Ngomongin Sejarah Krisis 1998 di Korea Selatan yang Jadi Latar Waktu Drakor Twenty Five Twenty One



Campusnesia.co.id - Sabtu kemarin drama terbaru tvN resmi tayang lewat saluran tv dan streraming global Netflix judulnya Twenty Five Twenty One yang dibintangi aktor kenamaan Nam Joo Hyuk sebagai Baek Yi Jin dan Kim Tae Ri yang nyaris empat tahun vakum dalam drama come back membawakan peran sebagai Na Hee Do.

Baek Yi Jin adalah mahasiswa tingkat dua yang terpaksa putus kuliah, harus kerja paruh waktu karena orang tuanya bangkrut, sedang Na Hee Do adalah atlet Anggar yang klub sekolahnya harus dibubarkan karena tidak ada lagi pendanaan.

Muara masalah dalam film ini disebabkan karena IMF merujuk pada organisasi International Monetary Fund bahasa gampang untuk menyebut krisis ekonomi yang terjadi di Korea Selatan khususnya dan negara asia pada umumnya bermula sejak 1997 di Indonesia kita mengenalnya dengan krisis 1998.

Nah, selain menikmati dramanya sambil menunggu episode selanjutnya pekan depan, kali ini kami ingin mengajak pembaca untuk sama-sama belajar tentang sejarah krisis ekonomi di Korea Selatan yang jadi setting dram Twenty Five Twenty One dan bagaimana cara korsel bangkit serta keluar dari krisis hingga jadi salah satu negara yang besar seperti sekarang dari sisi ekonomi.

Krisis finansial Asia 1997
Wikipedia menyebut, Krisis keuangan Asia adalah periode krisis keuangan yang menerpa hampir seluruh Asia Timur pada Juli 1997 dan menimbulkan kepanikan bahkan ekonomi dunia akan runtuh akibat penularan keuangan.

Krisis ini bermula di Thailand dikenal dengan nama krisis tom yum kung. seiring jatuhnya nilai mata uang baht setelah pemerintah Thailand terpaksa mengambangkan baht karena sedikitnya valuta asing yang dapat mempertahankan jangkarnya ke dolar Amerika Serikat.

Waktu itu, Thailand menanggung beban utang luar negeri yang besar sampai-sampai negara ini dapat dinyatakan bangkrut sebelum nilai mata uangnya jatuh. Saat krisis ini menyebar, nilai mata uang di sebagian besar Asia Tenggara dan Jepang ikut turun, bursa saham dan nilai aset lainnya jatuh, dan utang swastanya naik drastis.

Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang terkena dampak krisis terparah. Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Filipina juga terdampak oleh turunnya nilai mata uang. Brunei, Cina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam tidak kentara dampaknya, namun sama-sama merasakan turunnya permintaan dan kepercayaan investor di seluruh Asia.

Rasio utang luar negeri terhadap PDB naik dari 100% menjadi 167% di empat negara besar ASEAN pada tahun 1993–96, lalu melonjak hingga 180% pada masa-masa terparah dalam krisis ini. Di Korea Selatan, rasionya naik dari 13% menjadi 21%, lalu memuncak di angka 40%. Negara industri baru lainnya masih lebih baik. Kenaikan rasio pembayaran utang ekspor hanya dialami oleh Thailand dan Korea Selatan.

Meski sebagian besar negara di Asia memiliki kebijakan fiskal yang bagus, Dana Moneter Internasional (IMF) turun tangan melalui program senilai US$40 miliar untuk menstabilkan mata uang Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, negara-negara yang terdampak parah dalam krisis ini. 

Upaya menghambat krisis ekonomi global gagal menstabilkan situasi dalam negeri di Indonesia. Setelah 30 tahun berkuasa, Presiden Soeharto terpaksa mundur pada tanggal 21 Mei 1998 di bawah tekanan massa yang memprotes kenaikan harga secara tajam akibat devaluasi rupiah. 

Dampak krisis masih terasa hingga 1998. Tahun 1998, pertumbuhan Filipina anjlok hingga nol persen. Hanya Singapura dan Taiwan yang agak terhindar dari krisis ini, tetapi keduanya sempat mengalami tekanan besar; Singapura ikut tertekan karena ukuran dan letak geografisnya antara Malaysia dan Indonesia. Tahun 1999, sejumlah analis mengamati bahwa ekonomi di Asia mulai pulih. Setelah krisis tahun 1997, ekonomi di Asia mulai stabil di bawah pengawasan keuangan.

Sebelum tahun 1999, Asia menarik hampir separuh arus modal ke negara berkembang. Negara-negara Asia Tenggara mempertahankan nilai tukar tinggi demi menarik investor asing yang mencari tingkat pengembalian saham tinggi. 

Hasilnya, Asia Tenggara menerima arus uang yang besar dan mengalami lonjakan harga aset. Pada saat yang sama, Thailand, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Korea Selatan mengalami tingkat pertumbuhan tinggi, PDB 8–12%, pada akhir 1980-an dan awal 1993. Prestasi ini diakui oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia dan dijuluki sebagai "keajaiban ekonomi Asia".


Penyebab Krisis 1997

Gelembung kredit dan nilai tukar tetap
Penyebab krisis ini masih diperdebatkan. Ekonomi Thailand berkembang menjadi gelembung ekonomi yang digerakkan oleh "dana panas" (dana yang masuk ke sebuah pasar hanya untuk keuntungan jangka pendek dan spekulatif). 

Seiring membesarnya gelembung, semakin banyak pula dana yang diperlukan. Situasi serupa terjadi di Malaysia dan Indonesia melalui "kapitalisme kroni". Arus modal jangka pendek mahal dan dirancang untuk meraup untung cepat. Dana pembangunan tersalurkan secara tak terkendali ke orang-orang tertentu saja, bukan orang yang pantas atau layak, melainkan orang yang dekat dengan pusat kekuasaan.

Pada pertengahan 1990-an, Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan memiliki defisit transaksi berjalan sektor swasta yang besar. Penerapan nilai tukar tetap meningkatkan pinjaman luar negeri dan memperbesar keterpaparan risiko valuta asing di sektor keuangan dan perusahaan.

Pada pertengahan 1990-an, serangkaian goncangan luar negeri mulai mengubah tatanan ekonomi. Devaluasi renminbi Cina dan yen Jepang setelah Perjanjian Plaza 1985, kenaikan suku bunga Amerika Serikat yang memperkuat nilai dolar A.S., dan penurunan harga semikonduktor menghambat pertumbuhan ekonomi.

Seiring pulihnya ekonomi Amerika Serikat dari resesi pada awal 1990-an, Federal Reserve Bank di bawah pimpinan Alan Greenspan mulai menaikkan suku bunga AS untuk menurunkan inflasi.

Keputusan ini menjadikan Amerika Serikat negara yang lebih menarik bagi investor dibandingkan Asia Tenggara. Asia Tenggara menerima arus dana panas berkat suku bunga jangka pendek yang tinggi dan tingginya nilai dolar Amerika Serikat. Bagi negara-negara Asia Tenggara yang mata uangnya dijangkarkan ke dolar AS, nilai dolar AS yang lebih tinggi membuat harga barang ekspornya lebih mahal dan kurang bersaing di pasar global. Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan ekspor Asia Tenggara melambat drastis pada musim semi 1996 sehingga memperburuk posisi neraca berjalannya.

Sejumlah ekonom menyebut pertumbuhan ekspor Cina sebagai salah satu penyebab melambatnya pertumbuhan ekspor negara-negara ASEAN. Namun demikian, para ekonom yang sama juga menyebut spekulasi properti berlebiihan sebagai penyebab utamanya.

Cina mulai bersaing secara efektif dengan negara-negara pengekspor di Asia pada tahun 1990-an setelah diterapkannya beberapa reformasi berorientasi ekspor. Ekonom lainnya mempertanyakan dampak Cina dan mengatakan bahwa ASEAN dan Cina mengalami pertumbuhan ekspor yang pesat pada awal 1990-an.

Banyak ekonom yang meyakini bahwa krisis Asia tercipta bukan karena psikologi pasar atau teknologi, melainkan kebijakan yang mengubah insentif dalam hubungan antara peminjam dan pemberi pinjaman. Besarnya pinjaman yang tersedia lewat kebijakan ini menciptakan ekonomi yang nilainya sangat terdongkrak (leveraged). Harga aset pun naik ke tingkat yang sangat rentan. Harga aset akhirnya jatuh dan membuat individu dan perusahaan tidak mampu membayar obligasi utang.


Kepanikan pemberi pinjaman dan penarikan kredit
Kepanikan yang terjadi di kalangan pemberi pinjaman memicu penarikan kredit besar-besaran dari negara yang mengalami krisis. Tindakan ini mengakibatkan penyusutan kredit dan kebangkrutan. 

Selain itu, ketika investor asing berusaha menarik uangnya, pasar valas dibanjiri oleh mata uang negara yang mengalami krisis sehingga memaksa depresiasi terhadap nilai tukarnya. 

Demi mencegah jatuhnya nilai mata uang, negara-negara yang mengalami krisis menaikkan suku bunga dalam negeri sampai puncaknya (mengurangi pelarian modal dengan membuat pemberian pinjaman lebih menarik bagi investor) dan turun tangan mencampuri pasar valas, membeli mata uang domestik berlebih apapun dalam nilai tukar tetap dengan cadangan valuta asing. Tak satu pun kebijakan yang dampaknya bertahan lama.

Selain mengacaukan ekonomi yang sehat-sehat saja, suku bunga terlampau tinggi juga mampu mengacaukan ekonomi negara rapuh. Di sisi lain, bank sentral semakin kehabisan cadangan mata uang asing yang jumlahnya terbatas. 

Ketika semakin jelas bahwa arus keluarnya modal dari negara-negara tersebut tidak dapat dihentikan, pemerintah menghentikan penerapan nilai tukar tetap dan mengizinkan mata uangnya mengambang. Nilai mata uang yang terdepresiasi berarti bahwa utang bermata uang asing terus bertambah dalam nilai mata uang nasional. Hal ini memicu kebangkrutan dan memperparah krisis.

Ekonom seperti Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs mengabaikan peran ekonomi riil dalam krisis ini dibandingkan dengan pasar keuangan. Laju cepat krisis ini membuat Sachs dan ekonom lainnya membandingkannya dengan fenomena penarikan massal (bank run) yang dipicu oleh goncangan risiko mendadak. 

Sachs menyalahkan kebijakan moneter ketat dan kebijakan kontraksi fiskal yang diterapkan oleh pemerintah atas saran IMF setelah krisis, sedangkan Frederic Mishkin menyalahkan informasi asimetris dalam pasar keuangan yang menciptakan "mental ikut-ikutan" di kalangan investor yang membesar-besarkan risiko kecil dalam ekonomi riil. Krisis ini menarik perhatian para ekonom perilaku yang sedang mempelajari psikologi pasar.

Salah satu dugaan penyebab goncangan risiko yang mendadak adalah penyerahan kedaulatan Hong Kong tanggal 1 Juli 1997. Sepanjang 1990-an, dana panas masuk Asia Tenggara lewat penghubung keuangan seperti Hong Kong. Para investor abai dengan profil risiko negara tujuan investasinya. 

Setelah krisis menerpa kawasan tersebut, diperparah dengan ketidakpastian politik terkait masa depan Hong Kong sebagai pusat keuangan Asia, banyak investor yang memutuskan untuk keluar dari Asia. Menyusutnya investasi malah memperparah kondisi keuangan di Asia dan mendorong depresiasi baht Thailand pada tanggal 2 Juli 1997.

Ada beberapa studi kasus terkait topik ini, misalnya penerapan analisis jaringan sistem keuangan yang menjelaskan kesalingterhubungan pasar keuangan dan pentingnya kelayakan penghubung atau titik utama. Eksternalitas negatif apapun di dalam penghubung menciptakan riak yang bergerak ke seluruh sistem keuangan dan ekonomi .

Menteri luar negeri dari 10 negara ASEAN yakin bahwa manipulasi mata uang direncankaan dengan sengaja untuk menggoyahkan ekonomi ASEAN. Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, menuduh George Soros mengacaukan ekonomi Malaysia melalui "spekulasi mata uang besar-besaran". Soros mengaku membeli ringgit saat nilainya jatuh dan melakukan jual kosong pada tahun 1997.

Pada Pertemuan Menteri ASEAN ke-30 di Subang Jaya, Malaysia, tanggal 25 Juli 1997, menteri luar negeri seluruh ASEAN mengeluarkan deklarasi bersama yang meminta penguatan kerja sama ASEAN untuk mempertahankan dan mengutamakan kepentingan ASEAN di bidang ekonomi.

Pada hari yang sama, kepala bank sentral dari seluruh negara yang terdampak krisis bertemu di EMEAP (Executive Meeting of East Asia Pacific) di Shanghai. Mereka gagal menyepakati New Arrangement to Borrow. Satu tahun sebelumnya, menteri keuangan dari negara-negara yang sama menghadiri pertemuan menteri keuangan APEC ke-3 di Kyoto, Jepang, tanggal 17 Maret 1996. Menurut deklarasi bersama tersebut, mereka tidak mampu menggandakan jumlah dana cadangan General Agreements to Borrow dan Emergency Finance Mechanism.

Krisis ini dapat dipandang sebagai kegagalan membangun kapastias untuk mencegah manipulasi mata uang. Hipotesis ini tidak banyak didukung oleh para ekonom. Mereka berpendapat bahwa tak satu investor pun yang mampu memengaruhi pasar dengan cara memanipulasi nilai mata uang. Selain itu, butuh perencanaan yang sangat besar untuk menarik investor dari Asia Tenggara agar bisa memanipulasi nilai mata uangnya.


Kondisi Korea Selatan saat Krisis
Korea Selatan adalah ekonomi terbesar ke-11 dunia pada 1997. Mereka memiliki landasan makroekonomi yang bagus namun perbankannya dibebani kredit macet. Utang berlebihan menuntun ke kegagalan besar dan pengambil-alihan. 

Contohnya, pada Juli, pembuat mobil ketiga terbesar Korea, Kia Motors meminta pinjaman darurat. Di awal penurunan pasar Asia, Moody's menurunkan rating kredit Korea Selatan dari A1 ke A3 pada 28 November 1997, dan diturunkan lagi ke Baa2 pada 11 Desember. 

Yang menyebabkan penurunan lebih lanjut di saham Korea sejak jatuhnya pasar saham di November. Bursa saham Seoul jatuh 4% pada 7 November 1997. Pada 8 November, jatuh 7%, penurunan terbesar yang pernah tercatat di negara tersebut. 

Dan pada 24 November, saham jatuh lagi 7,2 persen karena ketakutan IMF akan meminta reform yang berat. Pada 1998, Hyundai Motor mengambil alih Kia Motors.

Pada September 1993, Bank Dunia memberi predikat Korea Selatan sebagai salah satu “Keajaiban Asia” bersama Jepang dan Indonesia (CNN, 2018). Korea Selatan adalah salah satu negara dengan kekuatan ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7 hingga 9% per tahun (Kihwan, 1999). 

Hal ini juga dapat dilihat pada dekade tahun 1990-an, ekonomi Korea Selatan tumbuh secara mengesankan yang dibuktikan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 1995 yang mencapai 8,9% (Annissa, 2011) selama tiga kuartal pertama sebelum krisis. 

Selain itu, tingkat inflasi juga terkendali, sejak tahun 1993 inflasi relatif rendah, yakni antara 4% hingga 5% yang menyebabkan penurunan terhadap tingkat suku bunga nominal. Selanjutnya nilai tukar riil juga stabil. Tabungan domestik bruto juga terbilang tinggi melebihi 30% pada awal tahun 1995 hingga 1996 (Shalendra, 2003).

Kemudian fenomena defisit fiskal tahun 1980-an yang berkisar 2,5% dari PDB meningkat menjadi surplus pada tahun 1993 dan bertahan hingga awal krisis. 

Anggaran pemerintah juga hampir seimbang, antara 1990 hingga 1995, defisit transaksi berjalan Korea Selatan yaitu rata-rata 1,9% dari PDB. Namun, meningkat secara signifikan pada tahun 1996 menjadi 4,7% dari PDB atau senilai hampir US $24 miliar (Shalendra, 2003).

Defisit transaksi berjalan juga turun menjadi 2,5% dari PDB, dan pada pertengahan 1997 menjadi sekitar US $8,2 miliar atau 1,9% dari PDB (Shalendra, 2003). Sejak saat ini, gejala krisis ekonomi Korea Selatan mulai muncul. 

Berdasarkan data tahun 1997, terdapat beberapa indikator yang menyebabkan perekonomian Korea Selatan menurun dari 8,9% pada tahun 1995 menjadi 6,8% pada tahun 1996 (Annissa, 2011). 

Penurunan ini ditandai dengan defisit anggaran belanja yang sangat besar hingga mencapai US$15,2 milyar hanya dalam waktu 8 bulan pertama di tahun 1996. Kondisi ini jumlahnya dua kali lipat dari anggaran pada tahun 1995. 

Pada kenyataannya defisit mencapai 23,7% untuk keseluruhan tahun tersebut. Hal ini semakin ditambah lagi dengan harga komoditi ekspor Korea Selatan yang mengalami penurunan nilai produk petrokimia, baja, dan pembuatan kapal (Annissa, 2011).

Nilai ekspor melambat dari 33% pada tahun 1995 menjadi hanya 3% pada tahun 1996 (Saito, 1998). Kondisi ini diperparah dengan depresiasi mata uang Yen Jepang. Mata uang Jepang mengalami penurunan sebanyak 17% pada mata uang Won, sehingga membuat harga barang-barang Korea Selatan menjadi mahal di pasaran Asia Tenggara (Kihwan, 1999). Padahal, harga impor barang yang masuk ke Korea Selatan tidak berubah, meskipun volumenya turun sebanyak 11% sampai pertengahan tahun. 

Tanda-tanda lain yang menunjukan penurunan ekonomi Korea Selatan adalah meningkatnya hutang luar negeri secara cepat karena defisit perdagangan yang terjadi. Pada tahun 1996, hutang Korea Selatan diperkirakan sekitar US$100 milliar kepada kreditur internasional (Kihwan, 1999). 

Hal ini semakin membuat Korea Selatan menjadi negara ketujuh dengan jumlah hutang terbesar. 

Beberapa pengamat menyatakan bahwa Korea Selatan terlalu cepat mengembangkan industri di luar negeri dengan bergantung pada sumber pembiayaan hutang (Annissa, 2011). Meskipun utang luar negeri Korea Selatan meningkat secara signifikan pada dekade 1990-an, namun rasio utang per PDB pada tahun 1996 masih hanya 22%, yang berarti masih jauh di bawah tingkat kritis sebesar 48% yang ditentukan oleh Bank Dunia (Shalendra, 2003).

Menurut Saito (1998), selaku Direktur Regional Office for Asia and the Pacific IMF mengemukakan bahwa sejak tahun 1995 hingga awal tahun 1996 perekonomian Korea Selatan sedang dalam keadaan yang stabil.

Posisi laba perusahaan kuat, investasi tinggi, dan kapasitas produktif meningkat. Namun, pada tahun 1996 permintaan eksternal melemah disertai dengan hilangnya daya saing yang dihasilkan dari depresiasi mata uang Yen. 

Pertumbuhan investasi juga melambat, sebagian mencerminkan ketidakpastian politik yang berlangsung menjelang pemilihan Presiden pada masa pemerintahan Kim Young-Sam. Akibatnya, posisi laba perusahaan mengalami kerugian dan mengalami masalah arus kas, termasuk untuk melunasi hutang yang terakumulasi selama masa booming untuk membiayai investasi yang besar.

Ketika pinjaman bank tidak lagi tersedia, beberapa perusahaan Chaebol seperti Hanbo Steel, Jinro, Dianong, New Core Group, dan KIA Motors mengalami kebangkrutan.

Sebagai konsekuensinya, pembayaran kredit terhambat, asetaset perbankan semakin menipis dan neraca perdagangan melemah. Kondisi ini mengurangi kepercayaan kreditur luar negeri yang ragu terhadap bankbank di Korea Selatan sehingga kesulitan untuk mengumpulkan pendanaan baru. 

Pada saat yang sama, sejumlah bank yang terdiri dari merchant banks, menghadapi masalah likuiditas untuk membayar utang jangka pendek yang akan jatuh tempo. Pemerintah dan Bank of Korea menanggapi masalah ini dengan menyuntikkan dana likuiditas dan memperkenalkan langkah-langkah untuk memfasilitasi aliran likuiditas ke perusahaan yang sedang “sakit” tersebut. 

Pemerintah Korea Selatan juga mengumumkan untuk meningkatkan kepercayaan diri bank yang mengalami defisit. Meskipun demikian, langkah-langkah ini sebagian besar tidak efektif dalam memulihkan kepercayaan kreditur. 

Korea Selatan saat ini telah terintegrasi ke dalam sistem pasar global, di mana faktor kepercayaan kreditur memainkan peran penting. Dalam kondisi demikian, respons kebijakan harus berubah, misalnya, menutup bank yang bermasalah. 

Pada umumnya, kebijakan ini membantu meningkatkan kepercayaan perekonomian dan mampu memfasilitasi pembiayaan eksternal. Namun, tetap saja tidak berkontribusi besar terhadap pemulihan ekonomi Korea Selatan. 

Melemahnya nilai tukar mata uang Won di pasar saham mencapai angka 10% (Saito, 1998). Sebelumnya juga, pada akhir musim panas, pasar keuangan Korea Selatan mengalami kepanikan karena para investor bersiap-siap menarik modal mereka. 

Hal ini ditambah lagi dengan krisis mata uang di Asia Tenggara yang dialami oleh Thailand dan Indonesia (CNN, 2018). Kondisi ini dapat dimengerti karena sebagian besar produk Korea Selatan di ekspor ke wilayah Asia Tenggara, sehingga kekacauan ekonomi yang terjadi di Asia Tenggara pasti memberikan dampak yang cukup berarti bagi Korea Selatan (Annissa, 2011, p. 29).

Sebagai respon terhadap kondisi pelemahan ekonomi domestik, Wakil Perdana Menteri Mr. Lim Chang-Yeol mengumumkan bahwa Pemerintah telah meminta dukungan IMF untuk melaksanakan program stabilisasi ekonomi dan reformasi kebijakan struktural. Program ini dibawa ke Dewan Eksekutif IMF dan disetujui pada 4 Desember 1997. Sejak saat itu, pemerintah Korea Selatan mulai memperkuat program tersebut atas mpendampingan intensif dari Dewan IMF (Saito, 1998).

Korea Selatan tidak dapat menemukan cara lain untuk keluar dari krisis moneter yang melanda negaranya pada saat itu. Bantuan keuangan IMF senilai US$57 miliar telah diumumkan oleh pemerintah yang terdiri dari paket darurat pertama berjumlah US$21 miliar dan paket tambahan US$14 miliar yang diberikan oleh Asian development Bank dan World Bank disusul bantuan Amerika Serikat dan Jepang dengan tambahan sebesar US$23 miliar. 

Namun IMF memberikan bantuan keuangan tersebut dengan syarat bahwa Korea Selatan harus melakukan reformasi kebijakan ekonomi. Tujuan utamanya dari program ini adalah untuk menstabilkan nilai tukar dan membendung efek inflasi lain dari depresiasi mata uang.

Korea Selatan secara tidak langsung terpaksa harus berhutang kepada IMF dikarenakan kondisi perekomiannya yang terpuruk. Hal tersebut menjadikan IMF mengambil peran dalam menentukan kebijakan ekonomi Korea Selatan. Meskipun demikian, pemerintah Korea Selatan secara perlahan berhasil memulihkan negaranya dari krisis moneter tersebut dengan membayar hutang IMF tiga tahun lebih cepat dari rencana pembayaran yang disepakati. 

Tidak hanya itu, Pemerintah Korea Selatan juga tidak ingin bergantung pada hutang IMF. Keberhasilan Korea Selatan untuk mengatasi krisis ekonomi nasional mengembalikan citra Korea Selatan sebagai negara yang mandiri (BBC, 2016).


Strategi Korea Selatan Keluar dari Krisis Ekonomi 1997

Dalam artikel yang ditulis oleh Ririn Darin (2010) yang berjudul “Park Chung-Hee dan Keajaiban Ekonomi Korea Selatan” dijelaskan beberapa kebijakan Park Chung-Hee yang memiliki kontribusi besar dalam perekonomian Korea Selatan.

Pemerintahan Park Chung-Hee berusaha merangkul masyarakatnya untuk ikut andil dalam memajukan perekonomian Korea Selatan. 

Selanjutnya, dalam artikel tersebut juga dinyatakan bahwa terdapat empat kebijakan pokok Presiden Park Chung-Hee pada masanya. Pertama, kebijakan pembentukan Badan Perencanaan Ekonomi yang bertugas untuk menyusun perencanaan dan tujuan yang ingin dicapai oleh Korea Selatan untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian serta pembangunan ekonomi dan pemerataan pembangunan (Darini, 2010). 

Kedua, kebijakan ExportOriented Industri (EOI) yang bertujuan untuk mengembangkan perusahaan industri ringan di dalam negeri yang dapat meningkatkan pendapatan  negara. Ketiga, kebijakan pengembangan industri berat yang bernama Heavy Chemical Industri (HCI). 

Industri ini meliputi perusahaan produsen mesin-mesin berat, kapal laut, otomotif, petrokimia, dan baja. Keempat, kebijakan modernisasi pedesaan yang bertujuan untuk pemerataan pembanguan daerah pedesaan. 

Berkembangnya industri tidak sejalan dengan perkembangan pertanian di pedesaan. Sebagai respon, pemerintah Korea Selatan, Park Chung Hee, membuat sebuah gerakan Saemaul Undong yang berarti modernisasi desa yang menghasilkan peningkatan pendapatan petani desa (Darin, 2010).

Dalam tesis yang berjudul “Keberhasilan Korea Selatan dalam Mendukung Industri Galangan Kapal sebagai Agenda Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi, Studi Kasus Keberhasilan Hyundai Heavy Industries” yang ditulis oleh M. Zuhaldi Feriawan Wijaya (Wijaya, 2017). Dalam penelitian tersebut, dijabarkan bahwa kebijakan Pemerintah Korea Selatan tentang industri Kapal dari perusahaan Hyundai Heavy Industries (HHI).

Perusahaan tersebut menjadi perusahaan kapal terbesar dan tersukses di Korea Selatan dengan permintaan yang selalu meningkat pesat setiap tahunnya ditinjau dari data yang disajikan peneliti. Industri ini turut membantu kemajuan ekonomi Korea Selatan ketika mengalami Krisis Moneter karena sudah berdiri sejak tahun 1970. 

Sehubungan dengan berdirinya industri tersebut, Korea Selatan akhirnya membuka empat
pelabuhan. Tinjauan selanjutnya adalah bersumber dari tulisan “Financial Crisisin Korea and IMF: Analysis and Perspectives” oleh Lee yang menjelaskan tentang penyebab krisis moneter di Korea Selatan tahun 1997. 

Menurut Lee (1998), pada dasarnya pemerintah Korea Selatan sangat anti IMF mengingat dampak pinjaman IMF sangat mengerikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ada pun penjelasan Lee bisa diringkas menjadi empat dampak pahit IMF bagi Korea Selatan yang meliputi beban suku bunga tinggi yang mencapai 30%. 

Konsekuensinya, Korea Selatan menghadapi persoalan antara lain, peningkatan beban hutang, krisis mata uang, pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran karena perusahaan sudah tidak menerima dana dari bank, dan yang terakhir adalah untested presiden (Lee, 1998). 

Tinjauan selanjutnya berdasarkan jurnal yang berjudul “The South Korean Crisis of 1997 and its Aftermath: The Legacy of the Developmental State and the Importance of State capacity in Post-Crisis Adjustment” yang ditulis oleh M. Mustafa Erdogu. Dalam jurnal tersebut terdapat tiga pembahasan utama. 

Pertama, Erdogu meneliti dan berusaha membuktikan argumennya tentang sejauh mana perkembangan Korea Selatan sebagai penyebab krisis ekonomi Asia. Kedua, digunakannya perspektif kritis tentang peran IMF dalam dan pasca krisis moneter yang terjadi tahun 1997. Ketiga, perhatian difokuskan pada dinamika yang mendasari proses pemulihan Asia era pasca-krisis di Korea Selatan. 

Penyebab terjadinya krisis adalah liberalisasi keuangan yang tidak terkendali. Krisis 1997 sebagian besar disebabkan karena liberalisasi pasardan arus modal yang mengarah pada ketergantungan berlebihan terhadap sektor swasta. 

Pada tahun 1997, pemerintah Korea Selatan tidak dapat menemukan cara untuk keluar dari
krisis moneter yang melanda negaranya, sehingga memaksa pemerintah menerapkan program darurat dari IMF pada November 1997 (Sohn, t.t). 

Pada awal 1998, pemerintahan Kim Dae-jung yang baru terpilih mulai mereformasi sektor keuangan yang tidak efisien dengan menggunakan empat pendekatan (Sohn, t.t). 

Pertama pemerintah harus menutup atau menggabungkan lembaga keuangan yang bangkrut dan memperkuat basis modal “Viabel Ones” yang membutuhkan penghapusan nonperforming loans pada lembaga terkait dan rekapitalisasi lembaga keuangan melalui Public Funds maupun investasi luar negeri. 

Kedua, sistem regulasi perlu direformasi agar menciptakan transparansi dan akuntabilitas. 

Ketiga, deregularisasi berkelanjutan dan liberalisasi pada pasar keuangan diperlukan untuk mendukung investasi asing dan menunjukkan komitmen untuk mereformasi finansial. Terakhir, pemerintah harus mengembangkan kapasitas kelembagaan untuk melakukan reformasi ini (Mo, t.t).

Beberapa laporan menunjukkan bahwa krisis keuangan Korea Selatan pada tahun 1997 merupakan akibat dari masalah struktural yang membuat neraca lembaga keuangannya rentan terhadap guncangan eksternal. 

Kerentanan keuangan patut mendapat perhatian khusus, karena pemerintah Korea Selatan mengusahakan strategi pertumbuhan yang tinggi untuk meminimalisir lemahnya pengawasan keuangan dalam negeri. 

Oleh karena itu, langkah-langkah reformasi harus dilakukan di seluruh sektor keuangan dan perusahaan secara bersamaan. Restrukturisasi ini sangat penting karena perusahaan yang bangkrut adalah sumber masalah keuangan di Korea Selatan.

Dalam Desertasi yang ditulis oleh bapak Tulus Warsito saat ujian doktor di UGM, krisis ekonomi 1997 di Korea membuat rakyatnya bersatu untuk segera keluar dari masalah ekonomi mereka, maka tak heran justru pasca krisis 1998 korea menjadi negara yang maju hingga sekarang.

Dalam desertasi berjudul "Demokratisasi Pasca Krisis 1997 di Korea Selatan (Studi Hubungan Industrial)", beliau menyimpulkan bahwa pihak-pihak dalam hubungan industrial Korea Selatan beranggapan Krisis 1997 sebagai fakta politis, sebagai kenyataan ekonomi politik, sebagai musuh bersama, yang mempersempit pilihan-pilihan politik mereka sering bertikai karena pokok kepentingan mereka memang berbeda, maka dengan munculnya krisis 1997 pilihan mereka menjadi terbatas. Mereka meyakini bahwa pilihannya adalah maju bersama menanggulangi krisis atau hancur bersama. Rasionalitas semacam itulah yang menumbuhkan percepatan proses demokratisasi diantara mereka. (ugm.ac.id)


Itu tadi sobat campusnesia, postingan kita kali ini tentangSejarah Krisis 1998 di Korea Selatan yang Jadi Latar Waktu Drakor Twenty Five Twenty One. Menarik ya semoga bermanfaat.


Sumber: 
- Strategi Korea Selatan dalam Pemulihan Krisis Moneter Tahun 1997 Melalui IMF, Yola Natasyah Kaloka, Putri Tegar, M. Eldy - April 2019

- Solusi Krisis ala Korea Selatan, ugm.ac.id

- Krisis finansial Asia 1997, id.wikipedia.org


Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Silahkan komen guys..
EmoticonEmoticon