Pendidikan yang Humanistik: Analisis Carls Rogers atas Novel Totto-Chan Si Gadis Kecil di Tepi Jendela Karya Kuroyanagi Tetsuko

 



Campusnesia.co.id - Sastra memiliki peranan penting dalam menggambarkan realitas kehidupan, nilai-nilai kemanusiaan, serta dinamika psikologis dan sosial masyarakat. Salah satu karya sastra yang memuat nilai-nilai tersebut adalah Totto-chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi. Novel ini bukan hanya sebuah kisah anak-anak biasa, tetapi juga catatan memori penulis tentang masa kecilnya yang mengesankan saat bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah alternatif yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Kobayashi. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1981 di Jepang dan sejak itu menjadi buku yang sangat populer, bahkan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di seluruh dunia.

Konsep inti yang menonjol dalam Totto-chan adalah pendidikan humanis. Pendidikan humanis menekankan pentingnya pengembangan potensi individu secara holistik, meliputi aspek intelektual, emosional, sosial, dan moral. Berbeda dengan sistem pendidikan tradisional yang seringkali kaku dan berorientasi pada nilai akademis semata, pendidikan humanis menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran. Dalam konteks novel, sekolah Tomoe Gakuen yang didirikan oleh Kepala Sekolah Kobayashi adalah representasi ideal dari pendidikan humanis.

Menurut pendekatan teori humanistik dari Abraham Maslow sangat relevan. Maslow, seorang psikolog humanistik, mengembangkan teori hierarki kebutuhan manusia, yang menjelaskan bahwa individu akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan dasar terlebih dahulu sebelum dapat mencapai aktualisasi diri. Penerapan teori Maslow juga tampak dalam cara sekolah ini menangani siswa dengan kebutuhan khusus. Di Tomoe Gakuen, anak-anak dengan disabilitas belajar bersama dengan siswa lainnya tanpa diskriminasi. Hal ini mencerminkan pemenuhan kebutuhan sosial dan harga diri semua siswa, termasuk mereka yang sering kali terpinggirkan dalam sistem pendidikan konvensional. Lingkungan yang inklusif seperti ini memungkinkan semua anak merasa diterima, dihargai, dan percaya diri.

Selain itu, karakter Kepala Sekolah Kobayashi juga dapat dilihat sebagai representasi dari pemimpin pendidikan yang humanistik. Ia tidak hanya mengatur proses belajar-mengajar, tetapi juga membangun relasi emosional yang kuat dengan siswa. Ia mendengarkan mereka dengan empati, memperhatikan kesejahteraan mereka, dan menciptakan suasana yang menyenangkan di sekolah. Ini sesuai dengan pandangan Maslow bahwa lingkungan yang mendukung dan aman sangat penting untuk perkembangan psikologis anak.

Beberapa ciri utama pendidikan humanis yang tergambar dalam Totto-chan meliputi:

• Berpusat pada Anak : Anak-anak diberi kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang ingin mereka pelajari terlebih dahulu, sesuai dengan minat dan kecepatan mereka sendiri. Ini memungkinkan proses belajar yang lebih menyenangkan dan efektif karena didasarkan pada motivasi intrinsik anak. Totto-chan, yang sebelumnya dianggap "nakal" dan "berbeda" di sekolah lamanya, justru berkembang pesat di Tomoe Gakuen karena pendekatannya yang berpusat pada anak.


• Penghargaan terhadap Individualitas : Setiap anak di Tomoe dihargai keunikan dan individualitasnya. Kepala Sekolah Kobayashi tidak mencoba "membetulkan" atau menyeragamkan anak-anak, melainkan memahami dan mengakomodasi kebutuhan serta karakteristik mereka yang beragam. Ini terlihat dari penerimaannya terhadap Totto-chan yang energik dan imajinatif, serta anak-anak lain dengan disabilitas fisik atau tantangan belajar tertentu.

• Pengembangan Keterampilan Sosial dan Emosional : Interaksi antar siswa dan antara siswa dengan guru sangat ditekankan. Kegiatan seperti makan siang bersama di luar ruangan, piknik, dan kunjungan ke Kuil Meiji memperkuat ikatan sosial dan mengajarkan empati. Anak-anak belajar bagaimana berinteraksi dalam kelompok, menyelesaikan konflik, dan memahami perasaan orang lain.

• Pembelajaran Berbasis Pengalaman : Kurikulum di Tomoe tidak hanya terbatas pada buku teks. Anak-anak belajar melalui pengalaman langsung, seperti menanam sayuran di kebun sekolah, membersihkan halaman, atau melakukan perjalanan ke luar kota. Pendekatan ini membuat pembelajaran lebih relevan, konkret, dan bermakna.


Latar Belakang

Totto-chan, tokoh utama dalam novel ini, digambarkan sebagai anak yang aktif, ingin tahu, dan penuh energi. Karena perilakunya dianggap mengganggu oleh sekolah lamanya, ia dikeluarkan dari sekolah dan akhirnya bersekolah di Tomoe Gakuen. Di sana, ia menemukan lingkungan yang sangat berbeda, sekolah dengan gerbong kereta sebagai ruang kelas, guru-guru yang sabar, serta kepala sekolah yang peduli dan memahami dunia anak-anak. Hal inilah yang menjadi inti dari novel ini sebuah kritik lembut terhadap sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada disiplin kaku dan keseragaman, dan sekaligus menjadi sebuah pujian terhadap sistem pendidikan yang memanusiakan anak.


Novel ini menjadi penting untuk dikaji karena menawarkan sudut pandang yang segar mengenai pendidikan. Dalam dunia modern yang masih banyak terjebak pada sistem pendidikan berbasis ujian dan standar, Totto-chan menjadi pengingat bahwa pendidikan seharusnya berfokus pada anak itu sendiri pada kebahagiaannya, rasa ingin tahunya, dan keunikannya. Pesan ini menjadi sangat relevan dalam konteks pendidikan masa kini yang mulai mengarah ke pendekatan pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang menghargai perbedaan dan menyesuaikan proses belajar dengan kebutuhan individu anak.

Latar belakang budaya dan sejarah Jepang juga memperkaya isi novel ini. Berlatar pada masa sebelum dan saat Perang Dunia II, novel ini tidak hanya memperlihatkan kehidupan sehari-hari anak-anak Jepang, tetapi juga menunjukkan bagaimana sistem pendidikan saat itu mulai berubah sebagai respons terhadap ketegangan zaman. Meski tidak secara langsung menyinggung isu-isu politik atau perang, narasi dalam Totto-chan tetap menghadirkan gambaran sosial yang kuat tentang pentingnya menciptakan ruang yang aman dan menyenangkan bagi anak-anak, bahkan di tengah kondisi dunia yang tidak menentu.


Pembahasan

a. Pendidikan Humanistik dalam Perspektif Carl Rogers
Carl Rogers adalah salah satu tokoh utama dalam aliran psikologi humanistik yang menekankan pada potensi individu untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang mendukung. Menurut Rogers, setiap manusia memiliki self-actualizing tendency, yaitu kecenderungan alami untuk mencapai pertumbuhan pribadi dan menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Dalam konteks pendidikan, Rogers menekankan pentingnya lingkungan belajar yang bebas dari ancaman, penuh empati, dan menghargai individualitas siswa.

b. Penerapan Teori Carl Rogers dalam Novel Totto-chan
Dalam novel ini, karakter Kobayashi, Kepala Sekolah Tomoe Gakuen, merupakan figur ideal dari pendidik humanistik versi Carl Rogers. Beliau memperlakukan murid-muridnya dengan penuh cinta, tanpa menghakimi, dan selalu berusaha memahami latar belakang serta kebutuhan masing-masing anak. Hal ini sangat sejalan dengan konsep dari Rogers, di mana pendidik menerima anak apa adanya, bukan berdasarkan perilaku atau prestasi mereka.
Contoh nyata dari penerimaan tanpa syarat terlihat ketika Totto-chan pertama kali bertemu kepala sekolah. Meskipun Totto-chan dianggap “nakal” oleh sekolah lamanya dan banyak bercerita selama wawancara, kepala sekolah dengan sabar mendengarkannya selama berjam-jam tanpa memotong. Tindakan ini mencerminkan empati dan penerimaan yang tulus prinsip dasar dari pendekatan Rogers.

c. Kebebasan Belajar dan Peran Guru sebagai Fasilitator
Salah satu aspek terpenting dari teori Carl Rogers adalah bahwa guru bukanlah pusat pengetahuan, melainkan fasilitator yang menciptakan lingkungan kondusif bagi proses belajar. Dalam Tomoe Gakuen, siswa diperbolehkan memilih urutan pelajaran yang ingin mereka kerjakan setiap hari. Sistem ini mencerminkan prinsip “freedom to learn”, di mana anak-anak diberi otonomi dan tanggung jawab dalam proses belajar mereka sendiri.

d. Aktualisasi Diri Anak dalam Lingkungan yang Mendukung
Rogers percaya bahwa jika seseorang hidup dalam lingkungan yang kondusif yaitu penuh penerimaan, empati, dan kejujuran maka ia akan mampu mencapai aktualisasi diri, yakni menjadi pribadi yang utuh dan berkembang. Novel Totto-chan memperlihatkan bagaimana seorang anak yang dianggap “bermasalah” oleh sekolah konvensional, justru tumbuh dengan baik di lingkungan pendidikan yang mendukung dan menghargai keunikan dirinya.


Kesimpulan

Novel Totto-chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi merupakan karya sastra dengan nilai-nilai pendidikan dan kemanusiaan. Melalui kisah nyata masa kecil Totto-chan di Tomoe Gakuen, pembaca diajak untuk melihat bagaimana pendidikan yang bersifat humanistik dapat membentuk karakter anak menjadi pribadi yang lebih percaya diri, kreatif, dan peduli terhadap sesama. Tokoh Kepala Sekolah Kobayashi menjadi simbol penting dari sosok pendidik ideal, yang memperlakukan anak-anak dengan kasih sayang, empati, dan penghargaan terhadap keunikan masing-masing individu. 

Nilai-nilai seperti kebebasan belajar, inklusivitas, penghargaan terhadap perbedaan, dan pentingnya hubungan emosional yang sehat antara guru dan murid tercermin kuat dalam novel ini. Pendekatan ini sangat selaras dengan pandangan tokoh psikologi humanistik seperti Carl Rogers, yang menekankan bahwa proses belajar yang efektif hanya bisa terjadi dalam lingkungan yang mendukung, aman, dan penuh penerimaan tanpa syarat.

Dengan gaya penulisan yang sederhana namun menyentuh, Totto-chan tidak hanya berhasil menyampaikan kisah yang menghibur, tetapi juga menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya menciptakan sistem pendidikan yang berpihak pada anak. Novel ini relevan tidak hanya di zamannya, tetapi juga hingga kini, sebagai cermin dan kritik terhadap sistem pendidikan yang sering kali terlalu menuntut dan mengabaikan aspek emosional serta psikologis anak.


Penulis:
Muhammad Yazid Habibillah
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas



Referensi:
• Kuroyanagi, T. (2008). Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela (terj. Pakuan N). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

• Rogers, C. R. (1969). Freedom to Learn: A View of What Education Might Become. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.

• Rogers, C. R. (1961). On Becoming a Person: A Therapist's View of Psychotherapy. Boston: Houghton Mifflin.

• Rogers, C. R. (1980). A Way of Being. Boston: Houghton Mifflin.

• Corey, G. (2013). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (9th ed.). Belmont, CA: Brooks/Cole.

Artikel Terkait

Silahkan komen guys..
EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)