Perjalanan Psikologis Tokoh Utama dalam Novel Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela Karya Tetsuko Kuroyagi (Kajian Psikoanalisis Jacques Lacan)

 



Campusnesia.co.id - Karya sastra merupakan salah satu bentuk ekspresi yang merefleksikan kehidupan manusia, baik yang bersifat nyata maupun hasil imajinasi pengarang. Melalui karya sastra, penulis tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi juga mengangkat nilai-nilai kehidupan seperti moral, sosial, budaya, dan agama yang dapat menjadi pembelajaran bagi pembacanya (Djojosuroto dalam Romadhon, 2015:2; Tuloli dalam Dakia, 2014:49). Sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembaca, karya sastra memiliki potensi untuk menggambarkan dinamika psikologis yang kompleks dari para tokohnya.

Salah satu bentuk karya sastra yang konsisten memiliki daya tarik lintas zaman adalah novel. Novel kerap dianggap sebagai cerminan kehidupan manusia pada kurun waktu tertentu, karena menggambarkan perilaku, latar sosial, dan kejiwaan tokohnya dengan cukup mendalam (Reeve dalam Nofrita & Hendri, 2017:80). Salah satu novel yang menarik untuk dianalisis secara psikologis adalah Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi (2008). Novel ini menceritakan pengalaman seorang anak perempuan yang dianggap “berbeda” oleh lingkungan sekolah konvensional, namun kemudian berkembang secara positif dalam sistem pendidikan alternatif  Tomoe Gakuen. Tokoh Totto-Chan memberikan gambaran yang unik mengenai perkembangan psikologis anak dan bagaimana sistem pendidikan serta interaksi sosial dapat memengaruhinya.

Untuk memahami dinamika psikologis dalam novel ini, digunakan pendekatan psikoanalisis Lacan. Jacques Lacan mengembangkan teori psikoanalisis yang mengaitkan struktur ketidaksadaran manusia dengan bahasa, simbol, dan struktur sosial. Lacan membagi perkembangan manusia ke dalam tiga ranah: Real, yaitu kondisi sebelum manusia mengenal bahasa dan pemisahan dari objek yang diinginkan; Imaginary, saat individu mulai membentuk citra diri melalui fase cermin (mirror stage); dan Symbolic, ranah bahasa, norma, serta hukum yang membentuk subjek dalam masyarakat (Lacan dalam Sarup, 1993).

Selain itu, Lacan juga mengemukakan bahwa perkembangan jiwa manusia melalui tiga bentuk relasi dengan objek: kebutuhan (need) sebagai kebutuhan biologis dasar, permintaan (demand) yang muncul ketika kebutuhan disampaikan kepada orang lain dalam bentuk simbolik (misalnya bahasa), dan hasrat (desire) yang lahir dari kekurangan yang tidak pernah sepenuhnya terpenuhi, sehingga manusia terus mencari kepenuhan melalui simbol atau relasi sosial (Evans, 1996).

Tokoh Totto-Chan menunjukkan dinamika ketidaksadaran, citra diri, serta hasrat yang terbentuk melalui relasinya dengan lingkungan, terutama sekolah dan orang-orang di sekitarnya. Dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis Lacan, esai ini bertujuan untuk menganalisis struktur kejiwaan Totto-Chan dan memahami bagaimana pengalaman masa kecil serta interaksi sosial membentuk identitas dan hasrat tokoh tersebut. Analisis ini diharapkan dapat memberikan sudut pandang baru terhadap persoalan psikologis anak dalam karya sastra.


Gambaran Pengarang Novel, Masyarakat Jepang, dan Tokoh Cerita

1 Tetsuko Kuroyanagi Selaku Pengarang
Tetsuko Kuroyanagi merupakan sosok penting dalam dunia sastra dan hiburan Jepang. Lahir pada 9 Agustus 1933 di Tokyo, ia dikenal sebagai aktris, pembawa acara televisi, serta penulis buku anak-anak yang menginspirasi. Salah satu karya terkenalnya adalah Totto-Chan: The Little Girl at the Window (1981), sebuah buku autobiografi masa kecilnya yang berfokus pada pengalaman belajar di sekolah progresif Tomoe Gakuen. Buku ini menampilkan pendekatan pendidikan yang menghargai kebebasan dan keunikan anak, dan telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa.

Kesuksesan karya ini tidak hanya menjadikan Kuroyanagi sebagai penulis ternama, tetapi juga memperkuat citranya sebagai aktivis pendidikan dan kemanusiaan. Pada tahun 1984, ia diangkat sebagai Duta Besar UNICEF, menjadi orang Asia pertama yang menyandang posisi tersebut. Dalam perannya itu, ia telah berkeliling dunia untuk mendukung kesejahteraan anak-anak dan mempromosikan pentingnya pendidikan yang inklusif.

Melalui latar belakangnya sebagai seniman dan pendidik, karya Kuroyanagi tidak hanya menyampaikan nilai-nilai pendidikan, tetapi juga memperlihatkan kepekaan terhadap perkembangan psikologis anak, yang menjadi fokus utama dalam analisis psikoanalisis terhadap tokoh Totto-Chan.


2. Masyarakat Jepang
Novel ini berlatar pada masa sebelum dan selama Perang Dunia II, saat Jepang berada di tengah arus nasionalisme, tekanan sosial, dan kontrol pemerintah yang ketat. Masyarakat Jepang pada masa itu sangat menghormati aturan, tata krama, dan kekompakan dalam suatu kelompok. Anak-anak diharapkan untuk patuh, tertib, dan mengikuti norma yang berlaku di sekolah maupun di Masyarakat. Sistem pendidikan juga cenderung kaku, menuntut anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan standar yang sudah ditetapkan. Namun, di balik itu semua, ada juga sisi humanis dan upaya untuk membangun solidaritas melalui organisasi seperti tonarigumi (kelompok tetangga) dan chōnaikai (dewan komunitas), yang menjadi sarana pemerintah untuk menggalang dukungan perang pada kala itu.


3. Tokoh Totto-Chan dalam Novel
Totto-Chan adalah tokoh utama dalam novel Totto-Chan: The Little Girl at the Window karya Tetsuko Kuroyanagi. Tokoh ini diangkat dari kisah nyata masa kecil Kuroyanagi sendiri. Totto-Chan digambarkan sebagai anak perempuan yang penuh rasa ingin tahu, ceria, dan memiliki perilaku yang tidak sesuai dengan standar sekolah konvensional. Karena sifatnya yang dianggap "nakal" dan terlalu aktif, ia dikeluarkan dari sekolah pertamanya. Namun, kehidupan Totto-Chan berubah setelah ia bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah dengan sistem pendidikan alternatif yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Sosaku Kobayashi. Di Tomoe, Totto-Chan diberikan ruang untuk menjadi dirinya sendiri, didengarkan, dan dibimbing dengan pendekatan yang penuh kasih sayang dan pemahaman terhadap dunia anak.

Tokoh Totto-Chan mewakili semangat kebebasan dan individualitas dalam pendidikan. Perjalanan kepribadiannya yang berkembang di bawah sistem pendidikan yang inklusif menjadikan Totto-Chan simbol dari pentingnya memahami kebutuhan psikologis anak. Melalui narasi yang sederhana namun menyentuh, Kuroyanagi menampilkan bagaimana pendidikan yang manusiawi dapat membentuk karakter anak secara positif. Tokoh Totto-Chan juga menarik untuk dianalisis melalui pendekatan psikoanalisis, khususnya teori Lacan, karena pengalaman masa kecilnya memperlihatkan perkembangan identitas dan hasrat dalam konteks lingkungan sosial yang unik.


3. Analisis

Aspek Real Tokoh Utama dalam Novel Totto-Chan Gadis Cilik di Jendela Karya Tetsuko Kuryanagi

Dalam teori psikoanalisis Jacques Lacan, aspek real mengacu pada kondisi eksistensial yang belum tersentuh oleh bahasa atau simbol, sehingga tidak dapat sepenuhnya direpresentasikan secara linguistik. Pada tahap ini, individu belum mengalami kekurangan, kehilangan, atau ketidakhadiran. Fase real menggambarkan keadaan utuh dan lengkap, di mana seluruh kebutuhan terasa terpenuhi secara alami. Dalam konteks ini, tokoh utama dalam novel Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi menunjukkan fase real ketika dirinya masih merasa seluruh keinginannya tercapai tanpa adanya rasa kurang atau kehampaan. Representasi fase ini dapat ditemukan melalui kutipan-kutipan tertentu dalam novel yang menggambarkan pengalaman awal kehidupan tokoh sebelum masuk ke dalam dunia simbolik.

Sejak sebelum sekolah, Totto-Chan suka mendengarkan pelawak-pelawak rakugo- pendongeng kisah-kisah lucu tradisional jepang-sambil menekankan telinganya pada kain sutra merah jambu radio. Menurutnya, lawakan mereka sangat lucu. Mama tidak pernah keberatan ia mendengarkan lawakan di radio sampai kemarin.

Kutipan diatas menggambarkan kebiasaan Totto-Chan mendengarkan pelawak rakugo melalui radio menunjukkan bagaimana ia menikmati pengalaman tersebut secara utuh dan spontan. Ia melibatkan diri sepenuhnya dalam aktivitas itu, bahkan sampai menempelkan telinga pada kain radio untuk mendengarnya dengan lebih jelas. Dalam konteks psikoanalisis Lacan, hal ini mencerminkan aspek real, yaitu tahap awal dalam perkembangan psikis seseorang, di mana individu belum mengenal konsep kekurangan atau ketidakhadiran (lack). Pada tahap ini, dunia anak masih dipersepsikan sebagai sesuatu yang utuh, penuh, dan memuaskan.

Totto-Chan, yang masih dalam usia kanak-kanak, hidup dalam realitas yang belum tersusun secara simbolik oleh bahasa atau norma sosial yang membatasi. Ia bebas menikmati hal-hal yang disukainya tanpa mempertanyakan makna atau alasan rasional di baliknya. Rasa ingin tahunya yang besar serta kebebasan dalam mengekspresikan diri yang juga didukung penuh oleh ibunya menunjukkan bahwa ia belum masuk ke ranah simbolik atau imajiner sepenuhnya. Ia masih berada dalam aspek real, di mana tidak ada batasan antara keinginan dan pemenuhannya, dan ia merasa segala kebutuhannya bisa dipenuhi secara langsung oleh lingkungannya.


Aspek Imajiner Tokoh Utama dalam Novel Totto-Chan Gadis Cilik di Jendela Karya Tetsuko Kuryanagi

Aspek Imajiner menurut Lacan adalah tahap ketika manusia mulai membentuk identitas diri melalui pengenalan dan interaksi dengan orang lain, terutama dalam fase cermin. Pada Totto-Chan, aspek Imajiner muncul ketika ia berhadapan dengan lingkungan sekolah yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Ia dianggap sebagai anak nakal oleh guru di sekolah sebelumnya, sehingga merasa tidak diterima dan merasa cemas akan penilaian orang lain, termasuk ibunya. Kesenjangan antara harapan Totto-Chan terhadap lingkungan sekolah dan kenyataan yang ia hadapi menimbulkan perasaan tidak nyaman, tidak aman dan kecemasan. Pada tahap ini Totto-Chan membentuk citra diri berdasarkan penilaian orang lain, yang memengaruhi identitas dan hasratnya.

Mama tidak bilang kepada Totto-Chan bahwa dia dikeluarkan dari sekolah. dia tahu, Totto- Chan takan mengerti mengapa dia di anggap telah berbuat salah dan mama tidak ingin putrinya menderita tekanan batin, jadi diputuskannya untuk tidak memberi tahu Totto-Chan sampai dia dewasa kelak. Mama hanya berkata, “bagaimana kalau kau pindah ke sekolah baru? Mama dengar ada sekolah yang sangat bagus.”

Dalam  kutipan diatas Mama berperan sebagai penentu narasi realitas bagi Totto-Chan. Dengan tidak mengungkapkan bahwa Totto-Chan dikeluarkan dari sekolah, Mama “membangun citra positif” yang melindungi identitas anaknya. Ia menciptakan realitas alternatif bahwa pindah sekolah adalah pilihan yang menyenangkan, bukan akibat dari kesalahan. Ini adalah bentuk dari proyeksi simbolik yang dibungkus dalam fase imajiner, di mana realitas disampaikan bukan secara langsung, tetapi melalui “cermin” yang disesuaikan dengan dunia anak.

Totto-Chan yang masih dalam usia kanak-kanak menerima realitas ini apa adanya. Ia belum mampu menyadari struktur sosial yang lebih kompleks (ranah simbolik) dan masih hidup dalam konstruksi identitas yang dibentuk melalui refleksi dari orang-orang terdekat. Dalam hal ini, Mama membantu membentuk imaji Totto-Chan tentang dirinya sebagai anak yang tetap baik dan pantas, meskipun sebenarnya dikeluarkan dari sekolah.

Dengan demikian, tindakan Mama tidak hanya melindungi Totto-Chan secara emosional, tetapi juga memperlihatkan dinamika bagaimana fase imajiner bekerja dalam membentuk persepsi diri anak berdasarkan narasi yang disampaikan orang tua.

Aspek Simbolik Tokoh Utama dalam Novel Totto-Chan Gadis Cilik di Jendela Karya Tetsuko Kuryanagi

Aspek simbolik merupakan tahap di mana seseorang mulai mengenali dirinya dan lingkungan sekitar melalui bahasa serta aturan sosial yang berlaku. Pada tokoh Totto-Chan, aspek ini tampak jelas ketika ia mulai bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah yang berbeda jauh dengan tempat sebelumnya. Di sana, Totto-Chan diterima sepenuhnya oleh guru, kepala sekolah, dan teman-temannya, sehingga ia memperoleh lingkungan yang mendukung perkembangan dirinya. Dengan merasa dihargai dan dimengerti, Totto-Chan dapat menyerap dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai serta norma yang ada di sekitarnya. Keinginan Totto-Chan untuk diakui sebagai pribadi yang unik dan diterima oleh orang lain pun terpenuhi, sehingga berkontribusi pada pertumbuhan psikologisnya secara positif.

Totto-chan merasa dia telah bertemu dengan orang yang benarbenar disukainya. Belum pernah ada orang yang mau mendengarkan dia sampai berjam-jam seperti kepala sekolah. Lebih dari itu, kepala sekolah sama sekali tidak menguap atau tampak bosan. Dia selalu tampak tertarik pada apa yang diceritakan Totto-chan, sama seperti Totto-chan sendiri.
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Totto-Chan merasa keinginannya untuk bersekolah di sekolah kereta itu telah terpenuhi. Ia diterima di Tomoe Gakuen setelah melalui percakapan panjang tanpa henti, di mana ia bebas menceritakan berbagai pengalaman dan pikirannya. Kepala sekolah meminta Totto-Chan untuk mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan, sebuah proses yang menunjukkan penghargaan terhadap suara dan identitas uniknya.

Dalam perspektif teori psikoanalisis Jacques Lacan, momen ini mencerminkan aspek simbolik, yaitu tahap di mana seseorang mulai memahami dirinya dan dunia melalui bahasa, aturan, dan norma sosial. Dengan kemampuan Totto-Chan untuk berbicara dan diterima oleh lingkungan sekolah baru, ia memasuki ranah simbolik yang memungkinkan dirinya membangun identitas sosial yang diakui. Penerimaan dan komunikasi melalui bahasa ini membantu Totto-Chan menginternalisasi nilai-nilai serta norma yang berlaku, sehingga membentuk perkembangan psikologisnya yang lebih matang dan rasa keinginannya untuk diakui sebagai individu yang unik dapat terpenuhi.


Penutup
Melalui analisis dengan pendekatan teori psikoanalisis Jacques Lacan, dapat dipahami bahwa perkembangan psikologis tokoh Totto-Chan sangat dipengaruhi oleh interaksi antara hasrat, lingkungan, dan struktur ketidaksadaran yang meliputi tatanan Real, Imajiner, dan Simbolik. Pada tatanan Real, Totto-Chan memperoleh pemenuhan kebutuhan dasar dari orang tuanya yang penuh kasih sayang dan pengertian, sehingga ia tumbuh sebagai anak yang percaya diri dan bebas berekspresi. Hal ini menjadi fondasi awal bagi pembentukan identitas dan hasratnya.

Namun, ketika memasuki lingkungan sekolah yang kaku dan penuh aturan, Totto-Chan mengalami kecemasan dan ketidakpastian, yang merupakan bagian dari tatanan Imajiner. Ia merasa tidak diterima dan dianggap berbeda oleh guru serta lingkungan sekolah sebelumnya, sehingga membentuk citra diri yang kurang positif dan menimbulkan perasaan tidak aman. Di sinilah muncul konflik internal antara hasratnya untuk diterima dan realitas lingkungan yang menolaknya.

Tatanan Simbolik menjadi titik balik bagi Totto-Chan ketika ia pindah ke Tomoe Gakuen, sebuah sekolah yang sangat berbeda dari sekolah pada umumnya. Di sini, Totto-Chan mendapatkan penerimaan, penghargaan, dan kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri. Lingkungan baru ini memungkinkan Totto-Chan untuk menginternalisasi nilai-nilai dan norma yang positif, sehingga ia dapat membangun identitas yang lebih utuh dan percaya diri. Hasratnya untuk diterima dan diakui sebagai individu yang unik pun terpenuhi, sehingga ia berkembang secara psikologis dan emosional.

Dengan demikian, kisah Totto-Chan tidak hanya menjadi kisah inspirasi tentang pentingnya pendidikan yang humanis dan inklusif, tetapi juga memberikan gambaran nyata tentang bagaimana lingkungan sosial dapat membentuk dan mengubah struktur kejiwaan seseorang. Teori psikoanalisis Lacan memberikan perspektif yang mendalam dalam memahami proses pembentukan subjek, khususnya pada masa kanak-kanak. Melalui analisis ini, kita semakin menyadari bahwa setiap anak memiliki potensi yang unik dan berhak untuk diterima sepenuhnya, tanpa harus tunduk pada standar yang kaku dan mengekang pendidikan yang memahami kebutuhan psikologis anak.


Penulis:
Syntia Maharani
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Univeristas Andalas Padang



Daftar Pustaka:

Kuroyanagi, Tetsuko. Totto-Chan: The Little Girl at the Window. Diterjemahkan oleh Dorothy Britton. Tokyo: Kodansha International, 1984. (atau edisi bahasa Indonesia: Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela, Penerjemah: Widya Kirana, Gramedia Pustaka Utama, tahun sesuai edisi).

Lacan, Jacques. Écrits. Diterjemahkan oleh Bruce Fink. New York: W.W. Norton & Company, 2006.

Kuroyanagi, T. (2018). Totto-Chan: Gadis cilik di jendela (Penerjemah: P. Soetardi). Gramedia Pustaka Utama. (Karya asli diterbitkan tahun 1981)

Maleja, W., Baruadi, M. K., & Bagtayan, Z. A. (2022). Proses Perkembangan Kejiwaan Tokoh Utama Dalam Novel “Totto-Chan: Gadis Cilik Di Jendela” Karya Tetsuko Kuroyanagi (Kajian Psikoanalisis Jacques Lacan). Jambura Journal of Linguistics and Literature, 3(2).Manik, S. “Psikoanalisis Lacan dalam Karya Sastra: Studi Kasus pada Cerpen Indonesia.” Jurnal Bahasa dan Sastra, vol. 4, no. 2, 2016, hlm. 120-135.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Silahkan komen guys..
EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)