Campusnesia.co.id - Pernah nggak sih kamu mengangguk pas ngobrol, mikirnya cuma sopan, eh ternyata orang lain kira kamu setuju banget? Atau kirim pesan “Oke” di grup chat, tapi malah dikira lagi bad mood? Momen bikin bingung gini sering banget kejadian, dan tahu nggak? Biasanya gara-gara budaya!
Dunia sekarang kayak kampung global. Kita bertemu orang dari berbagai budaya, entah pas traveling, kuliah, atau cuma lewat WhatsApp. Setiap bahasa, gerakan, bahkan diam, punya cerita sendiri yang dibentuk sama budaya dan sejarah. Apa yang biasa buat kita, bisa jadi asing buat orang lain. Makanya, paham perbedaan budaya itu bukan cuma soal sopan, tapi bikin kita nyambung beneran sama orang lain.
Kata Bisa Bikin Bingung
Meski pakai bahasa yang sama, kita bisa salah paham. Soalnya, cara ngomong kita dipengaruhi budaya, bukan cuma kata-katanya. Ada budaya yang suka ngomong to the point, ada juga yang lebih suka halus.
Contohnya, di Jepang, orang mungkin bilang “Kayaknya susah, deh” ketimbang “Enggak”. Ini karena mereka jaga harmoni biar nggak bikin orang lain tersinggung. Nah, di negara kayak Amerika, orang lebih suka jelas. Bilang “tidak” dianggap jujur, bukan kasar.
Makanya, kata “iya” aja bisa bikin ribet. Di Jepang, “iya” kadang cuma berarti “Aku dengerin”, bukan “Aku setuju”. Tapi di Barat, “iya” ya berarti setuju. Bayangin, beda pengertian ini bisa bikin kacau di kantor, kelas, atau proyek bareng temen dari luar negeri!
Bahasa Tanpa Kata
Peneliti Liu, Schwab, dan Hess (2023) bilang, kita lebih banyak ngomong lewat hal-hal yang nggak pakai kata, kayak ekspresi muka, gerakan tangan, nada, atau bahkan diam. Tapi, tantangannya, makna isyarat ini beda-beda di tiap budaya.
Senyum, misalnya. Di suatu tempat, senyum artinya ramah. Di tempat lain, bisa jadi cuma sopan atau nutupin rasa nggak nyaman. Penelitian bilang, cara kita lihat emosi tergantung situasi. Yang kelihatan bahagia di satu budaya, bisa dikira cuma gugup di budaya lain.
Diam juga punya makna. Studi dari Hayati dan Sinha (2024) bilang, kalau kamu nggak bales chat, artinya beda-beda. Di budaya Barat, diam bisa dianggap cuek atau nggak sopan. Tapi di Indonesia atau Jepang, diam bisa berarti hormat, lagi mikir, atau malah setuju. Nah, di dunia online yang nggak ada nada atau gestur, gampang banget salah paham kalau kamu nggak
bales cepet!
Emosi Nggak Selalu Sama
Kita suka mikir emosi itu universal, senyum artinya seneng, nangis artinya sedih. Tapi, penelitian besar dari Cowen dkk. (2024) bilang, cara orang nunjukin emosi beda-beda banget antar budaya. Mereka ngeliat orang dari Amerika, Eropa, dan Jepang. Meski perasaan dasarnya sama, cara ngungkapinnya beda. Orang Amerika suka ekspresif, misalnya ketawa lebar pas seneng atau ngomel pas kesel. Orang Jepang? Lebih kalem, biar suasana tetap adem.
Ini namanya “aturan tampilan” (display rules), kayak panduan budaya buat nunjukin emosi. Di Jepang, muka tenang bukan berarti nggak seneng, tapi bisa jadi tanda hormat. Tapi, senyum lebar orang Amerika mungkin dikira lebay di budaya yang lebih santai.
Beda gaya ini kadang bikin stereotip. Orang Barat bisa nganggep orang Asia “pendiam banget”, sementara orang Asia mungkin ngerasa orang Barat “heboh amat”. Padahal, cuma beda aturan main budaya!
Ribetnya Ngobrol di Dunia Digital
Teknologi bikin gampang nyambung sama orang dari mana aja, tapi juga bikin beda budaya lebih kelihatan. Bayangin, satu video call bisa ngumpulin orang dari lima negara! Emoji, nada, atau video call bisa bantu, tapi kadang malah bikin salah.
Misalnya, emoji jempol. Buat orang Amerika, artinya “oke”. Tapi di Timur Tengah, bisa berarti “udah, stop ngomong.” Pesan singkat juga bisa bikin bingung. Tanpa muka atau konteks, pesan bisa kedengaran lebih galak atau dingin dari maksudnya.
Hayati dan Sinha (2024) bilang, chat di dunia maya kehilangan banyak isyarat sosial yang biasanya bantu kita ngertiin orang. Makanya, banyak tim global sekarang belajar biar lebih pinter ngertiin diam, nada, sama waktu ngobrol.
Pelajaran dari Keseharian
Nggak perlu kerja di perusahaan besar buat ngerasain salah paham budaya. Bayangin, pelajar Indonesia di Jerman. Dia diam di kelas karena hormat sama guru, kayak kebiasaan di Indonesia. Tapi, profesor Jerman mikir dia nggak peduli atau nggak siap. Padahal, dua-duanya cuma mau sopan!
Momen kayak gini nunjukkin bahwa kita sering nilai orang pake kacamata budaya kita sendiri. Jeda dalam obrolan bisa bikin orang mikir, tapi bisa juga bikin orang lain ngerasa awkward. Nunduk pas ngobrol bisa dianggap sopan atau malah nggak jujur, tergantung budayanya.
Kuncinya? Sadar. Kalau kita berhenti sejenak dan mikir, “Eh, apa dia maksudnya lain?”, kita mulai bisa ngerti, bukan cuma nilai. Bukan soal hafal semua aturan budaya, tapi soal ngedengerin dengan hati.
Tips Biar Nggak Salah Paham
Salah paham nggak bisa hilang 100%, tapi bisa dikurangi kalau kita ramah dan penasaran. Nih, tiga cara gampang:
1. Lihat Maksud di Balik Kata
Jangan cuma denger kata-katanya, tapi coba pahami apa yang orang mau sampaikan. “Mungkin” bisa berarti “nggak”, dan diam bisa berarti “aku setuju”.
2. Tanya, Jangan Nebak
Kalau bingung, tanya aja dengan sopan. Cukup bilang, “Maksudnya gini, ya?” biar nggak salah sangka.
3. Belajar Sambil Jalan
Makin sering ngobrol sama orang lain dari budaya lain, makin jago kita nangkep isyarat kecil, Nggak perlu ganti jati diri, cukup tambah wawasan!
Cara-cara kecil ini bisa bikin orang lebih percaya sama kita, kurangi drama di kantor, dan
bikin pertemanan makin erat.
Cerita Nyata: Dari Bingung Jadi Nyambung
Bayangkan kamu lagi kerja bareng teman dari India di proyek online. Kamu tanya, “Jadi, kapan deadline nya?” Dia jawab, “Secepatnya, deh”. Kamu berpikir, “Oke, berarti minggu ini.” Tapi, seminggu kemudian, dia baru mengirimkan draft. Kesel? Eits, tunggu dulu. Di budaya India, “secepatnya” bukan berarti “santai saja, nanti selesai kok,” bukan buru-buru seperti di Indonesia.
Daripada marah, coba tanya, “Secepatnya itu kira-kira kapan, ya?” Ini membuat jelas tanpa membuat orang lain merasa disudutkan. Cerita seperti ini sering terjadi di grup belajar atau kantor yang lintas budaya. Di Indonesia, kita mungkin suka bilang “nanti” agar sopan, tapi bagi orang jerman, “nanti” bisa membuat mereka bingung karena terlalu samar.
Contoh lain, ketika ngobrol dengan teman dari Amerika, mereka suka bercerita panjang lebar tentang ide mereka. Untuk kita yang biasa to the point, ini bisa membuat, “Eh, intinya apa sih?” Tapi, di budaya mereka, bercerita panjang adalah cara untuk menyampaikan ide. jadi, coba dengarkan dulu, baru ringkaskan jika perlu. Lama-kelamaan, kamu akan jago membedakan mana yang cuma gaya ngomong, mana yang benar-benar penting.
Mulai dari Sekarang: Jadi Jembatan Budaya
Jadi, orang yang bisa beradaptasi dengan budaya lain tidak perlu jadi ahli antropologi. Mulai dari hal kecil aja. Misalnya, ketika bertemu orang baru dari budaya berbeda, coba tanya satu pertanyaan sederhana, seperti, “Di tempat kamu, biasanya ngapain kalau ulang tahun?”
Pertanyaan sederhana ini bisa membuka obrolan yang menyenangkan dan membuatmu belajar tanpa terasa berat. Atau, ketika berada di grup chat internasional, perhatikan kebiasaan orang lain. Ada yang merespons cepat, ada yang suka berpikir dulu. Jangan buru-buru menilai, “Kok dia lambat merespons, sih?” Mungkin bagi mereka, berpikir dulu adalah tanda serius. Di Indonesia, kita juga sering menggunakan “santai aja” untuk menjaga perasaan kan? Nah, coba beri ruang yang sama kepada orang lain.
Satu lagi, coba eksplor budaya melalui hal-hal yang menyenangkan, seperti menonton film dari negara lain atau mencoba resep makanan khas mereka. Misalnya, membuat kimchi ala Korea atau menonton film Bollywood. Ini cara yang asik untuk memahami cara orang lain berpikir dan hidup. Lama kelamaan, kamu akan lebih mudah beradaptasi.
Lebih dari Salah Paham: Ayo Nyambung!
Ngobrol itu nggak cuma soal bagi-bagi info, tapi juga bikin hubungan. Setiap budaya punya caranya sendiri nunjukin perhatian, hormat, dan jujur. Kalau kita belajar ngertiin perbedaan ini, salah paham bukan akhir dunia, melainkan kesempatan buat lebih deket.
Kata Liu dan timnya, emosi sama cara kita nunjukinnya agak kaku. Mereka berubah-ubah tergantung tempat dan orang di sekitar kita. Begitu kita sadar ini, dunia jadi nggak begitu bikin pusing, malah seru!
Jadi, lain kali kamu bingung sama reaksi orang, diam lama, senyum cuma sopan, atau pesan yang kayaknya “aneh”. Inget, pesan mereka mungkin tersembunyi. Kita nggak harus pake bahasa yang sama buat nyambung; cukup dengerin dengan hati terbuka. Komunikasi lintas budaya nggak perlu sempurna. Cukup sabar, penasaran, dan tetap jadi manusia.
Ditulis oleh:
1. Varelina Aulia F.
2. Yuni Sari Amalia S.S., M.A., Ph.D
Referensi:
Cowen, A. S., Brooks, J. A., & Prasad, G. (2024). How emotion is experienced and expressed
in multiple cultures: a large-scale experiment across North America, Europe, and
Japan, 15. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2024.1350631
Hayati, D., & Sinha, S. (2024). Decoding Silence in Digital Cross-Cultural Communication:
Overcoming Misunderstandings in Global Teams, 2(2).
https://doi.org/10.70211/ltsm.v2i2.60
Liu, M., Schwab, J., & Hess, U. (2023). Language and face in interactions: emotion
perception, social meanings, and communicative intentions, 14.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2023.1146494






















