Pasang Surut Sosial Media dan Pengaruhnya Terhadap Bisnis UMKM



Campusnesia.co.id -- Too Big to  Fail, istilah untuk menggambarkan sebuah realita jatuh atau hancurnya sesuatu yang dirasa mustahil karena "sudah terlalu besar". Tapi kenyataan kadang tak sesuai harapan, demikian adanya sejarah mencatatnya.

Dalam kontek ekonomi, amerika adalah negeri adidaya yang menjadi patokan dan kiblat dunia. Ekonominya mendominasi hingga orang beranggapan mustahil goyah. Namun, sejarah mencatat peristiwa bubble ekonomi dan krisis tahun 2008 menjadi terjemahan valid untuk istilah too Big to fail.

Pun demikian dalam dunia bisnis, tak ada yang tak mungkin. Sebut saja bagaimana dampak era digital pada industri koran dan media cetak.

Bahkan sekelas raksasa teknologi seperti Yahoo pun mengalaminya, apalagi sekedar sosial media.

Sosial media dari masa ke masa
Tahun 2002 muncul sosial media yang dikemudian hari akan jadi trend yaitu Friendster, bahkan di masa jayanya sempet hendak mengakuisisi Facebook yang baru lahir di tahun 2009.

Kalah dalam inovasi, friendsterpun kalah saing dan ditinggalkan oleh penggunanya.

Di saat bersamaan, lahir dan berkembanglah sosial media lain seperti facebook, twitter, instagram, path, google+.

Twitter mulai ditinggalkan penggunanya sementara Google+ mengumumkan mengakhiri layananya 2 april 2019 lalu.

Sedangkan Path, sudah setahun lalu menutup layananya 18 oktober 2018.

Tahun ini, urutan sosial media dengan pengguna terbanyak masih didominasi oleh Facebook dengan pengguna aktif 2 milyar, disusul instagram yang juga sudah diakuisi facebook dengan pengguna 1 milyar. Berikutnya ada LinkedIn dan twitter.

Sosial mesia dan bisnis 
Sepertinya sudah jadi pola tersendiri sejak era keemasan Twitter, sosial media yang sedang Hits dan menanjak popularitasnya akan digunakan sebagai media dan sarana jualan.

Di tahun 2012 hingga 2014 twitter populer sebagai media promosi dan jualan yang efektif. Perlahan digeser oleh facebook dan mulai meredup. Facebook bahkan hadir dengan fitur khusus jual beli dan terobosan FB ads nya.

Berselang bebebrapa waktu, netijen mulai hijrah ke Instagram yang populer sebagai sosial media berbasis gambar dan foto, para penjual buru-buru beralih ke sana.

Fenomena ini menarik bagi saya, era media sosial membuka peluang bagi siapa saja untuk bisa berjualan dan nyaris apa saja bisa dijual. 

Tapi ada fenomena juga, para penjual yang hanya menggunakan sosial media sebagai sarana utama "toko online" nya. Berganti-ganti dan migrasi sesuai "trend".

Satu hal yang perlu diingat, trend sosial seperti yang kita bahas di awal selalu naik turun dan fluktuatif sesuai perkembangan teknologi dan selera netijen.

Solusinya
Bagi rekan-rekan yang selama ini hanya menggunakan sosial media sebagai toko online dan sarana jualan, harus mulai berfikir media yang cenderung stabil dari tahun-ke tahun.

Ibarat sosial media adalah "stand pameran" kita harus punya "kantor" atau tempat tetap yang bisa dikunjungi kapan saja sebagai tujuan utama.

Dalam hal ini, toko online berupa website wajib dimiliki agar tidak bergantung dengan sosial media.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »