Campusnesia.co.id - Novel Totto-chan Si Gadis Keci di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi yang terbit pada tahun 1981. Merupakan karya sastra yang menggambarkan perjalanan jiwa seorang anak perempuan bernama Totto-chan dalam menghadapi dunia pendidikan dan lingkungan sosialnya. Novel ini tidak hanya bercerita tentang pengalaman masa kecil, tetapi juga mengandung dimensi psikologis yang mendalam. Dalam kajian psikologi sastra, terutama yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, karya sastra dipandang sebagai cerminan alam bawah sadar manusia, termasuk konflik batin dan perkembangan kepribadian tokoh di dalamnya. Freud membagi aspek kepribadian menjadi tiga komponen utama yaitu id, ego, dan superego, yang berperan dalam membentuk perilaku dan psikologi individu. Essay ini akan membahas bagaimana teori psikologi sastra Freud dapat diterapkan untuk memahami karakter dan perkembangan jiwa Totto-chan dalam novel tersebut.
Pembahasan
Menurut Sigmund Freud, kepribadian manusia terdiri dari tiga komponen utama yaitu id, ego, dan superego. Id merupakan dorongan naluriah yang beroperasi di alam bawah sadar dan berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar dan hasrat tanpa memperhatikan realitas. Ego berfungsi sebagai penengah antara id dan dunia nyata, beroperasi di tingkat sadar dan bertugas menyesuaikan dorongan id dengan norma sosial. Sedangkan superego adalah bagian kepribadian yang berisi nilai moral dan norma yang dipelajari dari lingkungan sosial, berfungsi mengontrol dan mengarahkan ego agar bertindak sesuai dengan aturan. Dalam konteks sastra, teori ini digunakan untuk menganalisis karakter tokoh dan konflik psikologis yang mereka alami, karena karya sastra sering kali mencerminkan kondisi jiwa dan alam bawah sadar pengarang maupun tokoh dalam cerita.
Dalam novel ini Totto-chan, karakter utama Totto-chan, memperlihatkan perubahan dan perkembangan kepribadian yang unik dan menarik untuk dianalisis dengan menggunakan teori Sigmund Freud. Totto-chan adalah anak yang penuh rasa ingin tahu dan ekspresif. Id Totto-chan tampak jelas dalam keinginannya untuk bebas berekspresi dan bermain sesuai dengan naluri kanak-kanak, seperti, bermain, belajar, dan berinteraksi secara bebas, tanpa dibatasi oleh norma ketat yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Ketika ia dikeluarkan dari sekolah karena perilakunya yang dianggap tidak sesuai, hal ini mencerminkan konflik antara dorongan id-nya dan aturan yang diwakili oleh superego lingkungan sekolah.
Ego Totto-chan berfungsi sebagai penengah antara keinginan alami dan tuntutan realitas. Ego Totto-chan berkembang seiring dengan pengalamannya di sekolah baru yang lebih memahami kebutuhan psikologis anak, yaitu Tomoe Gakuen. Di sekolah ini, guru dan lingkungan mendukung perkembangan ego yang sehat dengan menyeimbangkan antara keinginan id dan tuntutan superego. Metode pembelajaran yang kreatif dan penuh kasih sayang memungkinkan ego Totto-chan untuk menyesuaikan diri dan berkembang tanpa harus menekan dorongan naluriah yang ada dalam dirinya. Hal ini menunjukkan bagaimana ego berfungsi sebagai mediator yang mampu mengggabungkan kebutuhan bawah sadar dan realitas sosial secara baik.
Superego Totto-chan juga mulai terbentuk melalui interaksi dengan guru dan teman-temannya di sekolah baru. Seperti, ketika ia menceritakan banyak hal kepada bapak kepala sekolah Tomoe Gakuen dan bernyanyi bersama teman-temannya sebelun makan. Nilai-nilai moral dan norma yang diajarkan secara tidak langsung membentuk kesadaran moralnya, sehingga ia belajar menghargai aturan yang ada namun dengan cara yang lebih manusiawi dan sesuai dengan perkembangan psikologisnya. Proses ini menunjukkan perkembangan superego yang sehat, yang tidak menindas id secara berlebihan, melainkan mengarahkan perilaku Totto-chan ke arah yang positif.
Ada perubahan signifikan dalam kepribadian Totto-chan setelah ia berada di Sekolah Tomoe. Sebelumnya, Totto-chan dianggap nakal dan berbeda oleh guru-guru di sekolah lamanya karena tingkah lakunya yang penuh rasa ingin tahu dan sulit dikendalikan. Ia merasa dianggap aneh dan kurang mendapatkan perhatian yang memadai, sehingga muncul rasa tidak aman dan kurang percaya diri. Setelah pindah ke Sekolah Tomoe, yang menerapkan metode pendidikan humanistik dan inklusif oleh kepala sekolah Sosaku Kobayashi, Totto-chan mengalami perubahan positif yang cukup baik. Di sekolah ini, ia diterima apa adanya, diberikan kebebasan untuk mencari tahu, dan didukung untuk mengembangkan potensinya tanpa tekanan aturan yang ketat. Hal ini membuat Totto-chan merasa aman, nyaman, dan sangat bersemangat untuk belajar dan beraktivitas di sekolah. Ia menjadi lebih percaya diri, ceria, dan penuh semangat, bahkan setiap pulang sekolah selalu bercerita dengan antusias tentang pengalaman dan kegiatannya.
Novel ini, menggambarkan bagaimana pengalaman masa kecil dan lingkungan sekitar berperan penting dalam perkembangan kepribadian Totto-chan. Sigmund Freud menekankan bahwa pengalaman masa kanak-kanak sangat menentukan pembentukan kepribadian dewasa. Dalam novel ini, pola asuh orang tua yang peduli dan lingkungan sekolah yang mendukung sangat membantu pada perkembangan mental Totto-chan yang sehat dan bahagia. Hal ini sesuai dengan pandangan Sigmund Freud bahwa keseimbangan antara id, ego, dan superego yang didukung oleh lingkungan yang tepat akan menghasilkan kepribadian yang berkembang dan konsisten.
Dalam novel ini juga, Totto-chan menunjukkan kemampuan adaptasi yang baik meskipun menghadapi penolakan dan ketidakpahaman dari lingkungan awalnya. Mekanisme pertahanan seperti sublimasi terlihat ketika Totto-chan menyalurkan energi dan keinginannya melalui kegiatan belajar dan bermain di sekolah baru yang lebih mendukung. Perkembangan psikologis Totto-chan dalam novel ini juga menunjukkan bagaimana lingkungan yang suportif sangat penting bagi pembentukan kepribadian yang sehat. Peran orang tua dan guru yang peduli terhadap kebutuhan mental anak menjadi faktor utama yang membantu Totto-chan mengatasi konflik internal dan menumbuhkan ego yang kuat dan superego yang seimbang seperti yang telah di jelaskan sebelumnya.
Selain itu, novel ini juga dapat dilihat sebagai ekspresi dari alam bawah sadar pengarangnya, Tetsuko Kuroyanagi, yang menanamkan pengalaman dan nilai-nilai hidupnya ke dalam tokoh Totto-chan. Sesuai dengan teori psikologi sastra Sigmund Freud, karya sastra merupakan cerminan jiwa pengarang yang mengolah pengalaman bawah sadar menjadi bentuk narasi yang bermakna. Novel ini bukan hanya cerita anak-anak, tetapi juga ekspresi psikologis yang mendalam tentang kebebasan, kreativitas, dan perkembangan jiwa manusia.
Penutup
Novel Totto-chan Si Gadis Kecil di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi ini, memberikan gambaran yang kaya tentang perkembangan psikologis seorang anak melalui pengalaman pendidikan dan lingkungan sosialnya. Dengan menggunakan teori psikologi sastra Sigmund Freud, kita dapat memahami bagaimana struktur kepribadian id, ego, dan superego berperan dalam membentuk karakter Totto-chan serta bagaimana konflik dan penyesuaian antara ketiganya terjadi dalam cerita hidupnya. Novel ini juga menegaskan pentingnya lingkungan yang mendukung bagi perkembangan jiwa anak agar dapat tumbuh secara sehat dan bahagia. Melalui analisis psikoanalisis, karya ini tidak hanya menjadi bacaan yang dapat menyentuh hati, tetapi juga sumber wawasan psikologis yang mendalam tentang perubahan dan perkembangan kepribadian manusia.
Penulis:
Pitri Pramugita
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas Padang
Referensi:
https://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/download/10463/7386/17780
https://jurnal.umk.ac.id/index.php/kala/article/download/9598/pdf_1
https://ejurnal.ung.ac.id/index.php/jjll/article/download/18368/5877
https://eprints.unm.ac.id/7016/1/Artikel%20Windasari.pdf