3 Alasan Mengapa Kita Harus Resign dan Antara Posisi versus Kontribusi



Mengapa Saya Harus Resign?
oleh: Puji Norbawa, S.Pi.


Malam itu, terjadi kegalauan yang sangat mendalam. Mencoba menengok beberapa tahun lalu. Mengeja satu per satu potongan itu, kemudian mengevaluasi hari ini. Melihat satu per satu kawan yang masih bergairah mengejar mimpinya. Kemudian bertanya, apakah tempat ini sudah cukup untuk menampung mimpi - mimpimu waktu itu? Bermimpi besar dan hajar.


Lalu pertanyaannya? Kemana semangatmu waktu itu? Bukankah kamu orang gila, orang yang bekerja gila - gilaan, belajar gila-gilaan, bermimpi gila-gilaan. Bukankah kamu pernah melalui masa sulit, bahkan pula hampir - hampir gila sungguhan. 

Ketika orang tak lagi percaya dengan ide gilamu, menentangnya. Ingatkah? Kala itu kamu memutuskan untuk kuliah, hanya dengan modal tekadmu. Bahkan ketika uang sepeserpun ditangan kemudian kamu berkata kepada mereka yang meragukanmu, "Bukankah Allah Maha Kaya?"

Dan tanpa sadar kamu telah melampaui targetmu sendiri. 

Lalu, pertanyaannya? Kemana semangatmu waktu itu? Hilang kemana skil negosiasi kala itu? Kemana rimbanya kemampuan membangun organisasi yang pernah kamu lakukan? Membuat partai mahasiswa menjadi pemenang. Menyulap ruang kecil di pojok menjadi laboratorium. Menjadikan puluhan karya ilmiah. Mengasilkan dana puluhan juta. Bukankah itu skil membangun organisasi yang luar biasa? Kemuadian, bertanya lagi? Hilang kemana sekarang?

Pun kamu masih ingat, ketika merangkul orang - orang yang di remehkan. Kemudian mereka menjadi bersemangat, melecutkan potensi mereka. Hingga kamu melihat, mereka berubah menjadi orang - orang luar biasa. 

Kemudian kamu tersenyum puas, melihat mereka menjadi orang hebat. Ada kepuasaan yang tidak bisa dijelaskan, ada ketulusan, bukan untuk memanfaatkan. Itulah skil kaderisasi, kemudian bertanya lagi, hilang kemana sekarang?

Kemudian ada ketakutan, ketakutan untuk tidak bisa memberi nafkah. Bukankah masih begitu banyak tanggungan? Namun, cinta itu menguatkan. Menguatkan ketika dalam ketidakpastian. 

Pun diingatkan, bukankah berkumpul bersama keluarga itu adalah rizki yang tidak ternilai harganya? Bukankah bekerja adalah ibadah dan rizki itu urusan-Nya? Jika harus dihadapkan pilihan yang sama-sama baik, maka ambilah yang terbaik, yang lebih banyak manfaatnya. Kemudian keraguan kembali. 

Masih tentang keraguan dan ketidakpastian. Dan diingatkan lagi, bukankah Allah menjamin orang- orang yang taqwa? Dan jawabnya, bertaqwalah lebih dari sebelumnya agar lebih dijamin. 

Bukankah memang di dunia ini tidak ada yang pasti? Jika tidak ada yang pasti, maka kejarlah yang pasti yaitu akherat. Bukankah jika bersama itu lebih baik? Saling menjaga, berkumpul dalam kebaikan. Sehidup, sesurga. Aamiin.


Bulan ini, rekan kerja resign. Mereka bukan sekedar konco gawe biasa, tapi juga partner in crime dalam bermain, belajar, ngegosip, ngebully.

sambil ngelus perut dan bertanya: “situ kapan bro?”. Bagi generasi Millenials seperti kami, berganti pekerjaan bukanlah sesuatu yang tabu. Menurut statistik, 80% beranggapan bahwa waktu ideal bekerja di satu perusahaan adalah maksimal 3 tahun. 

Dan itu berarti kami bisa berganti pekerjaan hingga 15-17 kali dengan 5 bidang karier yang berbeda. Bahkan 55% generasi ini ingin membuka perusahaannya sendiri.

ada tiga syarat dimana kita wajib mengajukan surat cinta ini:

1. Mengalami Stagnansi
Masih melakukan pekerjaan yang persis sama seperti 2 tahun lalu? Maka ada dua kemungkinan. Pertama, Anda semakin ahli (specialist expert) atau kemungkinan kedua: Anda ga kemana-mana lagi (stagnant). Bagaimana membedakannya? Sederhana.

Cukup ajukan pertanyaan kepada diri sendiri: “Apakah saya belajar hal baru? Apakah saya bertemu orang baru? Apakah saya memberikan kontribusi baru?”. Jika jawabannya tidak, maka selamat bertemu dengan makhluk setengah dementor bernama stagnansi. Ia akan menyeret korbannya ke zona nyaman dan perlahan-lahan menyedot perkembangan hidup si korban.

2. Tidak ada Inspirasi
Ketika Anda bangun pagi dan berdoa ada badai salju agar tidak perlu ke kantor hari ini, maka itu adalah tanda tiadanya inspirasi. Saat Anda merasa bosan dan berharap segera pulang, maka itu adalah pertanda gairah yang hilang. Saat pekerjaan menjadi tuntutan kewajiban, maka setiap tanggung jawab terasa seperti beban.

Pekerjaan yang baik harus membuat Anda bersemangat bangun pagi, tertawa saat sibuk di siang hari, dan tersenyum ketika pulang di malam hari. Jika Anda tidak bahagia, berarti ada yang salah dengan pekerjaan Anda, atau cara Anda memaknai pekerjaan itu.

3. Mengejar Mimpi
Mark Zuckerberg mengembangkan Fecebook saat belum genap 20 tahun, Henry Ford memulai Ford Motor di usia 39, Colonel Sanders membuka gerai KFC pertama di umur 65. Intinya: orang akan mengingat karya Anda, bukan usia Anda. Tidak ada kata terlambat untuk melakukan perubahan yang membawa kebaikan.

Ketika Anda sadar jika Tuhan menciptakan Anda bukan untuk melakukan pekerjaan ini dan memiliki “panggilan” untuk melakukan sesuatu yang lain, maka waktunya mengikuti panggilan itu. Jangan membunuh suara hati kecil Anda.

Posisi versus Kontribusi

Bagaimana jika tujuan pindah kerja untuk mencari penghidupan (gaji) yang lebih baik? Tentu itu wajar dan manusiawi. 

Tapi anehnya, hampir semua orang hebat (entrepreneur, direktur, pejabat publik) yang saya temui dan baca biografinya tidak meletakkan bayaran sebagai motivasi utama. Mengutip Kiyosaki:

“Hanya kelas menengah yang bekerja demi gaji”. Oleh karena itulah, juga demi menghindari pajak, CEO perusahaan besar seperti Steve Jobs (Apple), Sergey Brin (Google), atau Lee Iacocca (Chrysler) hanya ‘digaji’ 1 dollar USD. (Tentu mereka mendapat benefit package lain senilai jutaan dollar yang dikenai pajak lebih kecil).

Bagi orang-orang keren ini, bayaran tak perlu dipikirkan. Hal itu pasti naik mengikuti pertumbuhan kualitas diri. Mereka tidak berkata: “Apa yang saya dapatkan?”, tapi justru malah bertanya: “Apa yang bisa saya berikan?”.

Mereka tahu perbedaan antara posisi dan kontribusi. Posisi itu alat. Kontribusi itu nilai. Orang kebanyakan lebih mementingkan posisi daripada kontribusi. 

Sedangkan mereka tahu jika kontribusi lebih penting daripada posisi. Kontribusi memberikan Anda posisi. Posisi mewajibkan Anda untuk berkontribusi. Kita tak perlu menunggu memiliki posisi, untuk menyumbangkan kontribusi.

Direktur itu posisi. Mengusulkan solusi itu kontribusi.

Pejabat itu posisi. Melayani orang lain itu kontribusi.

Guru itu posisi. Membagi ilmu itu kontribusi.

Dokter itu posisi. Membantu sesama itu kontribusi.

Polisi itu posisi. Melindungi yang lemah itu kontribusi.

Menjadi manusia itu posisi.

Menjadi makhluk ciptaan Tuhan dan berbuat kebaikan, Itu kewajiban.


sumber: http://www.norbawa.xyz/2016/04/mengapa-saya-harus-resign.html
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
   Puji Norbawa, S.Pi.
   Alumni Beastudi Etos Semarang
   Alumni FPIK Undip


Baca Juga:

Artikel Terkait

Previous
Next Post »