroyanagi, yang menanamkan pengalaman dan nilai-nilai hidupnya ke dalam tokoh Totto-chan. Sesuai dengan teori psikologi sastra Sigmund Freud, karya sastra merupakan cerminan jiwa pengarang yang mengolah pengalaman bawah sadar menjadi bentuk narasi yang bermakna. Novel ini bukan hanya cerita anak-anak, tetapi juga ekspresi psikologis yang mendalam tentang kebebasan, kreativitas, dan perkembangan jiwa manusia.


Penutup
Novel Totto-chan Si Gadis Kecil di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi ini, memberikan gambaran yang kaya tentang perkembangan psikologis seorang anak melalui pengalaman pendidikan dan lingkungan sosialnya. Dengan menggunakan teori psikologi sastra Sigmund Freud, kita dapat memahami bagaimana struktur kepribadian id, ego, dan superego berperan dalam membentuk karakter Totto-chan serta bagaimana konflik dan penyesuaian antara ketiganya terjadi dalam cerita hidupnya. Novel ini juga menegaskan pentingnya lingkungan yang mendukung bagi perkembangan jiwa anak agar dapat tumbuh secara sehat dan bahagia. Melalui analisis psikoanalisis, karya ini tidak hanya menjadi bacaan yang dapat menyentuh hati, tetapi juga sumber wawasan psikologis yang mendalam tentang perubahan dan perkembangan kepribadian manusia.


Penulis:
Pitri Pramugita
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas Padang


Referensi:
https://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/download/10463/7386/17780
https://jurnal.umk.ac.id/index.php/kala/article/download/9598/pdf_1
https://ejurnal.ung.ac.id/index.php/jjll/article/download/18368/5877
https://eprints.unm.ac.id/7016/1/Artikel%20Windasari.pdf

Pendidikan yang Humanistik: Analisis Carls Rogers atas Novel Totto-Chan Si Gadis Kecil di Tepi Jendela Karya Kuroyanagi Tetsuko

0
 



Campusnesia.co.id - Sastra memiliki peranan penting dalam menggambarkan realitas kehidupan, nilai-nilai kemanusiaan, serta dinamika psikologis dan sosial masyarakat. Salah satu karya sastra yang memuat nilai-nilai tersebut adalah Totto-chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi. Novel ini bukan hanya sebuah kisah anak-anak biasa, tetapi juga catatan memori penulis tentang masa kecilnya yang mengesankan saat bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah alternatif yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Kobayashi. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1981 di Jepang dan sejak itu menjadi buku yang sangat populer, bahkan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di seluruh dunia.

Konsep inti yang menonjol dalam Totto-chan adalah pendidikan humanis. Pendidikan humanis menekankan pentingnya pengembangan potensi individu secara holistik, meliputi aspek intelektual, emosional, sosial, dan moral. Berbeda dengan sistem pendidikan tradisional yang seringkali kaku dan berorientasi pada nilai akademis semata, pendidikan humanis menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran. Dalam konteks novel, sekolah Tomoe Gakuen yang didirikan oleh Kepala Sekolah Kobayashi adalah representasi ideal dari pendidikan humanis.

Menurut pendekatan teori humanistik dari Abraham Maslow sangat relevan. Maslow, seorang psikolog humanistik, mengembangkan teori hierarki kebutuhan manusia, yang menjelaskan bahwa individu akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan dasar terlebih dahulu sebelum dapat mencapai aktualisasi diri. Penerapan teori Maslow juga tampak dalam cara sekolah ini menangani siswa dengan kebutuhan khusus. Di Tomoe Gakuen, anak-anak dengan disabilitas belajar bersama dengan siswa lainnya tanpa diskriminasi. Hal ini mencerminkan pemenuhan kebutuhan sosial dan harga diri semua siswa, termasuk mereka yang sering kali terpinggirkan dalam sistem pendidikan konvensional. Lingkungan yang inklusif seperti ini memungkinkan semua anak merasa diterima, dihargai, dan percaya diri.

Selain itu, karakter Kepala Sekolah Kobayashi juga dapat dilihat sebagai representasi dari pemimpin pendidikan yang humanistik. Ia tidak hanya mengatur proses belajar-mengajar, tetapi juga membangun relasi emosional yang kuat dengan siswa. Ia mendengarkan mereka dengan empati, memperhatikan kesejahteraan mereka, dan menciptakan suasana yang menyenangkan di sekolah. Ini sesuai dengan pandangan Maslow bahwa lingkungan yang mendukung dan aman sangat penting untuk perkembangan psikologis anak.

Beberapa ciri utama pendidikan humanis yang tergambar dalam Totto-chan meliputi:

• Berpusat pada Anak : Anak-anak diberi kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang ingin mereka pelajari terlebih dahulu, sesuai dengan minat dan kecepatan mereka sendiri. Ini memungkinkan proses belajar yang lebih menyenangkan dan efektif karena didasarkan pada motivasi intrinsik anak. Totto-chan, yang sebelumnya dianggap "nakal" dan "berbeda" di sekolah lamanya, justru berkembang pesat di Tomoe Gakuen karena pendekatannya yang berpusat pada anak.


• Penghargaan terhadap Individualitas : Setiap anak di Tomoe dihargai keunikan dan individualitasnya. Kepala Sekolah Kobayashi tidak mencoba "membetulkan" atau menyeragamkan anak-anak, melainkan memahami dan mengakomodasi kebutuhan serta karakteristik mereka yang beragam. Ini terlihat dari penerimaannya terhadap Totto-chan yang energik dan imajinatif, serta anak-anak lain dengan disabilitas fisik atau tantangan belajar tertentu.

• Pengembangan Keterampilan Sosial dan Emosional : Interaksi antar siswa dan antara siswa dengan guru sangat ditekankan. Kegiatan seperti makan siang bersama di luar ruangan, piknik, dan kunjungan ke Kuil Meiji memperkuat ikatan sosial dan mengajarkan empati. Anak-anak belajar bagaimana berinteraksi dalam kelompok, menyelesaikan konflik, dan memahami perasaan orang lain.

• Pembelajaran Berbasis Pengalaman : Kurikulum di Tomoe tidak hanya terbatas pada buku teks. Anak-anak belajar melalui pengalaman langsung, seperti menanam sayuran di kebun sekolah, membersihkan halaman, atau melakukan perjalanan ke luar kota. Pendekatan ini membuat pembelajaran lebih relevan, konkret, dan bermakna.


Latar Belakang

Totto-chan, tokoh utama dalam novel ini, digambarkan sebagai anak yang aktif, ingin tahu, dan penuh energi. Karena perilakunya dianggap mengganggu oleh sekolah lamanya, ia dikeluarkan dari sekolah dan akhirnya bersekolah di Tomoe Gakuen. Di sana, ia menemukan lingkungan yang sangat berbeda, sekolah dengan gerbong kereta sebagai ruang kelas, guru-guru yang sabar, serta kepala sekolah yang peduli dan memahami dunia anak-anak. Hal inilah yang menjadi inti dari novel ini sebuah kritik lembut terhadap sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada disiplin kaku dan keseragaman, dan sekaligus menjadi sebuah pujian terhadap sistem pendidikan yang memanusiakan anak.


Novel ini menjadi penting untuk dikaji karena menawarkan sudut pandang yang segar mengenai pendidikan. Dalam dunia modern yang masih banyak terjebak pada sistem pendidikan berbasis ujian dan standar, Totto-chan menjadi pengingat bahwa pendidikan seharusnya berfokus pada anak itu sendiri pada kebahagiaannya, rasa ingin tahunya, dan keunikannya. Pesan ini menjadi sangat relevan dalam konteks pendidikan masa kini yang mulai mengarah ke pendekatan pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang menghargai perbedaan dan menyesuaikan proses belajar dengan kebutuhan individu anak.

Latar belakang budaya dan sejarah Jepang juga memperkaya isi novel ini. Berlatar pada masa sebelum dan saat Perang Dunia II, novel ini tidak hanya memperlihatkan kehidupan sehari-hari anak-anak Jepang, tetapi juga menunjukkan bagaimana sistem pendidikan saat itu mulai berubah sebagai respons terhadap ketegangan zaman. Meski tidak secara langsung menyinggung isu-isu politik atau perang, narasi dalam Totto-chan tetap menghadirkan gambaran sosial yang kuat tentang pentingnya menciptakan ruang yang aman dan menyenangkan bagi anak-anak, bahkan di tengah kondisi dunia yang tidak menentu.


Pembahasan

a. Pendidikan Humanistik dalam Perspektif Carl Rogers
Carl Rogers adalah salah satu tokoh utama dalam aliran psikologi humanistik yang menekankan pada potensi individu untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang mendukung. Menurut Rogers, setiap manusia memiliki self-actualizing tendency, yaitu kecenderungan alami untuk mencapai pertumbuhan pribadi dan menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Dalam konteks pendidikan, Rogers menekankan pentingnya lingkungan belajar yang bebas dari ancaman, penuh empati, dan menghargai individualitas siswa.

b. Penerapan Teori Carl Rogers dalam Novel Totto-chan
Dalam novel ini, karakter Kobayashi, Kepala Sekolah Tomoe Gakuen, merupakan figur ideal dari pendidik humanistik versi Carl Rogers. Beliau memperlakukan murid-muridnya dengan penuh cinta, tanpa menghakimi, dan selalu berusaha memahami latar belakang serta kebutuhan masing-masing anak. Hal ini sangat sejalan dengan konsep dari Rogers, di mana pendidik menerima anak apa adanya, bukan berdasarkan perilaku atau prestasi mereka.
Contoh nyata dari penerimaan tanpa syarat terlihat ketika Totto-chan pertama kali bertemu kepala sekolah. Meskipun Totto-chan dianggap “nakal” oleh sekolah lamanya dan banyak bercerita selama wawancara, kepala sekolah dengan sabar mendengarkannya selama berjam-jam tanpa memotong. Tindakan ini mencerminkan empati dan penerimaan yang tulus prinsip dasar dari pendekatan Rogers.

c. Kebebasan Belajar dan Peran Guru sebagai Fasilitator
Salah satu aspek terpenting dari teori Carl Rogers adalah bahwa guru bukanlah pusat pengetahuan, melainkan fasilitator yang menciptakan lingkungan kondusif bagi proses belajar. Dalam Tomoe Gakuen, siswa diperbolehkan memilih urutan pelajaran yang ingin mereka kerjakan setiap hari. Sistem ini mencerminkan prinsip “freedom to learn”, di mana anak-anak diberi otonomi dan tanggung jawab dalam proses belajar mereka sendiri.

d. Aktualisasi Diri Anak dalam Lingkungan yang Mendukung
Rogers percaya bahwa jika seseorang hidup dalam lingkungan yang kondusif yaitu penuh penerimaan, empati, dan kejujuran maka ia akan mampu mencapai aktualisasi diri, yakni menjadi pribadi yang utuh dan berkembang. Novel Totto-chan memperlihatkan bagaimana seorang anak yang dianggap “bermasalah” oleh sekolah konvensional, justru tumbuh dengan baik di lingkungan pendidikan yang mendukung dan menghargai keunikan dirinya.


Kesimpulan

Novel Totto-chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi merupakan karya sastra dengan nilai-nilai pendidikan dan kemanusiaan. Melalui kisah nyata masa kecil Totto-chan di Tomoe Gakuen, pembaca diajak untuk melihat bagaimana pendidikan yang bersifat humanistik dapat membentuk karakter anak menjadi pribadi yang lebih percaya diri, kreatif, dan peduli terhadap sesama. Tokoh Kepala Sekolah Kobayashi menjadi simbol penting dari sosok pendidik ideal, yang memperlakukan anak-anak dengan kasih sayang, empati, dan penghargaan terhadap keunikan masing-masing individu. 

Nilai-nilai seperti kebebasan belajar, inklusivitas, penghargaan terhadap perbedaan, dan pentingnya hubungan emosional yang sehat antara guru dan murid tercermin kuat dalam novel ini. Pendekatan ini sangat selaras dengan pandangan tokoh psikologi humanistik seperti Carl Rogers, yang menekankan bahwa proses belajar yang efektif hanya bisa terjadi dalam lingkungan yang mendukung, aman, dan penuh penerimaan tanpa syarat.

Dengan gaya penulisan yang sederhana namun menyentuh, Totto-chan tidak hanya berhasil menyampaikan kisah yang menghibur, tetapi juga menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya menciptakan sistem pendidikan yang berpihak pada anak. Novel ini relevan tidak hanya di zamannya, tetapi juga hingga kini, sebagai cermin dan kritik terhadap sistem pendidikan yang sering kali terlalu menuntut dan mengabaikan aspek emosional serta psikologis anak.


Penulis:
Muhammad Yazid Habibillah
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas



Referensi:
• Kuroyanagi, T. (2008). Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela (terj. Pakuan N). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

• Rogers, C. R. (1969). Freedom to Learn: A View of What Education Might Become. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.

• Rogers, C. R. (1961). On Becoming a Person: A Therapist's View of Psychotherapy. Boston: Houghton Mifflin.

• Rogers, C. R. (1980). A Way of Being. Boston: Houghton Mifflin.

• Corey, G. (2013). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (9th ed.). Belmont, CA: Brooks/Cole.

Analisis Penokohan pada Karakter Totto-Chan dalam Novel Totto-Chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela Menggunakan Teori Sigmund Freud

0
 



Campusnesia.co.id - Novel Totto-chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela merupakan karya autobiografi yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi, seorang aktris dan presenter terkenal asal Jepang. Novel ini menceritakan pengalaman masa kecil Tetsuko sebagai Totto-chan, seorang gadis kecil yang dianggap “bermasalah” di sekolah umum, namun menemukan tempat yang cocok untuk tumbuh di sekolah alternatif Tomoe Gakuen.

Tema yang diangkat dalam esai ini adalah penokohan Totto-chan sebagai karakter utama dalam novel tersebut. Penulis memilih tema ini karena karakter Totto-chan sangat unik, dinamis, dan penuh dengan ekspresi jiwa anak-anak yang belum banyak dikaji secara mendalam dari sudut pandang psikologi.
Esai ini akan membahas bagaimana karakter Totto-chan dibentuk dan berkembang dalam cerita dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud, khususnya pembagian struktur kepribadian menjadi id, ego, dan superego. Analisis ini bertujuan untuk memahami lebih dalam aspek psikologis dalam diri Totto-chan serta bagaimana lingkungan memengaruhi pertumbuhan kepribadiannya.


Pembahasan

Pada setiap penelitian diperlukan adanya pembatasan masalah. Pembatasan masalah ini dimaksudkan agar penelitian dapat dilakukan dengan lebih fokus dan terarah. Penelitian ini membatasi permasalahan pada struktur kepribadian id, ego dan superego pada tokoh Totto-chan dalam novel Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi dengan menggunakan kajian Psikologi Sastra Sigmund Freud.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:

1) Bagaimanakah masalah pada id karakter Totto-Chan pada novel Totto-Chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela?

2) Bagaimanakah masalah pada ego karakter Totto-Chan pada novel Totto-Chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela?

3) Bagaimanakah masalah pada super ego karakter Totto-Chan pada novel Totto-Chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela?


1. Masalah pada Id Karakter Totto-Chan

Id adalah komponen kepribadian yang primitif dan naluriah. Freud menggambarkan id sebagai "panci penuh gairah yang mendidih" yang penuh dengan energi yang berusaha untuk segera dilepaskan .

Id adalah bagian dari alam bawah sadar yang berisi semua dorongan dan impuls, termasuk apa yang disebut libido, sejenis energi seksual umum yang digunakan untuk segala hal mulai dari naluri bertahan hidup hingga apresiasi seni.

Id adalah bagian impulsif (dan tidak sadar ) dari jiwa kita yang merespons secara langsung dan segera terhadap dorongan, kebutuhan, dan keinginan dasar.

Kepribadian anak yang baru lahir seluruhnya adalah id, dan baru kemudian berkembang ego dan superego.Yang terpenting, id tidak memiliki rasa benar atau salah. Id bersifat amoral – hanya peduli dengan pemenuhan kebutuhan naluriah.

Kebebasan berekspresi Totto-chan sangat dipengaruhi oleh dorongan id yang kuat dalam dirinya. Ia menunjukkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk bertindak bebas tanpa memikirkan aturan. Misalnya, saat ia berkali-kali membuka dan menutup meja tulis hanya karena penasaran, atau ketika ia berbicara tanpa henti di kelas lama tanpa menyadari bahwa tindakannya dianggap mengganggu. Tindakan-tindakan ini muncul sebagai ekspresi spontan dari dirinya yang belum dipengaruhi norma atau pertimbangan sosial, mencerminkan karakter alami anak-anak yang masih digerakkan oleh dorongan id. Berikut kutipannya:

“Tiba-tiba Mama mengerti mengapa Totto-chan sering sekali membuka dan menutup mejanya. Dia ingat bagaimana bersemangatnya Totto-chan waktu pulang sekolah di hari pertama. Katanya “Sekolah asyik sekali! Mejaku di rumah ada lacinya yang bisa ditarik, tapi meja di sekolah ada tutupnya yang bisa dibuka ke atas. Meja itu seperti peti, dan kita bisa menyimpan apa saja didalamnya. Keren sekali!” (GCDJ,2008:13)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Id tokoh selalu menghindari ketidaknyamanan terhadap orang lain. Tottochan mempunyai tingkah laku yang selalu ingin tahu dalam hal dimana dia berada dalam situasi yang membuat mencari perhatian terhadap orang lain. Dapat disimpulkan bahwa Id yang baik selalu menghindar dari ketidaknyamanan seseorang terhadap orang lain. Sehingga, orang lain sangatlah dirugikan dan ada dampaknya Totto-chan dikeluarkan dari sekolah lamanya. Sehingga, Mama akan mencari sekolah baru untuk Totto-chan.


2. Permasalahan pada Ego Karakter Totto-Chan

Ego Freud adalah bagian rasional dari jiwa yang menengahi antara hasrat naluriah id dan batasan moral superego, yang beroperasi terutama pada tingkat kesadaran.

Ego adalah “bagian dari id yang telah dimodifikasi oleh pengaruh langsung dari dunia luar.” (Freud, 1923, hal. 25)

Ego (bahasa Latin untuk "aku") adalah satu-satunya bagian dari kepribadian yang sadar. Itulah yang disadari seseorang ketika mereka berpikir tentang diri mereka sendiri dan apa yang biasanya mereka coba proyeksikan kepada orang lain.

Ego berkembang untuk menjadi penengah antara id yang tidak realistis dan dunia luar yang nyata. Ego merupakan komponen kepribadian yang mengambil keputusan.  Idealnya, ego bekerja berdasarkan akal sehat, sedangkan id bersifat kacau dan tidak masuk akal.
Seiring masuk ke Tomoe Gakuen, kebebasan berekspresi Totto-chan mulai diimbangi oleh ego yang berkembang. Di sekolah ini, ia diberi ruang untuk memilih pelajaran sendiri dan mengekspresikan ide-idenya, tetapi juga mulai belajar memahami batasan dan realitas sosial. Misalnya, ketika ia mulai menyadari pentingnya mendengarkan teman dan menghargai perasaan orang lain. Di sinilah ego bekerja sebagai penengah antara keinginan bebasnya dengan lingkungan sekitarnya, membuat Totto-chan tetap bisa mengekspresikan diri dengan cara yang lebih sesuai dan diterima oleh orang lain. Berikut kutipannya:

“Tapi Totto-chan tidak menangis. Ia khawatir kalau ia menangis, Yasuaki-chan mungkin akan ikut menangis. Akhirnya Totto-chan memegangi tangan kawannya yang jari-jarinya saling melekat akibat sakit polio. Telapak tangan Yasuaki-chan lebih besar dari telapak tangan Totto-chan dan jari-jarinya lebih panjang. Lama gadis cilik itu memegangi tangan kawannya. Kemudian ia berkata, “Berbaringlah. Akan kucoba menarikmu ke sini.” (GCDJ, 2012:83)

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Yasuaki-chan merupakan anak yang memiliki pertumbuhan tubuh yang tidak sempurna. Tubuhnya jauh lebih kecil dari teman-teman sebayanya. Lengan dan tungkai kakinya sangat pendek dan melengkung ke dalam, tapi bahunya kekar. Terlahir sebagai anak yang memiliki pertumbuhan fisik tidak normal membuat Yasuaki-chan memiliki rasa kurang percaya diri.

Usaha Totto-chan pun berhasil dapat menarik tangan Yasuaki-chan dan mereka pun sampai di lekuk cabang pohon. Totto-chan memiliki rasa empati kepada temannya sehingga timul rasa belas kasihan terhadap kondisi tersebut sehingga timbul rasa ingin melindungi. Terlihat pada saat ia dapat membantunya untuk menaiki cabang pohonnya tersebut, ia akan menolongnya karena ada rasa iba yang timbul pada dirinya.


3. Permasalahan pada Super Ego Karakter Totto-Chan
Superego menurut Freud adalah komponen moral jiwa, yang mewakili nilai-nilai dan standar sosial yang terinternalisasi. Ia bertentangan dengan keinginan id, yang mengarahkan perilaku menuju kebenaran moral dan menimbulkan rasa bersalah ketika standar tidak terpenuhi.

Superego (bahasa Latin untuk "di atas-aku" atau "di atas ego") menggabungkan nilai-nilai dan moral masyarakat, yang dipelajari dari orang tua dan orang lain. Ia berkembang sekitar 3 – 5 tahun selama tahap falik perkembangan psikoseksual. Superego berkembang selama masa kanak-kanak awal, usia 3-6 tahun (ketika anakmengidentifikasi diri dengan orang tua sesama jenis) dan bertanggung jawab untukmemastikan standar moral dipatuhi. Melalui proses ini, jiwa anak menyerap (menyerap)aturan-aturan orang tua: “Kamu boleh” dan “Kamu tidak boleh.”

Superego beroperasi berdasarkan prinsip moralitas dan memotivasi kita untuk berperilaku dalam cara yang bertanggung jawab dan dapat diterima secara sosial. Superego dipandang sebagai pemberi penghargaan (perasaan bangga dan puas) dan hukuman (perasaan malu dan bersalah), tergantung pada bagian mana (ego-deal atau kesadaran) yang diaktifkan.

Lingkungan Tomoe Gakuen yang hangat dan penuh pengertian juga menumbuhkan superego dalam diri Totto-chan. Ia mulai memahami nilai-nilai moral dan pentingnya memperhatikan orang lain. Dalam kebebasan berekspresi yang ia nikmati, tumbuh pula kesadaran bahwa tidak semua keinginan harus dituruti jika itu melukai atau mengganggu orang lain. Ia belajar menunjukkan empati, menghargai teman yang berbeda, dan menyadari bahwa kebebasan yang sejati juga mengandung tanggung jawab. Superego ini menjadi pondasi bagi cara Totto-chan mengekspresikan  diri secara lebih matang dan penuh pertimbangan. Berikut kutipannya:

“Sejak saat itu Totto-chan harus mendengarkan lawakan radio secara diam-diam jika Mama dan Papa sedang tidak di rumah.” (GCDJ, 2008:64)

Dari data di atas terdapat Superego yang dimana Totto-chan tidak bisa memahami apa yang dimaksud keinginan Mama. Superego di dorong oleh represi yang selalu menghindar ketidaknyamanan untuk dilarang oleh orang lain termasuk orang tua sendiri.

Dapat disimpulkan bahwa Superego yang baik menyatakan bahwa sikap Totto-chan tidak bisa di percaya oleh Mama untuk mendengarkan radio lagi, dikarenakan Mama takut Totto-chan melakukan hal-hal atau ucapan atas mendengarkan radio tersebut.


1. Kesimpulan

Analisis terhadap karakter Totto-chan dalam novel Totto-chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud menunjukkan bahwa perkembangan kepribadian Totto-chan sangat dipengaruhi oleh tiga struktur utama jiwa: id, ego, dan superego.

1) Id Totto-chan tercermin dalam dorongan naluriah dan spontan yang ditunjukkannya, seperti rasa ingin tahu, kebebasan berekspresi, dan tindakan impulsif yang belum dipengaruhi oleh norma sosial.

2) Ego Totto-chan mulai berkembang seiring dengan pengalamannya di lingkungan sekolah Tomoe Gakuen, di mana ia belajar menyeimbangkan keinginannya dengan realitas sosial, serta mulai memahami pentingnya menghargai perasaan orang lain.

3) Superego Totto-chan tumbuh melalui interaksi dengan lingkungan yang penuh kasih dan pengertian, sehingga ia mulai memahami nilai moral, tanggung jawab, serta belajar membedakan antara benar dan salah berdasarkan standar sosial yang diajarkan oleh orang tua dan lingkungan sekolah.

Secara keseluruhan, karya ini menunjukkan bahwa karakter Totto-chan merupakan gambaran perkembangan psikologis anak yang sehat dan dinamis, serta menjadi contoh bagaimana lingkungan yang suportif dapat membantu membentuk kepribadian anak secara utuh dalam konteks teori Freud.


Penulis: 
Haziq Akma Anggara
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas



Referensi:
https://www.simplypsychology.org/psyche.html

Inas, RR Keisha Putri. "Kepribadian Anak Dalam Novel" Gadis Cilik Dijendela" Karya Tetsuko Kuroyanagi (Kajian Psikologi Sastra Sigmund Freud)."

Nilai-nilai Pendidikan pada Novel Totto-Chan Gadis di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi

0
 



Campusnesia.co.id - Secara umum pendidikan ialah sebuah proses atau usaha seseorang untuk mengembangkan potensi orang lain dengan melakukan pengajaran, pelatihan, dan penelitian. Menurut Purwanto (2016:46) tujuan pendidikan diciptakan untuk dapat dicapai dalam proses belajar mengajar. Hasil belajar merupakan pencapaian tujuan pendidikan pada siswa yang mengikuti proses belajar mengajar. Tujuan pendidikan ialah bersifat ideal, sedang hasil belajar bersifat aktual. Hasil belajar merupakan realisasi tercapainya tujuan pendidikan, sehingga hasil belajar yang diukur sangat tergantung kepada tujuan pendidikannya.

Sistem pendidikan adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk melaksanakan proses belajar mengajar guna mencapai tujuan agar pelajar dapat secara aktif mengembangkan potensi dalam dirinya yang dibutuhkan untuk dirinya sendiri dan masyarakat. Tujuan dari sistem pendidikan adalah untuk meningkatkan potensi dan memperdayakan individu dengan lebih efektif. Dengan tujuan ini, diharapkan individu yang memiliki pendidikan baik dapat memiliki kreativitas, pengetahuan, kepribadian, kemandirian, dan menjadi sosok yang lebih bertanggung jawab. 

Menurut (Darman, 2017), pendidikan sangatlah krusial bagi setiap individu, dan melalui pendidikan, dapat tercipta manusia yang cerdas secara intelektual serta mampu mengembangkan aspek spiritualnya. Pendidikan juga memiliki nilai serta kontribusi yang sangat besar dan berarti dalam meningkatkan kualitas suatu negara. Kualitas sebuah negara tergantung pada tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa. 

Pendidikan yang diterapkan dalam Novel Totto-Chan di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi, membawakan sebuah pendidikan yang aneh dan unik pada zaman tersebut. Dimana para murid dibebaskan berekspresi dan mempelajari hal yang ingin mereka inginkan.


1.  Latar Belakang Pengarang

Tetsuko Kuroyanagi lahir pada 9 Agustus 1933 di Tokyo, Jepang. Ia berasal dari keluarga dengan latar belakang seni, di mana ayahnya adalah seorang pemain biola dan guru besar. Semasa kecil, Tetsuko memiliki nama panggilan Totto-chan dan pernah bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah dasar yang unik dan didirikan oleh pendidik Sosaku Kobayashi selama Perang Dunia II. Ia awalnya bercita-cita menjadi penyanyi opera dan belajar di Tokyo College of Music, namun kemudian beralih ke dunia akting dan televisi, menjadi aktris dan pembawa acara yang sangat terkenal di Jepang.

Novel Totto-Chan Gadis di Jendela Karya Testsuko Kuroyanagi merupakan novel semi autobiografi yang menggambarkan cerita masa kecilnya belajar pada sebuah sekolah unik dengan gerbong kereta bekas sebagai ruang kelasnya. Dalam kesehariannya belajar di Tomoe Gakuen, Totto-Chan mendapatkan berbagai pengalaman luar biasa dalam hidupnya. Novel ini menjadi bestseller di Jepang dan diterjemahkan ke banyak bahasa, menggambarkan nilai-nilai pendidikan dan kenangan masa kecil Tetsuko yang hangat dan penuh makna.



2. Pendidikan Masyarakat 

Pendidikan masyarakat dalam novel Totto-chan karya Tetsuko Kuroyanagi mencerminkan kondisi pendidikan Jepang pada masa Perang Dunia II, di mana sistem pendidikan masih kaku dan menekankan hafalan serta disiplin ketat. Namun, novel ini juga menggambarkan sebuah sekolah unik, Tomoe Gakuen, yang berbeda dari sistem pendidikan konvensional saat itu. Sekolah ini memberikan kebebasan berekspresi kepada anak-anak dan menekankan pengembangan karakter serta kreativitas, yang sangat kontras dengan pendidikan formal yang cenderung menekan inisiatif dan rasa tanggung jawab sosial masyarakat Jepang pada masa itu.

Setelah Perang Dunia II, Jepang mengalami reformasi pendidikan yang signifikan sebagai respons terhadap kegagalan masa lalu dan pendudukan Sekutu. Sistem pendidikan yang baru menekankan pendidikan dasar selama enam tahun dan pendidikan menengah selama tiga tahun yang wajib, dengan tujuan membangun sumber daya manusia yang berpengetahuan luas dan memiliki keterampilan sosial konkret. Filosofi pendidikan bergeser dari hafalan dan disiplin ketat menjadi pembentukan karakter, kerja sama, dan pengembangan kemampuan berpikir kritis. Hal ini mencerminkan perubahan besar dalam pendidikan masyarakat Jepang yang berusaha memulihkan mental dan kualitas hidup bangsa pasca perang, sebagaimana juga tercermin dalam pengalaman pendidikan Totto-chan di sekolah yang progresif tersebut.


3. Analisis Pendidikan Anak dari Carl Rogers dalam Novel Totto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi

Carl Rogers menekankan pentingnya penghargaan terhadap individu, kebebasan untuk belajar, dan lingkungan yang mendukung perkembangan pribadi. Rogers percaya bahwa setiap individu memiliki potensi untuk belajar dan berkembang secara alami. Berikut analisis pendidikan anak dari Carl Rogers dalam novel Totto Chan :


a. Penerimaan Tanpa Syarat (Unconditional Positive Regard)
Carl Rogers menekankan pentingnya penerimaan tanpa syarat terhadap individu, yang membuat anak merasa dihargai apa adanya tanpa takut dihakimi atau dikritik1. Dalam Totto-chan, guru Kobayashi menerapkan prinsip ini dengan menerima Totto-chan apa adanya, meskipun ia berbeda dari anak-anak lain dan sering dianggap nakal oleh sekolah sebelumnya. Contohnya, Kobayashi tidak memarahi Totto-chan, melainkan memahami keunikannya dan membimbingnya secara lembut.

“Kobayashi-sensei selalu menyambutku dengan senyuman dan berkata, ‘Kamu boleh jadi dirimu sendiri di sini.’”

Kalimat ini menggambarkan penerimaan tanpa syarat yang membuat Totto-chan merasa nyaman dan diterima.

b. Penghargaan terhadap Keunikan dan Potensi Anak
Rogers percaya setiap anak memiliki keunikan dan potensi yang berbeda, sehingga pendidikan harus menghargai dan menyesuaikan cara belajar anak sesuai dengan minat dan kebutuhannya12. Di Tomoe Gakuen, Totto-chan diajarkan dengan metode yang tidak kaku, seperti belajar di kereta tua dan bebas bereksplorasi, yang mendukung kreativitas dan rasa ingin tahunya.

“Di sekolah Tomoe, aku bisa belajar sambil bermain, mengeksplorasi alam, dan bertanya apa saja yang aku ingin tahu.”

Ini menunjukkan bagaimana lingkungan belajar yang menghargai keunikan anak mendorong motivasi intrinsik belajar.


c. Motivasi Intrinsik dan Pembelajaran yang Bermakna
Menurut Rogers, motivasi belajar yang paling efektif berasal dari dalam diri anak (motivasi intrinsik), yang muncul ketika anak merasa bebas dan memiliki kontrol dalam proses belajarnya. Di novel, Totto-chan tidak dipaksa untuk belajar dengan cara yang membosankan, melainkan didorong untuk aktif dan menemukan jawaban sendiri, sehingga ia termotivasi secara alami.

“Aku belajar bukan untuk nilai, tapi karena aku ingin tahu dan senang mencoba hal baru.”
Kalimat ini mencerminkan motivasi intrinsik yang ditekankan Rogers.

d. Guru sebagai Fasilitator dan Hubungan Positif
Rogers menegaskan bahwa hubungan guru dan murid yang penuh empati, penghargaan, dan penerimaan tanpa syarat adalah dasar pembelajaran yang efektif15. Kobayashi-sensei berperan sebagai fasilitator yang mendukung Totto-chan, bukan sebagai otoritas yang menekan.

“Sensei selalu mendengarkan ceritaku dan membantuku tanpa memaksakan kehendaknya.”
Ini menggambarkan hubungan positif yang mendorong perkembangan Totto-chan secara menyeluruh.

e. Penekanan pada Proses Belajar, Bukan Hasil Akhir
Teori Rogers menekankan bahwa proses pembelajaran lebih penting daripada hasil akhir atau nilai1. Di Tomoe Gakuen, anak-anak diberi kebebasan untuk melakukan kesalahan dan belajar dari pengalaman, yang membangun rasa percaya diri dan kemandirian.

“Di sini, aku tidak takut salah karena semua kesalahan adalah bagian dari belajar.”
Ini sesuai dengan prinsip Rogers yang menghargai proses belajar sebagai pengalaman bermakna.

Novel Totto-chan sangat menggambarkan prinsip-prinsip teori belajar humanistik Carl Rogers, terutama dalam hal penerimaan tanpa syarat, penghargaan terhadap keunikan anak, motivasi intrinsik, hubungan guru-murid yang positif, serta penekanan pada proses belajar. Pendekatan pendidikan yang humanistik ini membuat Totto-chan berkembang secara optimal, merasa dihargai, dan termotivasi untuk belajar dengan sukarela.


Novel Totto-Chan: Gadis di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi menggambarkan nilai-nilai pendidikan yang humanis dan progresif, yang sejalan dengan teori Carl Rogers mengenai pentingnya penerimaan tanpa syarat, penghargaan terhadap keunikan anak, serta pembelajaran yang berpusat pada motivasi intrinsik dan hubungan positif antara guru dan murid. 

Melalui pengalaman belajar Totto-chan di sekolah Tomoe Gakuen, novel ini menunjukkan bahwa pendidikan yang membebaskan dan mendukung potensi individu dapat membentuk pribadi yang percaya diri, mandiri, dan kreatif. Kisah ini menjadi cerminan bahwa pendidikan yang ideal bukan hanya soal hasil akademik, tetapi juga proses yang menghargai pertumbuhan manusia secara utuh.


Penulis:
Marsanabila Rifa Idanta
Mahasiswa Program Studi Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas




Referensi:

Baringbing, David Bachiel. Teori Belajar Menurut Carl Rogers. https://www.scribd.com/document/278935973/Teori-Belajar-Menurut-Carl-Rogers

Umam, Muchamad Chairul (2019) Implementasi Teori Belajar Humanistik Carl R. Rogers Pada Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Vol. 5 No. 2 (247-264). Institut Agama Islam Negeri Salatiga. file:///C:/Users/Marsanabila%20rifa/Downloads/irja,+Section+editor,+MUCHAMAD+CHAIRUL+UMAM.pdf

Ong, Susy. Reformasi Pendidikan di Jepang Pasca Perang Dunia II. Universitas Indonesia.chrome- extension://efaidnbmnnnibpcajpcglclefindmkaj/https://lmsspada.kemdiktisaintek.go.id/pluginfile.php/79977/mod_resource/content/2/Reformasi%20Pendidikan%20di%20Jepang%20Pasca%20PD.pdf

(2010) Biografi Tetsuko Kuroyanagi (Totto Chan). Ahmadijind.blogspot. https://ahmadihind.blogspot.com/2010/06/biografi-tetsuko-kuroyanagi-totto-chan.html

Biografi Tetsuko. Scribd. https://www.scribd.com/document/359505961/Biografi-Tetsuko

Santosa, Sedya. Hidayat, wahyu (2024). Memahami Konsep Belajar Anak Usia Dasar : Studi Analisis Teori Belajar Carl Rogers Serta Penerapannya di Sekolah Dasar. Magister Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia. file:///C:/Users/Marsanabila%20rifa/Downloads/Article+2_WahyuHidayat_June_2024.pdf