List Of Upcoming Korean Dramas and Japanese Dramas July 2025

0
 



Campusnesia.co.id - This is List Of Upcoming Korean Dramas and Japanese Dramas July 2025, Dont miss it.


July 1-7
- 40 Made ni Shitai 10 no Koto (TV Tokyo)

- Ameagari no Bokura ni Tsuite (TV Tokyo)

- Ashita wa Motto, Ii Hi ni Naru (Fuji TV)

- Bitch and Rich 2 (Wavve)

- Doctor Price (NTV)

- DOPE (TBS)

- Kaibutsu (WOWOW)

- Kita-kun ga Kawai Sugite Te ni Amaru node, Sannin de Share Suru Koto ni Shimashita (Fuji TV)

- Law and the City (tvN)

- Love is for the Dogs (TBS)

- Renai Kinshi (NTV)

- Revenge Spy (TV Asahi)


July 8-14
- Ai no, Gakko (Fuji TV)

- Bokutachi wa Mada Sono Hoshi no Kosoku wo Shiranai (Fuji TV)

- Chihayafuru: Meguri (NTV)

- Daitsuiseki (TV Asahi)

- Housoukyoku Senkyo (NTV)

- Koroshita Otto ga Kaette Kimashita (WOWOW)

- Noumen Kenji (TV Tokyo)

- Saigo no Kanteinin (Fuji TV)

- S Line (Wavve)

- The 19th Medical Chart (TBS)

- The Kidnapping Day (TV Asahi)


July 15-21

- Low Life (Disney+)
Since Oh Hee-Dong (Yang Se-Jong) was little, his uncle Oh Gwan-Seok (Ryu Seung-Ryong) looked after him and led him into the criminal world. Oh Gwan-Seok will do anything to make money and he doesn't care whether it is legal or not. Oh Hee-Dong now works for his uncle. One day, Oh Gwan-Seok receives a request. The request is to salvage treasures from a sunken ship off the waters of Shinan, South Jeolla Province. Oh Gwan-Seok senses an opportunity to make a fortune, but rumors and gossip about the ship attracts all sorts of people to the area.

- Shiawasena Kekkon (TV Asahi)

- The Defects (ENA)

- The Nice Guy (JTBC)
Park Seok-Cheol (Lee Dong-Wook) is the eldest grandson of a three generation crime family. Unlike the people in his background, he is an innocent man who has a pure love for Kang Mi-Young (Lee Sung-Kyung). She is his first love and she dreams of becoming a singer.

- Ubai Ai, Manatsu (TV Asahi)


July 22-31
- Glass Heart (Netflix)

- My Girlfriend is a Tough Guy (KBS2)

- Stingers (Fuji TV)

- Trigger (Netflix)
The purchase, selling, or owning of a gun are banned in South Korea. There's almost zero crime cases involving guns in the country. Things change quickly. Illegal guns, from unknown sources, are brought into the country and gun incidents proliferate.

Yi-Do (Kim Nam-Gil) is a righteous detective. In his past, he served in the military as a sniper. Now, Yi-Do struggles to stop a series of gun incidents and chases after the source of the illegal firearms.

Moon-Baek (Kim Young-Kwang) is a key figure in the underground arms broker world. He acts like an easy going person, but he is a person who meticulously plans out his actions and then puts his plan into action. These two men, Yi-Do and Moon-Baek, hold a gun for their own reasons.

-Try: a Miracle in Us (SBS)
Joo Ka-Ram (Yoon Kye-Sang) used to be a rugby player who was the hope for Korean rugby. He had talent and star potential, but a drug scandal ruined everything. All of the sports media covered his drug scandal. He retired from the sport under the stigma of a drug addict. 3 years later, he returns as a contract coach for the high school rugby team where he once played for. The high school rugby team is the weakest team in its league. As a coach, Joo Ka-Ram shows unrivaled charisma and an uncompromising leadership ability. He also reunites with his ex-girlfriend Bae Yi-Ji (Lim Se-Mi), who is a shooting coach at the same high school. They dated for 10 years, but, after his drug scandal, Joo Ka-Ram disappeared. Now, they reunite again while working at the same high school.

Meanwhile, the rugby team has 7 players including its captain Yoon Seong-Joon (Kim Yo-Han). Yoon Seong-Joon is in the 3rd year of high school. He has a twin brother who is a member of the junior national soccer team. Yoon Seong-Joon also played soccer in the past, but he switched to rugby due to his lack of talent. He is twisted by envy and feels inferior toward people with talent. Yet, Yoon Seong-Joon is a hard-working person who wants to be recognized in sports.

Daftar Film Korea dan Jepang Tayang Bulan Juli 2025 Catat Tanggal Mainnya

0
 



Campusnesia.co.id - Selamat datang bulan Juli, tak terasa tahu 2025 sudah berlalu setengan jalan dan kali ini menemanikan semester kedua sobat pembaca, Campusnesia bahal menghadirkan informasi tentang Daftar Film Korea dan Jepang Tayang Bulan Juli 2025.

Apa saja? ini dia daftarnya:


1, Baban Baban Ban Vampire - Film Jepang Tayang 4 Juli 2025
Ranmaru Mori (Ryo Yoshizawa) bekerja di pemandian umum sebagai pekerja paruh waktu. Dia sebenarnya adalah vampir berusia 450 tahun. Dalam pencarian cita rasa tertinggi, yaitu darah perawan berusia 18 tahun, dia menjaga Rihito Tatsuno (Rihito Itagaki) yang berusia 15 tahun, yang merupakan putra tunggal pemilik pemandian umum. Suatu hari, Rihito Tatsuno jatuh cinta pada pandangan pertama dengan teman sekelasnya Aoi Shinozuka (Nanoka Hara). Jika cinta Rihito Tatsuno menjadi kenyataan, itu berarti dia akan berada dalam bahaya kehilangan keperawanannya. Dalam situasi putus asa yang tiba-tiba, Ranmaru Mori memutuskan untuk menghentikan Rihito Tatsuno dari melangkah lebih jauh dengan cinta sejatinya.


Berdasarkan serial manga "Baban Baban Ban Vampire" oleh Hiromasa Okujima (pertama kali diterbitkan 13 Oktober 2021 di Bessatsu Shonen Champion).


2. Natsu no Suna no Ue - Film Jepang Tayang 4 Juli 2025
Kehidupan Osamu Koura (Joe Odagiri) terhenti setelah kehilangan putranya yang masih kecil. Karena rasa kehilangan yang dirasakannya, ia berpisah dari istrinya Keiko Koura (Takako Matsu). Bahkan setelah galangan kapal tempatnya bekerja bangkrut, ia belum menemukan pekerjaan baru. Suatu hari, adik perempuannya (Hikari Mitsushima) memintanya untuk tinggal bersama putrinya yang berusia 17 tahun, Yuko (Akari Takaishi), dan ia meninggalkannya bersamanya. Adik perempuannya adalah seorang ibu tunggal dan Yuko tumbuh tanpa mengenal kasih sayang dari seorang ayah. Osamu Koura dan Yuko tiba-tiba mulai hidup bersama. Saat mereka mulai hidup bersama, mereka menghadapi rasa sakit yang mereka miliki dan menemukan secercah harapan.

Film ini berdasarkan drama teater tahun 1998 "Natsu no Suna no Ue," yang naskahnya ditulis oleh Masataka Matsuda.


3. Wall to Wall - Film Korea Tayang 18 Juli 2025
Woo-Sung (Kang Ha-Neul) adalah seorang pekerja kantoran biasa berusia 30-an. Ia telah berhasil membeli apartemennya sendiri, yang merupakan impiannya sejak lama. Untuk membeli apartemen tersebut, ia menggunakan semua tabungannya, mengambil pinjaman, dan bahkan menggunakan ladang bawang putih milik ibunya. Ia kini tengah berjuang untuk melunasi pinjaman berbunga tinggi tersebut. Yang memperburuk keadaan, ia menderita suara bising terus-menerus dari lantai tetangga. Karena suara bising tersebut, ia terlibat konfrontasi tajam dengan para tetangganya. Woo-Sung kemudian bekerja sama dengan tetangganya di lantai atas, Jin-Ho (Seo Hyun-Woo) untuk mencari sumber suara tersebut. Sementara itu Eun-Hwa (Yum Hye-Ran) adalah seorang perwakilan penghuni kompleks apartemen dan ia berusaha menjaga kedamaian di gedung tersebut.


4. Omniscient Reader - Film Korea Tayang 23 Juli 2025
Kim Dok-Ja (Ahn Hyo-Seop) adalah seorang pekerja kantoran biasa. Ia adalah penggemar berat web novel fantasi yang kurang dikenal "Three Ways to Survive in a Ruined World," yang baru saja menyelesaikan 10 tahun penayangannya. Kim Dok-Ja adalah satu-satunya orang yang telah membaca web novel tersebut hingga akhir dan tahu bagaimana akhirnya. Suatu hari, Kim Dok-Ja menghadapi dunia yang berubah menjadi web novel "Three Ways to Survive in a Ruined World." Sementara itu, Yoo Joong-Hyeok (Lee Min-Ho) adalah tokoh utama dalam "Three Ways to Survive in a Ruined World." Ia memiliki kemampuan khusus untuk hidup kembali setelah ia meninggal. Ia adalah pria tampan dengan keterampilan bertarung yang luar biasa.


Yoo Joong-Hyeok dan Kim Dok-Ja memulai perjalanan epik untuk menyelamatkan dunia. Orang-orang di sekitar mereka termasuk Yoo Sang-A (Chae Soo-Bin), Lee Hyeon-Seong (Shin Seung-Ho), Gong Pil-Doo (Park Ho-San), Jung Hee-Won (Nana), Han Myeong-O (Choi Young-Joon) dan Lee Ji-Hye (Kim Ji-Soo).

Berdasarkan novel web "Jeonjijeok Dokja Shijeom" karya Sing Shong (pertama kali diterbitkan pada 6 Januari 2018 melalui Naver). Proses syuting dimulai pada 5 Desember 2023 dan selesai pada Mei 2024.


5. My Daughter is a Zombie - Film Korea Tayang 30 Juli 2025
Virus zombi tiba-tiba merajalela di mana-mana. Lee Jeung-Hwan (Cho Jung-Seok) adalah seorang ayah tunggal biasa yang membesarkan putrinya Lee Soo-A (Choi Yoo-Ri) sendirian. Sayangnya, Lee Soo-A digigit zombi. Lee Jeung-Hwan membawa putrinya ke kampung halamannya tempat ibunya Kim Bam-Soon (Lee Jung-Eun) tinggal. Ia berjuang untuk melindunginya.



Berdasarkan komik web "Zombiega Dweeeobeorin Naui Ddal" oleh Lee Yoon-Chang (diterbitkan 22 Agustus 2018 - 17 Juni 2020 melalui Naver).



Totto-chan: Sebuah Studi Kasus tentang Dinamika Id, Ego, dan Super Ego dalam Pembentukan Karakter

0
 



Campusnesia.co.idNovel Totto-chan Si Gadis Keci di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi yang terbit pada tahun 1981. Merupakan karya sastra yang menggambarkan perjalanan jiwa seorang anak perempuan bernama Totto-chan dalam menghadapi dunia pendidikan dan lingkungan sosialnya. Novel ini tidak hanya bercerita tentang pengalaman masa kecil, tetapi juga mengandung dimensi psikologis yang mendalam. Dalam kajian psikologi sastra, terutama yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, karya sastra dipandang sebagai cerminan alam bawah sadar manusia, termasuk konflik batin dan perkembangan kepribadian tokoh di dalamnya. Freud membagi aspek kepribadian menjadi tiga komponen utama yaitu id, ego, dan superego, yang berperan dalam membentuk perilaku dan psikologi individu. Essay ini akan membahas bagaimana teori psikologi sastra Freud dapat diterapkan untuk memahami karakter dan perkembangan jiwa Totto-chan dalam novel tersebut. 


Pembahasan
Menurut Sigmund Freud, kepribadian manusia terdiri dari tiga komponen utama yaitu id, ego, dan superego. Id merupakan dorongan naluriah yang beroperasi di alam bawah sadar dan berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar dan hasrat tanpa memperhatikan realitas. Ego berfungsi sebagai penengah antara id dan dunia nyata, beroperasi di tingkat sadar dan bertugas menyesuaikan dorongan id dengan norma sosial. Sedangkan superego adalah bagian kepribadian yang berisi nilai moral dan norma yang dipelajari dari lingkungan sosial, berfungsi mengontrol dan mengarahkan ego agar bertindak sesuai dengan aturan. Dalam konteks sastra, teori ini digunakan untuk menganalisis karakter tokoh dan konflik psikologis yang mereka alami, karena karya sastra sering kali mencerminkan kondisi jiwa dan alam bawah sadar pengarang maupun tokoh dalam cerita.

Dalam novel ini Totto-chan, karakter utama Totto-chan, memperlihatkan perubahan dan perkembangan kepribadian yang unik dan menarik untuk dianalisis dengan menggunakan teori Sigmund Freud. Totto-chan adalah anak yang penuh rasa ingin tahu dan ekspresif. Id Totto-chan tampak jelas dalam keinginannya untuk bebas berekspresi dan bermain sesuai dengan naluri kanak-kanak, seperti, bermain, belajar, dan berinteraksi secara bebas, tanpa dibatasi oleh norma ketat yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Ketika ia dikeluarkan dari sekolah karena perilakunya yang dianggap tidak sesuai, hal ini mencerminkan konflik antara dorongan id-nya dan aturan yang diwakili oleh superego lingkungan sekolah.

Ego Totto-chan berfungsi sebagai penengah antara keinginan alami dan tuntutan realitas. Ego Totto-chan berkembang seiring dengan pengalamannya di sekolah baru yang lebih memahami kebutuhan psikologis anak, yaitu Tomoe Gakuen. Di sekolah ini, guru dan lingkungan mendukung perkembangan ego yang sehat dengan menyeimbangkan antara keinginan id dan tuntutan superego. Metode pembelajaran yang kreatif dan penuh kasih sayang memungkinkan ego Totto-chan untuk menyesuaikan diri dan berkembang tanpa harus menekan dorongan naluriah yang ada dalam dirinya. Hal ini menunjukkan bagaimana ego berfungsi sebagai mediator yang mampu mengggabungkan kebutuhan bawah sadar dan realitas sosial secara baik.

Superego Totto-chan juga mulai terbentuk melalui interaksi dengan guru dan teman-temannya di sekolah baru. Seperti, ketika ia menceritakan banyak hal kepada bapak kepala sekolah Tomoe Gakuen dan bernyanyi bersama teman-temannya sebelun makan. Nilai-nilai moral dan norma yang diajarkan secara tidak langsung membentuk kesadaran moralnya, sehingga ia belajar menghargai aturan yang ada namun dengan cara yang lebih manusiawi dan sesuai dengan perkembangan psikologisnya. Proses ini menunjukkan perkembangan superego yang sehat, yang tidak menindas id secara berlebihan, melainkan mengarahkan perilaku Totto-chan ke arah yang positif.

Ada perubahan signifikan dalam kepribadian Totto-chan setelah ia berada di Sekolah Tomoe. Sebelumnya, Totto-chan dianggap nakal dan berbeda oleh guru-guru di sekolah lamanya karena tingkah lakunya yang penuh rasa ingin tahu dan sulit dikendalikan. Ia merasa dianggap aneh dan kurang mendapatkan perhatian yang memadai, sehingga muncul rasa tidak aman dan kurang percaya diri. Setelah pindah ke Sekolah Tomoe, yang menerapkan metode pendidikan humanistik dan inklusif oleh kepala sekolah Sosaku Kobayashi, Totto-chan mengalami perubahan positif yang cukup baik. Di sekolah ini, ia diterima apa adanya, diberikan kebebasan untuk mencari tahu, dan didukung untuk mengembangkan potensinya tanpa tekanan aturan yang ketat. Hal ini membuat Totto-chan merasa aman, nyaman, dan sangat bersemangat untuk belajar dan beraktivitas di sekolah. Ia menjadi lebih percaya diri, ceria, dan penuh semangat, bahkan setiap pulang sekolah selalu bercerita dengan antusias tentang pengalaman dan kegiatannya.

Novel ini, menggambarkan bagaimana pengalaman masa kecil dan lingkungan sekitar berperan penting dalam perkembangan kepribadian Totto-chan. Sigmund Freud menekankan bahwa pengalaman masa kanak-kanak sangat menentukan pembentukan kepribadian dewasa. Dalam novel ini, pola asuh orang tua yang peduli dan lingkungan sekolah yang mendukung sangat membantu pada perkembangan mental Totto-chan yang sehat dan bahagia. Hal ini sesuai dengan pandangan Sigmund Freud bahwa keseimbangan antara id, ego, dan superego yang didukung oleh lingkungan yang tepat akan menghasilkan kepribadian yang berkembang dan konsisten.

Dalam novel ini juga, Totto-chan menunjukkan kemampuan adaptasi yang baik meskipun menghadapi penolakan dan ketidakpahaman dari lingkungan awalnya. Mekanisme pertahanan seperti sublimasi terlihat ketika Totto-chan menyalurkan energi dan keinginannya melalui kegiatan belajar dan bermain di sekolah baru yang lebih mendukung. Perkembangan psikologis Totto-chan dalam novel ini juga menunjukkan bagaimana lingkungan yang suportif sangat penting bagi pembentukan kepribadian yang sehat. Peran orang tua dan guru yang peduli terhadap kebutuhan mental anak menjadi faktor utama yang membantu Totto-chan mengatasi konflik internal dan menumbuhkan ego yang kuat dan superego yang seimbang seperti yang telah di jelaskan sebelumnya.

Selain itu, novel ini juga dapat dilihat sebagai ekspresi dari alam bawah sadar pengarangnya, Tetsuko Kuroyanagi, yang menanamkan pengalaman dan nilai-nilai hidupnya ke dalam tokoh Totto-chan. Sesuai dengan teori psikologi sastra Sigmund Freud, karya sastra merupakan cerminan jiwa pengarang yang mengolah pengalaman bawah sadar menjadi bentuk narasi yang bermakna. Novel ini bukan hanya cerita anak-anak, tetapi juga ekspresi psikologis yang mendalam tentang kebebasan, kreativitas, dan perkembangan jiwa manusia.


Penutup
Novel Totto-chan Si Gadis Kecil di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi ini, memberikan gambaran yang kaya tentang perkembangan psikologis seorang anak melalui pengalaman pendidikan dan lingkungan sosialnya. Dengan menggunakan teori psikologi sastra Sigmund Freud, kita dapat memahami bagaimana struktur kepribadian id, ego, dan superego berperan dalam membentuk karakter Totto-chan serta bagaimana konflik dan penyesuaian antara ketiganya terjadi dalam cerita hidupnya. Novel ini juga menegaskan pentingnya lingkungan yang mendukung bagi perkembangan jiwa anak agar dapat tumbuh secara sehat dan bahagia. Melalui analisis psikoanalisis, karya ini tidak hanya menjadi bacaan yang dapat menyentuh hati, tetapi juga sumber wawasan psikologis yang mendalam tentang perubahan dan perkembangan kepribadian manusia.


Penulis:
Pitri Pramugita
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas Padang


Referensi:
https://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/download/10463/7386/17780
https://jurnal.umk.ac.id/index.php/kala/article/download/9598/pdf_1
https://ejurnal.ung.ac.id/index.php/jjll/article/download/18368/5877
https://eprints.unm.ac.id/7016/1/Artikel%20Windasari.pdf

Pendidikan yang Humanistik: Analisis Carls Rogers atas Novel Totto-Chan Si Gadis Kecil di Tepi Jendela Karya Kuroyanagi Tetsuko

0
 



Campusnesia.co.id - Sastra memiliki peranan penting dalam menggambarkan realitas kehidupan, nilai-nilai kemanusiaan, serta dinamika psikologis dan sosial masyarakat. Salah satu karya sastra yang memuat nilai-nilai tersebut adalah Totto-chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi. Novel ini bukan hanya sebuah kisah anak-anak biasa, tetapi juga catatan memori penulis tentang masa kecilnya yang mengesankan saat bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah alternatif yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Kobayashi. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1981 di Jepang dan sejak itu menjadi buku yang sangat populer, bahkan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di seluruh dunia.

Konsep inti yang menonjol dalam Totto-chan adalah pendidikan humanis. Pendidikan humanis menekankan pentingnya pengembangan potensi individu secara holistik, meliputi aspek intelektual, emosional, sosial, dan moral. Berbeda dengan sistem pendidikan tradisional yang seringkali kaku dan berorientasi pada nilai akademis semata, pendidikan humanis menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran. Dalam konteks novel, sekolah Tomoe Gakuen yang didirikan oleh Kepala Sekolah Kobayashi adalah representasi ideal dari pendidikan humanis.

Menurut pendekatan teori humanistik dari Abraham Maslow sangat relevan. Maslow, seorang psikolog humanistik, mengembangkan teori hierarki kebutuhan manusia, yang menjelaskan bahwa individu akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan dasar terlebih dahulu sebelum dapat mencapai aktualisasi diri. Penerapan teori Maslow juga tampak dalam cara sekolah ini menangani siswa dengan kebutuhan khusus. Di Tomoe Gakuen, anak-anak dengan disabilitas belajar bersama dengan siswa lainnya tanpa diskriminasi. Hal ini mencerminkan pemenuhan kebutuhan sosial dan harga diri semua siswa, termasuk mereka yang sering kali terpinggirkan dalam sistem pendidikan konvensional. Lingkungan yang inklusif seperti ini memungkinkan semua anak merasa diterima, dihargai, dan percaya diri.

Selain itu, karakter Kepala Sekolah Kobayashi juga dapat dilihat sebagai representasi dari pemimpin pendidikan yang humanistik. Ia tidak hanya mengatur proses belajar-mengajar, tetapi juga membangun relasi emosional yang kuat dengan siswa. Ia mendengarkan mereka dengan empati, memperhatikan kesejahteraan mereka, dan menciptakan suasana yang menyenangkan di sekolah. Ini sesuai dengan pandangan Maslow bahwa lingkungan yang mendukung dan aman sangat penting untuk perkembangan psikologis anak.

Beberapa ciri utama pendidikan humanis yang tergambar dalam Totto-chan meliputi:

• Berpusat pada Anak : Anak-anak diberi kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang ingin mereka pelajari terlebih dahulu, sesuai dengan minat dan kecepatan mereka sendiri. Ini memungkinkan proses belajar yang lebih menyenangkan dan efektif karena didasarkan pada motivasi intrinsik anak. Totto-chan, yang sebelumnya dianggap "nakal" dan "berbeda" di sekolah lamanya, justru berkembang pesat di Tomoe Gakuen karena pendekatannya yang berpusat pada anak.


• Penghargaan terhadap Individualitas : Setiap anak di Tomoe dihargai keunikan dan individualitasnya. Kepala Sekolah Kobayashi tidak mencoba "membetulkan" atau menyeragamkan anak-anak, melainkan memahami dan mengakomodasi kebutuhan serta karakteristik mereka yang beragam. Ini terlihat dari penerimaannya terhadap Totto-chan yang energik dan imajinatif, serta anak-anak lain dengan disabilitas fisik atau tantangan belajar tertentu.

• Pengembangan Keterampilan Sosial dan Emosional : Interaksi antar siswa dan antara siswa dengan guru sangat ditekankan. Kegiatan seperti makan siang bersama di luar ruangan, piknik, dan kunjungan ke Kuil Meiji memperkuat ikatan sosial dan mengajarkan empati. Anak-anak belajar bagaimana berinteraksi dalam kelompok, menyelesaikan konflik, dan memahami perasaan orang lain.

• Pembelajaran Berbasis Pengalaman : Kurikulum di Tomoe tidak hanya terbatas pada buku teks. Anak-anak belajar melalui pengalaman langsung, seperti menanam sayuran di kebun sekolah, membersihkan halaman, atau melakukan perjalanan ke luar kota. Pendekatan ini membuat pembelajaran lebih relevan, konkret, dan bermakna.


Latar Belakang

Totto-chan, tokoh utama dalam novel ini, digambarkan sebagai anak yang aktif, ingin tahu, dan penuh energi. Karena perilakunya dianggap mengganggu oleh sekolah lamanya, ia dikeluarkan dari sekolah dan akhirnya bersekolah di Tomoe Gakuen. Di sana, ia menemukan lingkungan yang sangat berbeda, sekolah dengan gerbong kereta sebagai ruang kelas, guru-guru yang sabar, serta kepala sekolah yang peduli dan memahami dunia anak-anak. Hal inilah yang menjadi inti dari novel ini sebuah kritik lembut terhadap sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada disiplin kaku dan keseragaman, dan sekaligus menjadi sebuah pujian terhadap sistem pendidikan yang memanusiakan anak.


Novel ini menjadi penting untuk dikaji karena menawarkan sudut pandang yang segar mengenai pendidikan. Dalam dunia modern yang masih banyak terjebak pada sistem pendidikan berbasis ujian dan standar, Totto-chan menjadi pengingat bahwa pendidikan seharusnya berfokus pada anak itu sendiri pada kebahagiaannya, rasa ingin tahunya, dan keunikannya. Pesan ini menjadi sangat relevan dalam konteks pendidikan masa kini yang mulai mengarah ke pendekatan pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang menghargai perbedaan dan menyesuaikan proses belajar dengan kebutuhan individu anak.

Latar belakang budaya dan sejarah Jepang juga memperkaya isi novel ini. Berlatar pada masa sebelum dan saat Perang Dunia II, novel ini tidak hanya memperlihatkan kehidupan sehari-hari anak-anak Jepang, tetapi juga menunjukkan bagaimana sistem pendidikan saat itu mulai berubah sebagai respons terhadap ketegangan zaman. Meski tidak secara langsung menyinggung isu-isu politik atau perang, narasi dalam Totto-chan tetap menghadirkan gambaran sosial yang kuat tentang pentingnya menciptakan ruang yang aman dan menyenangkan bagi anak-anak, bahkan di tengah kondisi dunia yang tidak menentu.


Pembahasan

a. Pendidikan Humanistik dalam Perspektif Carl Rogers
Carl Rogers adalah salah satu tokoh utama dalam aliran psikologi humanistik yang menekankan pada potensi individu untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang mendukung. Menurut Rogers, setiap manusia memiliki self-actualizing tendency, yaitu kecenderungan alami untuk mencapai pertumbuhan pribadi dan menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Dalam konteks pendidikan, Rogers menekankan pentingnya lingkungan belajar yang bebas dari ancaman, penuh empati, dan menghargai individualitas siswa.

b. Penerapan Teori Carl Rogers dalam Novel Totto-chan
Dalam novel ini, karakter Kobayashi, Kepala Sekolah Tomoe Gakuen, merupakan figur ideal dari pendidik humanistik versi Carl Rogers. Beliau memperlakukan murid-muridnya dengan penuh cinta, tanpa menghakimi, dan selalu berusaha memahami latar belakang serta kebutuhan masing-masing anak. Hal ini sangat sejalan dengan konsep dari Rogers, di mana pendidik menerima anak apa adanya, bukan berdasarkan perilaku atau prestasi mereka.
Contoh nyata dari penerimaan tanpa syarat terlihat ketika Totto-chan pertama kali bertemu kepala sekolah. Meskipun Totto-chan dianggap “nakal” oleh sekolah lamanya dan banyak bercerita selama wawancara, kepala sekolah dengan sabar mendengarkannya selama berjam-jam tanpa memotong. Tindakan ini mencerminkan empati dan penerimaan yang tulus prinsip dasar dari pendekatan Rogers.

c. Kebebasan Belajar dan Peran Guru sebagai Fasilitator
Salah satu aspek terpenting dari teori Carl Rogers adalah bahwa guru bukanlah pusat pengetahuan, melainkan fasilitator yang menciptakan lingkungan kondusif bagi proses belajar. Dalam Tomoe Gakuen, siswa diperbolehkan memilih urutan pelajaran yang ingin mereka kerjakan setiap hari. Sistem ini mencerminkan prinsip “freedom to learn”, di mana anak-anak diberi otonomi dan tanggung jawab dalam proses belajar mereka sendiri.

d. Aktualisasi Diri Anak dalam Lingkungan yang Mendukung
Rogers percaya bahwa jika seseorang hidup dalam lingkungan yang kondusif yaitu penuh penerimaan, empati, dan kejujuran maka ia akan mampu mencapai aktualisasi diri, yakni menjadi pribadi yang utuh dan berkembang. Novel Totto-chan memperlihatkan bagaimana seorang anak yang dianggap “bermasalah” oleh sekolah konvensional, justru tumbuh dengan baik di lingkungan pendidikan yang mendukung dan menghargai keunikan dirinya.


Kesimpulan

Novel Totto-chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi merupakan karya sastra dengan nilai-nilai pendidikan dan kemanusiaan. Melalui kisah nyata masa kecil Totto-chan di Tomoe Gakuen, pembaca diajak untuk melihat bagaimana pendidikan yang bersifat humanistik dapat membentuk karakter anak menjadi pribadi yang lebih percaya diri, kreatif, dan peduli terhadap sesama. Tokoh Kepala Sekolah Kobayashi menjadi simbol penting dari sosok pendidik ideal, yang memperlakukan anak-anak dengan kasih sayang, empati, dan penghargaan terhadap keunikan masing-masing individu. 

Nilai-nilai seperti kebebasan belajar, inklusivitas, penghargaan terhadap perbedaan, dan pentingnya hubungan emosional yang sehat antara guru dan murid tercermin kuat dalam novel ini. Pendekatan ini sangat selaras dengan pandangan tokoh psikologi humanistik seperti Carl Rogers, yang menekankan bahwa proses belajar yang efektif hanya bisa terjadi dalam lingkungan yang mendukung, aman, dan penuh penerimaan tanpa syarat.

Dengan gaya penulisan yang sederhana namun menyentuh, Totto-chan tidak hanya berhasil menyampaikan kisah yang menghibur, tetapi juga menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya menciptakan sistem pendidikan yang berpihak pada anak. Novel ini relevan tidak hanya di zamannya, tetapi juga hingga kini, sebagai cermin dan kritik terhadap sistem pendidikan yang sering kali terlalu menuntut dan mengabaikan aspek emosional serta psikologis anak.


Penulis:
Muhammad Yazid Habibillah
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas



Referensi:
• Kuroyanagi, T. (2008). Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela (terj. Pakuan N). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

• Rogers, C. R. (1969). Freedom to Learn: A View of What Education Might Become. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.

• Rogers, C. R. (1961). On Becoming a Person: A Therapist's View of Psychotherapy. Boston: Houghton Mifflin.

• Rogers, C. R. (1980). A Way of Being. Boston: Houghton Mifflin.

• Corey, G. (2013). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (9th ed.). Belmont, CA: Brooks/Cole.

Analisis Penokohan pada Karakter Totto-Chan dalam Novel Totto-Chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela Menggunakan Teori Sigmund Freud

0
 



Campusnesia.co.id - Novel Totto-chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela merupakan karya autobiografi yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi, seorang aktris dan presenter terkenal asal Jepang. Novel ini menceritakan pengalaman masa kecil Tetsuko sebagai Totto-chan, seorang gadis kecil yang dianggap “bermasalah” di sekolah umum, namun menemukan tempat yang cocok untuk tumbuh di sekolah alternatif Tomoe Gakuen.

Tema yang diangkat dalam esai ini adalah penokohan Totto-chan sebagai karakter utama dalam novel tersebut. Penulis memilih tema ini karena karakter Totto-chan sangat unik, dinamis, dan penuh dengan ekspresi jiwa anak-anak yang belum banyak dikaji secara mendalam dari sudut pandang psikologi.
Esai ini akan membahas bagaimana karakter Totto-chan dibentuk dan berkembang dalam cerita dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud, khususnya pembagian struktur kepribadian menjadi id, ego, dan superego. Analisis ini bertujuan untuk memahami lebih dalam aspek psikologis dalam diri Totto-chan serta bagaimana lingkungan memengaruhi pertumbuhan kepribadiannya.


Pembahasan

Pada setiap penelitian diperlukan adanya pembatasan masalah. Pembatasan masalah ini dimaksudkan agar penelitian dapat dilakukan dengan lebih fokus dan terarah. Penelitian ini membatasi permasalahan pada struktur kepribadian id, ego dan superego pada tokoh Totto-chan dalam novel Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi dengan menggunakan kajian Psikologi Sastra Sigmund Freud.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:

1) Bagaimanakah masalah pada id karakter Totto-Chan pada novel Totto-Chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela?

2) Bagaimanakah masalah pada ego karakter Totto-Chan pada novel Totto-Chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela?

3) Bagaimanakah masalah pada super ego karakter Totto-Chan pada novel Totto-Chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela?


1. Masalah pada Id Karakter Totto-Chan

Id adalah komponen kepribadian yang primitif dan naluriah. Freud menggambarkan id sebagai "panci penuh gairah yang mendidih" yang penuh dengan energi yang berusaha untuk segera dilepaskan .

Id adalah bagian dari alam bawah sadar yang berisi semua dorongan dan impuls, termasuk apa yang disebut libido, sejenis energi seksual umum yang digunakan untuk segala hal mulai dari naluri bertahan hidup hingga apresiasi seni.

Id adalah bagian impulsif (dan tidak sadar ) dari jiwa kita yang merespons secara langsung dan segera terhadap dorongan, kebutuhan, dan keinginan dasar.

Kepribadian anak yang baru lahir seluruhnya adalah id, dan baru kemudian berkembang ego dan superego.Yang terpenting, id tidak memiliki rasa benar atau salah. Id bersifat amoral – hanya peduli dengan pemenuhan kebutuhan naluriah.

Kebebasan berekspresi Totto-chan sangat dipengaruhi oleh dorongan id yang kuat dalam dirinya. Ia menunjukkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk bertindak bebas tanpa memikirkan aturan. Misalnya, saat ia berkali-kali membuka dan menutup meja tulis hanya karena penasaran, atau ketika ia berbicara tanpa henti di kelas lama tanpa menyadari bahwa tindakannya dianggap mengganggu. Tindakan-tindakan ini muncul sebagai ekspresi spontan dari dirinya yang belum dipengaruhi norma atau pertimbangan sosial, mencerminkan karakter alami anak-anak yang masih digerakkan oleh dorongan id. Berikut kutipannya:

“Tiba-tiba Mama mengerti mengapa Totto-chan sering sekali membuka dan menutup mejanya. Dia ingat bagaimana bersemangatnya Totto-chan waktu pulang sekolah di hari pertama. Katanya “Sekolah asyik sekali! Mejaku di rumah ada lacinya yang bisa ditarik, tapi meja di sekolah ada tutupnya yang bisa dibuka ke atas. Meja itu seperti peti, dan kita bisa menyimpan apa saja didalamnya. Keren sekali!” (GCDJ,2008:13)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Id tokoh selalu menghindari ketidaknyamanan terhadap orang lain. Tottochan mempunyai tingkah laku yang selalu ingin tahu dalam hal dimana dia berada dalam situasi yang membuat mencari perhatian terhadap orang lain. Dapat disimpulkan bahwa Id yang baik selalu menghindar dari ketidaknyamanan seseorang terhadap orang lain. Sehingga, orang lain sangatlah dirugikan dan ada dampaknya Totto-chan dikeluarkan dari sekolah lamanya. Sehingga, Mama akan mencari sekolah baru untuk Totto-chan.


2. Permasalahan pada Ego Karakter Totto-Chan

Ego Freud adalah bagian rasional dari jiwa yang menengahi antara hasrat naluriah id dan batasan moral superego, yang beroperasi terutama pada tingkat kesadaran.

Ego adalah “bagian dari id yang telah dimodifikasi oleh pengaruh langsung dari dunia luar.” (Freud, 1923, hal. 25)

Ego (bahasa Latin untuk "aku") adalah satu-satunya bagian dari kepribadian yang sadar. Itulah yang disadari seseorang ketika mereka berpikir tentang diri mereka sendiri dan apa yang biasanya mereka coba proyeksikan kepada orang lain.

Ego berkembang untuk menjadi penengah antara id yang tidak realistis dan dunia luar yang nyata. Ego merupakan komponen kepribadian yang mengambil keputusan.  Idealnya, ego bekerja berdasarkan akal sehat, sedangkan id bersifat kacau dan tidak masuk akal.
Seiring masuk ke Tomoe Gakuen, kebebasan berekspresi Totto-chan mulai diimbangi oleh ego yang berkembang. Di sekolah ini, ia diberi ruang untuk memilih pelajaran sendiri dan mengekspresikan ide-idenya, tetapi juga mulai belajar memahami batasan dan realitas sosial. Misalnya, ketika ia mulai menyadari pentingnya mendengarkan teman dan menghargai perasaan orang lain. Di sinilah ego bekerja sebagai penengah antara keinginan bebasnya dengan lingkungan sekitarnya, membuat Totto-chan tetap bisa mengekspresikan diri dengan cara yang lebih sesuai dan diterima oleh orang lain. Berikut kutipannya:

“Tapi Totto-chan tidak menangis. Ia khawatir kalau ia menangis, Yasuaki-chan mungkin akan ikut menangis. Akhirnya Totto-chan memegangi tangan kawannya yang jari-jarinya saling melekat akibat sakit polio. Telapak tangan Yasuaki-chan lebih besar dari telapak tangan Totto-chan dan jari-jarinya lebih panjang. Lama gadis cilik itu memegangi tangan kawannya. Kemudian ia berkata, “Berbaringlah. Akan kucoba menarikmu ke sini.” (GCDJ, 2012:83)

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Yasuaki-chan merupakan anak yang memiliki pertumbuhan tubuh yang tidak sempurna. Tubuhnya jauh lebih kecil dari teman-teman sebayanya. Lengan dan tungkai kakinya sangat pendek dan melengkung ke dalam, tapi bahunya kekar. Terlahir sebagai anak yang memiliki pertumbuhan fisik tidak normal membuat Yasuaki-chan memiliki rasa kurang percaya diri.

Usaha Totto-chan pun berhasil dapat menarik tangan Yasuaki-chan dan mereka pun sampai di lekuk cabang pohon. Totto-chan memiliki rasa empati kepada temannya sehingga timul rasa belas kasihan terhadap kondisi tersebut sehingga timbul rasa ingin melindungi. Terlihat pada saat ia dapat membantunya untuk menaiki cabang pohonnya tersebut, ia akan menolongnya karena ada rasa iba yang timbul pada dirinya.


3. Permasalahan pada Super Ego Karakter Totto-Chan
Superego menurut Freud adalah komponen moral jiwa, yang mewakili nilai-nilai dan standar sosial yang terinternalisasi. Ia bertentangan dengan keinginan id, yang mengarahkan perilaku menuju kebenaran moral dan menimbulkan rasa bersalah ketika standar tidak terpenuhi.

Superego (bahasa Latin untuk "di atas-aku" atau "di atas ego") menggabungkan nilai-nilai dan moral masyarakat, yang dipelajari dari orang tua dan orang lain. Ia berkembang sekitar 3 – 5 tahun selama tahap falik perkembangan psikoseksual. Superego berkembang selama masa kanak-kanak awal, usia 3-6 tahun (ketika anakmengidentifikasi diri dengan orang tua sesama jenis) dan bertanggung jawab untukmemastikan standar moral dipatuhi. Melalui proses ini, jiwa anak menyerap (menyerap)aturan-aturan orang tua: “Kamu boleh” dan “Kamu tidak boleh.”

Superego beroperasi berdasarkan prinsip moralitas dan memotivasi kita untuk berperilaku dalam cara yang bertanggung jawab dan dapat diterima secara sosial. Superego dipandang sebagai pemberi penghargaan (perasaan bangga dan puas) dan hukuman (perasaan malu dan bersalah), tergantung pada bagian mana (ego-deal atau kesadaran) yang diaktifkan.

Lingkungan Tomoe Gakuen yang hangat dan penuh pengertian juga menumbuhkan superego dalam diri Totto-chan. Ia mulai memahami nilai-nilai moral dan pentingnya memperhatikan orang lain. Dalam kebebasan berekspresi yang ia nikmati, tumbuh pula kesadaran bahwa tidak semua keinginan harus dituruti jika itu melukai atau mengganggu orang lain. Ia belajar menunjukkan empati, menghargai teman yang berbeda, dan menyadari bahwa kebebasan yang sejati juga mengandung tanggung jawab. Superego ini menjadi pondasi bagi cara Totto-chan mengekspresikan  diri secara lebih matang dan penuh pertimbangan. Berikut kutipannya:

“Sejak saat itu Totto-chan harus mendengarkan lawakan radio secara diam-diam jika Mama dan Papa sedang tidak di rumah.” (GCDJ, 2008:64)

Dari data di atas terdapat Superego yang dimana Totto-chan tidak bisa memahami apa yang dimaksud keinginan Mama. Superego di dorong oleh represi yang selalu menghindar ketidaknyamanan untuk dilarang oleh orang lain termasuk orang tua sendiri.

Dapat disimpulkan bahwa Superego yang baik menyatakan bahwa sikap Totto-chan tidak bisa di percaya oleh Mama untuk mendengarkan radio lagi, dikarenakan Mama takut Totto-chan melakukan hal-hal atau ucapan atas mendengarkan radio tersebut.


1. Kesimpulan

Analisis terhadap karakter Totto-chan dalam novel Totto-chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud menunjukkan bahwa perkembangan kepribadian Totto-chan sangat dipengaruhi oleh tiga struktur utama jiwa: id, ego, dan superego.

1) Id Totto-chan tercermin dalam dorongan naluriah dan spontan yang ditunjukkannya, seperti rasa ingin tahu, kebebasan berekspresi, dan tindakan impulsif yang belum dipengaruhi oleh norma sosial.

2) Ego Totto-chan mulai berkembang seiring dengan pengalamannya di lingkungan sekolah Tomoe Gakuen, di mana ia belajar menyeimbangkan keinginannya dengan realitas sosial, serta mulai memahami pentingnya menghargai perasaan orang lain.

3) Superego Totto-chan tumbuh melalui interaksi dengan lingkungan yang penuh kasih dan pengertian, sehingga ia mulai memahami nilai moral, tanggung jawab, serta belajar membedakan antara benar dan salah berdasarkan standar sosial yang diajarkan oleh orang tua dan lingkungan sekolah.

Secara keseluruhan, karya ini menunjukkan bahwa karakter Totto-chan merupakan gambaran perkembangan psikologis anak yang sehat dan dinamis, serta menjadi contoh bagaimana lingkungan yang suportif dapat membantu membentuk kepribadian anak secara utuh dalam konteks teori Freud.


Penulis: 
Haziq Akma Anggara
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas



Referensi:
https://www.simplypsychology.org/psyche.html

Inas, RR Keisha Putri. "Kepribadian Anak Dalam Novel" Gadis Cilik Dijendela" Karya Tetsuko Kuroyanagi (Kajian Psikologi Sastra Sigmund Freud)."

Nilai-nilai Pendidikan pada Novel Totto-Chan Gadis di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi

0
 



Campusnesia.co.id - Secara umum pendidikan ialah sebuah proses atau usaha seseorang untuk mengembangkan potensi orang lain dengan melakukan pengajaran, pelatihan, dan penelitian. Menurut Purwanto (2016:46) tujuan pendidikan diciptakan untuk dapat dicapai dalam proses belajar mengajar. Hasil belajar merupakan pencapaian tujuan pendidikan pada siswa yang mengikuti proses belajar mengajar. Tujuan pendidikan ialah bersifat ideal, sedang hasil belajar bersifat aktual. Hasil belajar merupakan realisasi tercapainya tujuan pendidikan, sehingga hasil belajar yang diukur sangat tergantung kepada tujuan pendidikannya.

Sistem pendidikan adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk melaksanakan proses belajar mengajar guna mencapai tujuan agar pelajar dapat secara aktif mengembangkan potensi dalam dirinya yang dibutuhkan untuk dirinya sendiri dan masyarakat. Tujuan dari sistem pendidikan adalah untuk meningkatkan potensi dan memperdayakan individu dengan lebih efektif. Dengan tujuan ini, diharapkan individu yang memiliki pendidikan baik dapat memiliki kreativitas, pengetahuan, kepribadian, kemandirian, dan menjadi sosok yang lebih bertanggung jawab. 

Menurut (Darman, 2017), pendidikan sangatlah krusial bagi setiap individu, dan melalui pendidikan, dapat tercipta manusia yang cerdas secara intelektual serta mampu mengembangkan aspek spiritualnya. Pendidikan juga memiliki nilai serta kontribusi yang sangat besar dan berarti dalam meningkatkan kualitas suatu negara. Kualitas sebuah negara tergantung pada tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa. 

Pendidikan yang diterapkan dalam Novel Totto-Chan di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi, membawakan sebuah pendidikan yang aneh dan unik pada zaman tersebut. Dimana para murid dibebaskan berekspresi dan mempelajari hal yang ingin mereka inginkan.


1.  Latar Belakang Pengarang

Tetsuko Kuroyanagi lahir pada 9 Agustus 1933 di Tokyo, Jepang. Ia berasal dari keluarga dengan latar belakang seni, di mana ayahnya adalah seorang pemain biola dan guru besar. Semasa kecil, Tetsuko memiliki nama panggilan Totto-chan dan pernah bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah dasar yang unik dan didirikan oleh pendidik Sosaku Kobayashi selama Perang Dunia II. Ia awalnya bercita-cita menjadi penyanyi opera dan belajar di Tokyo College of Music, namun kemudian beralih ke dunia akting dan televisi, menjadi aktris dan pembawa acara yang sangat terkenal di Jepang.

Novel Totto-Chan Gadis di Jendela Karya Testsuko Kuroyanagi merupakan novel semi autobiografi yang menggambarkan cerita masa kecilnya belajar pada sebuah sekolah unik dengan gerbong kereta bekas sebagai ruang kelasnya. Dalam kesehariannya belajar di Tomoe Gakuen, Totto-Chan mendapatkan berbagai pengalaman luar biasa dalam hidupnya. Novel ini menjadi bestseller di Jepang dan diterjemahkan ke banyak bahasa, menggambarkan nilai-nilai pendidikan dan kenangan masa kecil Tetsuko yang hangat dan penuh makna.



2. Pendidikan Masyarakat 

Pendidikan masyarakat dalam novel Totto-chan karya Tetsuko Kuroyanagi mencerminkan kondisi pendidikan Jepang pada masa Perang Dunia II, di mana sistem pendidikan masih kaku dan menekankan hafalan serta disiplin ketat. Namun, novel ini juga menggambarkan sebuah sekolah unik, Tomoe Gakuen, yang berbeda dari sistem pendidikan konvensional saat itu. Sekolah ini memberikan kebebasan berekspresi kepada anak-anak dan menekankan pengembangan karakter serta kreativitas, yang sangat kontras dengan pendidikan formal yang cenderung menekan inisiatif dan rasa tanggung jawab sosial masyarakat Jepang pada masa itu.

Setelah Perang Dunia II, Jepang mengalami reformasi pendidikan yang signifikan sebagai respons terhadap kegagalan masa lalu dan pendudukan Sekutu. Sistem pendidikan yang baru menekankan pendidikan dasar selama enam tahun dan pendidikan menengah selama tiga tahun yang wajib, dengan tujuan membangun sumber daya manusia yang berpengetahuan luas dan memiliki keterampilan sosial konkret. Filosofi pendidikan bergeser dari hafalan dan disiplin ketat menjadi pembentukan karakter, kerja sama, dan pengembangan kemampuan berpikir kritis. Hal ini mencerminkan perubahan besar dalam pendidikan masyarakat Jepang yang berusaha memulihkan mental dan kualitas hidup bangsa pasca perang, sebagaimana juga tercermin dalam pengalaman pendidikan Totto-chan di sekolah yang progresif tersebut.


3. Analisis Pendidikan Anak dari Carl Rogers dalam Novel Totto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi

Carl Rogers menekankan pentingnya penghargaan terhadap individu, kebebasan untuk belajar, dan lingkungan yang mendukung perkembangan pribadi. Rogers percaya bahwa setiap individu memiliki potensi untuk belajar dan berkembang secara alami. Berikut analisis pendidikan anak dari Carl Rogers dalam novel Totto Chan :


a. Penerimaan Tanpa Syarat (Unconditional Positive Regard)
Carl Rogers menekankan pentingnya penerimaan tanpa syarat terhadap individu, yang membuat anak merasa dihargai apa adanya tanpa takut dihakimi atau dikritik1. Dalam Totto-chan, guru Kobayashi menerapkan prinsip ini dengan menerima Totto-chan apa adanya, meskipun ia berbeda dari anak-anak lain dan sering dianggap nakal oleh sekolah sebelumnya. Contohnya, Kobayashi tidak memarahi Totto-chan, melainkan memahami keunikannya dan membimbingnya secara lembut.

“Kobayashi-sensei selalu menyambutku dengan senyuman dan berkata, ‘Kamu boleh jadi dirimu sendiri di sini.’”

Kalimat ini menggambarkan penerimaan tanpa syarat yang membuat Totto-chan merasa nyaman dan diterima.

b. Penghargaan terhadap Keunikan dan Potensi Anak
Rogers percaya setiap anak memiliki keunikan dan potensi yang berbeda, sehingga pendidikan harus menghargai dan menyesuaikan cara belajar anak sesuai dengan minat dan kebutuhannya12. Di Tomoe Gakuen, Totto-chan diajarkan dengan metode yang tidak kaku, seperti belajar di kereta tua dan bebas bereksplorasi, yang mendukung kreativitas dan rasa ingin tahunya.

“Di sekolah Tomoe, aku bisa belajar sambil bermain, mengeksplorasi alam, dan bertanya apa saja yang aku ingin tahu.”

Ini menunjukkan bagaimana lingkungan belajar yang menghargai keunikan anak mendorong motivasi intrinsik belajar.


c. Motivasi Intrinsik dan Pembelajaran yang Bermakna
Menurut Rogers, motivasi belajar yang paling efektif berasal dari dalam diri anak (motivasi intrinsik), yang muncul ketika anak merasa bebas dan memiliki kontrol dalam proses belajarnya. Di novel, Totto-chan tidak dipaksa untuk belajar dengan cara yang membosankan, melainkan didorong untuk aktif dan menemukan jawaban sendiri, sehingga ia termotivasi secara alami.

“Aku belajar bukan untuk nilai, tapi karena aku ingin tahu dan senang mencoba hal baru.”
Kalimat ini mencerminkan motivasi intrinsik yang ditekankan Rogers.

d. Guru sebagai Fasilitator dan Hubungan Positif
Rogers menegaskan bahwa hubungan guru dan murid yang penuh empati, penghargaan, dan penerimaan tanpa syarat adalah dasar pembelajaran yang efektif15. Kobayashi-sensei berperan sebagai fasilitator yang mendukung Totto-chan, bukan sebagai otoritas yang menekan.

“Sensei selalu mendengarkan ceritaku dan membantuku tanpa memaksakan kehendaknya.”
Ini menggambarkan hubungan positif yang mendorong perkembangan Totto-chan secara menyeluruh.

e. Penekanan pada Proses Belajar, Bukan Hasil Akhir
Teori Rogers menekankan bahwa proses pembelajaran lebih penting daripada hasil akhir atau nilai1. Di Tomoe Gakuen, anak-anak diberi kebebasan untuk melakukan kesalahan dan belajar dari pengalaman, yang membangun rasa percaya diri dan kemandirian.

“Di sini, aku tidak takut salah karena semua kesalahan adalah bagian dari belajar.”
Ini sesuai dengan prinsip Rogers yang menghargai proses belajar sebagai pengalaman bermakna.

Novel Totto-chan sangat menggambarkan prinsip-prinsip teori belajar humanistik Carl Rogers, terutama dalam hal penerimaan tanpa syarat, penghargaan terhadap keunikan anak, motivasi intrinsik, hubungan guru-murid yang positif, serta penekanan pada proses belajar. Pendekatan pendidikan yang humanistik ini membuat Totto-chan berkembang secara optimal, merasa dihargai, dan termotivasi untuk belajar dengan sukarela.


Novel Totto-Chan: Gadis di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi menggambarkan nilai-nilai pendidikan yang humanis dan progresif, yang sejalan dengan teori Carl Rogers mengenai pentingnya penerimaan tanpa syarat, penghargaan terhadap keunikan anak, serta pembelajaran yang berpusat pada motivasi intrinsik dan hubungan positif antara guru dan murid. 

Melalui pengalaman belajar Totto-chan di sekolah Tomoe Gakuen, novel ini menunjukkan bahwa pendidikan yang membebaskan dan mendukung potensi individu dapat membentuk pribadi yang percaya diri, mandiri, dan kreatif. Kisah ini menjadi cerminan bahwa pendidikan yang ideal bukan hanya soal hasil akademik, tetapi juga proses yang menghargai pertumbuhan manusia secara utuh.


Penulis:
Marsanabila Rifa Idanta
Mahasiswa Program Studi Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas




Referensi:

Baringbing, David Bachiel. Teori Belajar Menurut Carl Rogers. https://www.scribd.com/document/278935973/Teori-Belajar-Menurut-Carl-Rogers

Umam, Muchamad Chairul (2019) Implementasi Teori Belajar Humanistik Carl R. Rogers Pada Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Vol. 5 No. 2 (247-264). Institut Agama Islam Negeri Salatiga. file:///C:/Users/Marsanabila%20rifa/Downloads/irja,+Section+editor,+MUCHAMAD+CHAIRUL+UMAM.pdf

Ong, Susy. Reformasi Pendidikan di Jepang Pasca Perang Dunia II. Universitas Indonesia.chrome- extension://efaidnbmnnnibpcajpcglclefindmkaj/https://lmsspada.kemdiktisaintek.go.id/pluginfile.php/79977/mod_resource/content/2/Reformasi%20Pendidikan%20di%20Jepang%20Pasca%20PD.pdf

(2010) Biografi Tetsuko Kuroyanagi (Totto Chan). Ahmadijind.blogspot. https://ahmadihind.blogspot.com/2010/06/biografi-tetsuko-kuroyanagi-totto-chan.html

Biografi Tetsuko. Scribd. https://www.scribd.com/document/359505961/Biografi-Tetsuko

Santosa, Sedya. Hidayat, wahyu (2024). Memahami Konsep Belajar Anak Usia Dasar : Studi Analisis Teori Belajar Carl Rogers Serta Penerapannya di Sekolah Dasar. Magister Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia. file:///C:/Users/Marsanabila%20rifa/Downloads/Article+2_WahyuHidayat_June_2024.pdf

Antara Ingatan dan Kehilangan: Tinjauan Psikologi Sastra dalam Novel The Memory Police

0
 



Campusnesia.co.id - Sastra merupakan gambaran kompleks dari kehidupan manusia. Ia tidak hanya menyoroti tindakan nyata, tetapi juga memperlihatkan kondisi batin yang sering tersembunyi. Salah satu pendekatan untuk memahami kedalaman ini adalah psikologi sastra, yang menelaah kondisi mental tokoh-tokoh, konflik batin, serta trauma dalam karya sastra. Salah satu novel yang menarik untuk dikaji dari sudut ini adalah The Memory Police (1994), karya Yoko Ogawa, pengarang Jepang yang dikenal dengan gaya narasi melankolis dan nuansa surealis.

Novel ini mengisahkan tentang masyarakat di sebuah pulau tanpa nama yang diawasi oleh lembaga bernama Memory Police. Di sana, berbagai benda tiba-tiba “menghilang”, tidak hanya secara fisik tetapi juga dari ingatan orang-orang. Mereka yang tetap mengingat dianggap sebagai ancaman. Tokoh utama mengalami tekanan psikologis hebat di tengah kondisi ini. Oleh karena itu, pendekatan psikologi sastra sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana jiwa manusia bereaksi terhadap tekanan sosial dan represi yang sistematis.


Gambaran Pengarang novel, Tokoh Cerita, dan Analisis

1. Yoko Ogawa: Pengarang dan Gaya Penulisan

Yoko Ogawa adalah penulis Jepang yang lahir di Okayama pada 30 Maret 1962. Ia mulai berkarya sejak 1980-an dan telah menerbitkan berbagai novel, kumpulan cerpen, dan esai. Lulusan Universitas Waseda ini telah meraih banyak penghargaan sastra, termasuk Akutagawa Prize dan Yomiuri Prize.

Karya-karya Ogawa menonjol karena kemampuannya menggambarkan kesunyian, kehilangan, serta trauma melalui gaya bahasa yang lembut namun menghanyutkan. Ia kerap menyoroti sisi batin manusia dan absurditas kehidupan modern. The Memory Police, salah satu karya terkenalnya, menjadi contoh nyata bagaimana ia membangun dunia fiktif yang sunyi, namun menyimpan teror psikologis yang dalam. Novel ini berhasil masuk nominasi International Booker Prize 2020 dan dianggap sebagai representasi dari ancaman terhadap memori dan identitas manusia di bawah kekuasaan represif.


2. Tokoh dalam novel

Dalam The Memory Police, Yoko Ogawa menghadirkan Tokoh utama seorang penulis perempuan yang tidak diberi nama. Ia hidup dalam masyarakat yang perlahan kehilangan berbagai benda dari kehidupan mereka, dan seiring itu, ia pun mulai kehilangan keterikatannya terhadap dunia. Ketika benda-benda hilang, ingatan tentangnya juga terhapus, menciptakan kekosongan yang perlahan-lahan menggerogoti jati dirinya.

Tokoh penting lainnya adalah R, editor sang penulis, yang masih dapat mengingat semua hal yang telah “dihapus.” Ia menjadi simbol dari keteguhan dan perlawanan terhadap lupa. Penulis menyembunyikannya sebagai bentuk resistensi batin terhadap sistem. Selain itu, ada juga pria tua - teman keluarga - yang membantu menjaga R, merepresentasikan solidaritas dan kemanusiaan yang tersisa di tengah situasi suram. Memory Police sendiri digambarkan sebagai kekuatan otoriter tanpa identitas jelas, yang secara sistematis menghapus elemen-elemen memori dan makna dari kehidupan masyarakat.


3. Analisis Psikologis

a. Trauma Kolektif dan Represi Psikis
Tokoh utama mengalami tekanan mental yang berat akibat kehilangan yang tak hanya bersifat material, tetapi juga psikis. Dalam perspektif psikoanalisis Freud, hilangnya benda-benda tersebut mencerminkan proses represi yang mendalam - pemaksaan untuk melupakan demi bertahan hidup. Seiring waktu, hal ini menimbulkan trauma kolektif yang melibatkan seluruh masyarakat, menghapus memori, identitas, dan makna hidup.

b. Relasi Tokoh dan Perlawanan Batin
R, sebagai satu-satunya tokoh yang mengingat, menjadi lambang dari perlawanan batin terhadap otoritas. Dalam pandangan Jung, ia mencerminkan anima dari sang penulis - bagian dari jiwanya yang masih berusaha mengingat. Hubungan mereka bukan hanya fisik, tetapi juga psikis, mencerminkan usaha mempertahankan sisi kemanusiaan yang tersisa.

c. Simbolisme Kehilangan dan Identitas Diri
Kehilangan dalam novel ini tak sekadar benda, melainkan makna dan memori yang menyertainya. Ketika ingatan akan suatu hal hilang, maka maknanya pun lenyap dari kesadaran tokoh. Penulis sebagai tokoh utama lambat laun bahkan kehilangan kemampuan menulis, yang menjadi simbol hilangnya ekspresi diri dan kreativitas. Pandangan eksistensial Viktor Frankl relevan di sin bahwa makna hidup terikat pada pengalaman dan ingatan. Ketika semua itu dipaksa hilang, maka eksistensi manusia menjadi hampa.



Penulis:
Fasya Hazhiyah 
Mahasiswa Program Studi Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
\Universitas Andalas



Daftar Pustaka:

Endraswara, Suwardi. Psikologi Sastra: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003.

Wellek, René, and Austin Warren. Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World, 1949.

Freud, Sigmund. The Interpretation of Dreams. Translated by A.A. Brill. New York: Macmillan, 1913.

Kusnadi, Dedi. “Teori Psikoanalisis dalam Kajian Sastra: Penerapan pada Karakter dan Alur.” Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, vol. 5, no. 2, 2017, pp. 112–125.

Penerimaan dan Toleransi terhadap Perbedaan dalam Novel Totto-chan Karya Tetsuko Kuroyanagi: Analisis Dengan Teori Abraham Maslow dan Carl Rogers

0
 


Campusnesia.co.id - Esai ini menganalisis tema penerimaan dan toleransi terhadap perbedaan dalam Totto-chan: The Little Girl at the Window karya Tetsuko Kuroyanagi. Novel ini menghadirkan lingkungan pendidikan yang unik-Tomoe Gakuen - yang merangkul keberagaman, menghargai individualitas setiap anak, dan mendorong empati dan rasa saling menghormati. 

Dengan menggunakan teori psikologi humanistik Carl Rogers dan Abraham Maslow, serta teori sastra sosiologis Wellek dan Warren, studi ini menyoroti bagaimana sastra dapat berfungsi sebagai alat untuk mencerminkan dan mempromosikan nilai-nilai inklusif dalam pendidikan. Temuan ini menunjukkan bahwa lingkungan belajar yang inklusif dan empatik dapat secara signifikan mendukung perkembangan emosional, harga diri, dan aktualisasi diri anak-anak. Novel ini tidak hanya menceritakan kisah pribadi tetapi juga berfungsi sebagai kritik sosial dan visi penuh harapan untuk sistem pendidikan di masa depan.


1. Pendahuluan
Pendidikan merupakan fondasi utama dalam pembentukan karakter manusia sejak usia dini. Namun, sistem pendidikan konvensional sering kali menekankan keseragaman dan kepatuhan, tanpa mempertimbangkan keberagaman karakter dan kebutuhan setiap anak. Dalam konteks ini, novel Totto-chan: The Little Girl at the Window karya Tetsuko Kuroyanagi menghadirkan narasi yang menyentuh dan menyegarkan tentang pentingnya penerimaan dan toleransi terhadap perbedaan dalam dunia pendidikan.

Novel ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi Tetsuko Kuroyanagi saat bersekolah di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah progresif yang dipimpin oleh Sosaku Kobayashi. Di sekolah ini, murid-murid yang berbeda, baik dari segi fisik, psikologis, maupun latar belakang sosial, diterima dengan tangan terbuka dan didampingi dengan penuh kasih sayang.

Tema ini berfokus pada “Penerimaan dan toleransi terhadap perbedaan dikonstruksi” dalam novel Totto-chan, dengan menggunakan pendekatan teori humanistik dari Carl Rogers dan Abraham Maslow, serta teori sastra sosial dari Wellek dan Warren.


2. Pembahasan 

2.1. Tokoh Kepala Sekolah Kobayashi sebagai Simbol Penerimaan
Kepala Sekolah Kobayashi merupakan tokoh sentral dalam narasi pendidikan alternatif yang ditawarkan dalam novel. Ia adalah figur pendidik yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki empati tinggi dan wawasan luar biasa tentang psikologi anak. Ketika Totto-chan datang ke sekolah barunya dan berbicara tanpa henti selama berjam-jam, Kobayashi tidak menghentikannya, melainkan mendengarkan dengan sabar.

“She kept talking for four hours. The headmaster just listened quietly.” (Kuroyanagi, 1981)

Kutipan ini memperlihatkan bahwa Kobayashi memberi ruang ekspresi tanpa syarat kepada anak. Dalam teori Carl Rogers, hal ini disebut sebagai unconditional positive regard, yaitu suatu sikap di mana seseorang diterima dan dihargai tanpa prasyarat. Rogers menekankan bahwa dalam iklim seperti ini, individu - terutama anak-anak - dapat mengembangkan potensi diri secara optimal karena merasa aman, dihargai, dan dimengerti.

Lebih jauh, pendekatan ini juga menyentuh hierarki kebutuhan Maslow, khususnya pada tingkatan ketiga (kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki) serta keempat (harga diri). Totto-chan, yang sebelumnya merasa ditolak oleh sistem sekolah lamanya, kini menemukan tempat yang menerimanya secara utuh, tanpa prasangka atau stigma. Dari aspek ini, Kobayashi menjadi manifestasi dari sistem pendidikan yang toleran terhadap keunikan pribadi, sekaligus menjadi simbol kritik terhadap pendidikan konvensional yang seragam.

Dalam perspektif sastra sosial Wellek dan Warren, sosok Kobayashi dan sekolah Tomoe Gakuen mencerminkan cita-cita perubahan sosial melalui sastra. Melalui penggambaran pendidikan inklusif ini, novel ini menyuarakan bahwa masyarakat yang adil dimulai dari pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan.


2.2. Inklusi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dan Perbedaan Sosial
Aspek kedua yang menonjol adalah bagaimana Tomoe Gakuen menerima dan melibatkan anak-anak dengan disabilitas dan dari latar sosial berbeda. Salah satu tokoh penting yang menonjol adalah Yasuaki-chan, seorang anak penderita polio yang memiliki keterbatasan fisik. Di sekolah lain, ia mungkin akan dianggap sebagai "beban", tetapi di Tomoe ia dilibatkan dalam kegiatan dan diperlakukan sebagai individu yang setara.

“Kobayashi-sensei thought up ways for Yasuaki-chan to take part in everything, and the children naturally followed his lead.” (Kuroyanagi, 1981)

Kutipan ini menunjukkan bahwa toleransi dan penerimaan bukan hanya nilai yang diajarkan secara verbal, tetapi juga diterapkan secara nyata dalam sistem dan kebiasaan sekolah. Inisiatif kepala sekolah dalam melibatkan Yasuaki-chan menumbuhkan budaya empati dalam diri para siswa, sehingga mereka belajar untuk menghormati perbedaan sejak dini.

Dalam teori Abraham Maslow, perlakuan seperti ini memenuhi kebutuhan akan cinta, penghargaan, dan yang paling tinggi aktualisasi diri, karena anak-anak seperti Yasuaki-chan tidak hanya diterima, tetapi juga diberi peran dan kesempatan untuk berkembang. Sedangkan dalam perspektif Carl Rogers, perlakuan ini merupakan bentuk empathy dan congruence (keaslian sikap guru terhadap murid), yang menjadi syarat mutlak bagi pertumbuhan pribadi yang sehat.

Melalui lensa teori sastra sosial, penggambaran ini adalah bagian dari upaya sastra untuk mengkritik sistem sosial yang eksklusif dan diskriminatif, serta menghadirkan dunia alternatif di mana perbedaan bukan untuk disingkirkan, tetapi untuk dirayakan.


2.3. Kebebasan Mengekspresikan Diri sebagai Penghormatan terhadap Keunikan Anak
Di Tomoe Gakuen, murid-murid memiliki kebebasan memilih mata pelajaran yang ingin mereka mulai di pagi hari, serta diperbolehkan mengekspresikan minat dan rasa ingin tahu mereka tanpa dibatasi oleh aturan kaku. Totto-chan, misalnya, suka membuka dan menutup laci mejanya karena penasaran dengan fungsinya—hal yang sebelumnya dianggap aneh oleh sekolah lamanya.

“You can study what you like first. That’s the rule here.” (Kuroyanagi, 1981)

Metode ini adalah cerminan dari pendekatan pendidikan yang berpusat pada anak, bukan pada kurikulum. Dalam teori Maslow, pendekatan seperti ini memungkinkan anak untuk mencapai aktualisasi diri, karena mereka bisa memilih, mengeksplorasi, dan mengalami secara langsung apa yang mereka minati. Sementara itu, dalam teori Rogers, kebebasan ini adalah bentuk dari pengakuan terhadap eksistensi individu sebagai pribadi yang memiliki kehendak dan arah pertumbuhan alami.

Penghargaan terhadap keunikan anak ini menonjol sebagai perwujudan nyata dari toleransi terhadap keragaman kepribadian, gaya belajar, dan ekspresi diri, sesuatu yang jarang ditemukan dalam sistem pendidikan tradisional.

Dari perspektif Wellek dan Warren, penggambaran kebebasan belajar ini menunjukkan peran sastra dalam mempromosikan cita-cita masyarakat yang mendukung otonomi individu, terutama anak-anak, sebagai bagian dari transformasi sosial yang lebih luas.


3. Penutup
Tema penerimaan dan toleransi terhadap perbedaan dalam novel Totto-chan memberikan gambaran nyata tentang pentingnya pendidikan yang berpihak pada kemanusiaan. Melalui pendekatan humanistik Carl Rogers dan Abraham Maslow, terlihat bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari capaian akademik, tetapi juga dari sejauh mana pendidikan itu memenuhi kebutuhan emosional dan psikologis anak-anak.

Dengan pendekatan teori sastra sosial, novel ini dapat dipahami sebagai bentuk refleksi dan kritik terhadap sistem yang gagal memahami keunikan anak. Totto-chan bukan hanya kisah seorang anak yang nakal tetapi menggemaskan; ia adalah representasi dari anak-anak yang tak diberi ruang oleh sistem kaku, namun justru bersinar ketika mereka diterima.

Karya ini tidak hanya penting sebagai literatur, tetapi juga sebagai inspirasi bagi dunia pendidikan, bahwa keberagaman bukan untuk diseragamkan, tetapi untuk dihargai dan dirayakan.


Penulis:
Zakir Maulana Dafi
Mahasiwa Sastra Jepang
Universitas Andalas



Daftar Pustaka:

Kuroyanagi, Tetsuko. (1981). Totto-chan: The Little Girl at the Window. Tokyo: Kodansha International.

Maslow, Abraham H. (1943). “A Theory of Human Motivation.” Psychological Review, 50(4), 370–396.

Maslow, Abraham H. (1970). Motivation and Personality (2nd ed.). New York: Harper & Row.

Rogers, Carl R. (1980). A Way of Being. Boston: Houghton Mifflin.

Rogers, Carl R. (1961). On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy. Boston: Houghton Mifflin.

Wellek, René & Warren, Austin. (1949). Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace and Company.

Nurgiyantoro, Burhan. (2010). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Semi, Atar. (1993). Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.