Dari Blora Menggapai Taiwan



INGATANKU begitu kuat menyimpan cerita pada saat saya pertama kali menginjak kampus Institut Pertanian Bogor. Bersama Ayah, saya melintasi Gerbang Berlin yang kokoh membatasi area kampus dan pemukiman penduduk di Kampus IPB Dramaga di Bogor, Jawa Barat. Gerbang Berlin adalah salah satu ikon Kampus IPB.

Datang pada sore hari saat turun hujan, cuaca yang sangat akrab di kota ini. Karena baru pertama kali, kegiatan yang paling tepat adalah berkeliling. Melewati Tugu Kujang, lalu Botani Square sembari melihat lalu lintas kendaraan dan manusia di salah satu sudut Buitenzorg, sebutan yang diberikan pemerintah Hindia Belanda untuk Bogor. Bangunan kuno lebih banyak ditemui di Kampus Pasca Sarjana dan Diploma IPB. Bangunan kuno justru menyiratkan kekokohan ketimbang gedung baru.

Kesan pertama dengan kampus IPB, mengagumkan buat saya. Sebentar bersantai, saya kembali berfokus dengan tujuan datang ke Bogor setelah saya dan Ayah menempuh perjalanan panjang ratusan kilometer di atas Bus Malam dari Blora, Jawa Tengah.

Saya menengok pesan pendek dari seorang mahasiswa IPB sekaligus kakak angkatan di SMA di Blora. Pesan itu berisi petunjuk jalan yang memandu saya memilih angkutan umum di sekitaran IPB. Singkat cerita, saya sampai di Pohon Pangkot, ikon lain di kampus IPB.

Berteduh sebentar di bawah pohon, seorang laki-laki pemberi petunjuk itu menghampiriku. Panggilannya Aga, mahasiswa Manajemen Hutan IPB angkatan 45 atau angkatan setahun di atasku. Angkatan di kampus ini diurut sejak angkatan pertama. Berbeda dengan kampus lain yang lazim menandai angkatan dengan mengacu tahun masuk: Angkatan 2010, 2011, dan seterusnya.

Kendati lebih senior, Aga merupakan kawan satu tim Olimpiade Biologi di SMA. Kami bertemu setiap ada bimbingan guru biologi. Setelah dia lulus, setahun berpisah, kami ditakdirkan bertemu lagi. Saya diterima di jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Fakultas ini dikenal dengan sebutan Fakultas Merah.

Aga menjemput dan menawarkan saya dan Ayah tinggal sementara di indekosnya. Tawaran ini sangat membantu saya yang bakal disibukkan dengan registrasi ulang. Nantinya, sebagai mahasiswa baru saya wajib tinggal di Asrama Tahap Persiapan Bersama (TPB).

Di tahun pertama ini saya juga menerima beasiswa Dompet Dhuaha yaitu Beastudi Etos. Karena harus menjalani tinggal di asrama mahasiswa IPB, maka semua Etoser angkatanku tidak tinggal di Asrama Etos. Karena aturan ini, sudah lazim di Asrama Etos hanya berisi dua angkatan. Kendati demikian, angkatan termuda tetap mengikuti pembinaan dan kegiatan program Etos.

Kuliah di Kampus IPB saya meniatkan dengan obsesi tertinggi yaitu menuntut ilmu di kampus mancanegara. Salah satu yang menginspirasi obsesi itu adalah seorang mahasiswa berprestasi, Galih Nugroho, mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan.

Ia kerap mengisi acara untuk motivasi semangat mahasiswa baru. Beragam prestasi membawa Galih terbang ke beberapa negara. Tak sekadar mengunjungi, di sana ia mengharumkan nama Indonesia dengan torehan prestasinya. Kisah yang dialami Galih membuatku bersemangat menirunya.

Saya mulai dengan memilih program di kampus yang memberiku peluang seperi Galih, terbang ke luar negeri. Beberapa rencana tak berjalan mulus. Namun setiap aral itu, saya berusaha keras mengambil pengalaman dan hikmah. Di setiap kegagalan saya belajar, bersyukur dan bertawakal bahwa setiap orang memiliki takdir masing-masing yang sudah dialokasikan Allah. Yang penting bagaimana saya mengambil pelajaran baik dari setiap takdir itu.

Tak pernah terbesit di benakku untuk menyerah, karena saya meyakini pasti ada rencana indah Allah di hari mendatang. Yang kita lakukan saat menunggu tibanya rencana indah itu adalah mengeksplorasi usaha yang kita mampu. Dan yang tak bisa dilupakan adalah mengiringinya dengan doa.

Rencana indah itu benar-benar saya temui pada awal 2013. Terpilih sebagai delegasi Indonesia dalam The Green Leader Youth Energy Summit (GLYES) 2013 saya merasakan perjalanan udara ke Manila, Filipina. Penerbangan ke Filipina adalah pengalaman pertama menunggang pesawat udara.

Tentunya, di setiap yang pertama, pasti meninggalkan kesan yang kuat dan mendalam. Mulai dari pesawat menembus gugusan awan, melihat isi permukaan bumi yang terlihat mengecil, membuat saya takjub. Dalam perjalanan itu saya juga bertemu dengan banyak pejabat pemerintah.

Acara GLYES digelar oleh De La Salle University, Philippine Scholars Alliance (PSA), dan World Youth Alliance Asia Pacific (WYAAP) pada 27 Februari – 2 Maret. Tema yang diusung “Towards an Energy Efficient and Sustainable Future.” Perhelatan akbar ini berupa seminar, character building, diskusi dan gelar teknologi. Selain mewakili Indonesia, saya juga mengenalkan nama Beastudi Etos. Acara ini diikuti peserta dari lembaga yang sudah mendunia seperti United State Agency for International Development (USAID), Asian Development Bank (ADB), dan World Wildlife Fund (WWF),

Sedikit mengenai GLYES adalah acara yang digelar untuk mendorong penggunaan energi yang efisien di kalangan pemuda sebagai generasi penerus. Program ini senafas dengan gerakan restorasi lingkungan yang banyak diterapkan di berbagai negara. Tujuannya menjaga keseimbangan ekosistem dan pasokan energi terbarukan.

Topik lain adalah tentang peningkatan akses energi terbarukan. Materi ini dibawakan Erwin Paul C. Serafica dari Asian Development Bank. Paul menjelaskan seputar energi terbarukan menurut kerangka kebijakan Asosiasi Energi Terbarukan di Filipina. Mario Marasigan dari Departemen Energi Filipina juga membawakan materi proyek-proyek yang dikerjakan Pemerintah Filipina terhadap Pengembangan Energi Terbarukan seperti energi matahari, angin, biomassa, dan tenaga air. Energi terbarukan merupakan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan.

Profesor Hideaki Kasai dari Graduate School of Engineering, Universitas Osaka, Jepang, juga ikut hadir dalam acara itu. Hideaki   mengulas permasalahan energi dan isu lingkungan dengan menggunakan desain bahan komputasi berupa teknik dan teknologi baru. Di acara ini juga saya berkesempatan menguji mantel nano-teknologi anti-panas yang dikenalkan Edmund S. Lee, President Trendway Builders, Inc. di Filipina.

Beragam informasi itu membawa saya mengingat potensi-potensi energi terbarukan yang banyak tersebar di Indonesia. Termasuk di kampung halamanku di Blora. Beberapa potensi energi alternatif di Blora yaitu energi biomassa berupa jagung.

Pulang dari Filipina saya kembali ke rutinitas kampus. Berjibaku dengan peralatan laboratorium dan bahan kimia. Penelitian dan tugas akhir menjadi agenda utama bagi mahasiswa di tingkat akhir perkuliahan. Di tengah kesibukan itu, saya bersama Ilham Marvie, dan Hidayatul Munawaroh, rekan Beastudi Etos, mencoba peruntungan mengikuti Annual International Scholarship Conference (AISC) di Taichung, Taiwan pada akhir April 2013.

Untuk mengikuti acara itu dibutuhkan perjuangan. Kami harus bertarung dengan membuat satu paper berbahasa Inggris. Paper itu akan dipresentasikan dalam AISC yang digelar Forum Mahasiswa Muslim Indonesia Taiwan (FORMITT) bekerja sama dengan Indonesia Committee for Science and Technology Transfer in Taiwan (IC3T) itu.

Proses seleksi berhasil kami menangkan. Perjuangan selanjutnya mengumpulkan ongkos ke Taiwan. Beragam usaha kami lakukan salah satunya dengan berjualan brownies. Beberapa alumni dari Paguyuban Alumni SMA Negeri Blora Angkatan 77 dan Ikatan Alumni SMA Negeri Blora ikut menyumbang. Beastudi Indonesia dari Dompet Dhuafa juga ikut membantu.

Saya banyak merapal doa selama proses seleksi. Keyakinan yang kuat menjadi bahan bakar untuk tidak mudah menyerah dan terlena, terutama ketika menghadapi aral. Bagi saya di setiap impian pasti berbuah keberhasilan, ada harapan berujung keniscayaan, ada tujuan berbalas ketercapaian, ada cita berwujud kenyataan, dan ada do’a berimbas pada keijabahan. Satu per satu harapan itu tergores dan menjadi cerita manis.

Tiba lah saatnya saya terbang ke Taiwan. AISC di Taiwan merupakan event tahunan keempat yang digelar pada 2013. Di negeri Formosa itu acara dihelat dengan kerja sama Asia University, Taiwan. Hari pertama AISC peserta mengikuti kuliah umum berisi cerita sukses tokoh technopreneurship dari Taiwan dan Indonesia.

Hari kedua giliran kami mempresentasikan paper berjudul “The Utilization of Methyl Ester Sulfonate Surfactant of Jatropha Curcas L. As High Power Clean, Renewable and Biodegradable Detergent”. Produk kami terpilih sebagai best paper.

Hari ketiga diisi dengan fieldtrip di Johnford Company, perusahaan yang memproduksi mesin industri maupun transportasi. Banyak manfaat dari kunjungan industri ini. Kami melihat bagaimana para ahli bekerja dengan mempraktikkan teknologi tinggi. Setelah itu kami berwisata alam di Danau Sun Moon. Di Taiwan saya juga bertemu dengan Galih Nugroho, senior di almamater IPB yang sedang meneruskan pendidikan Strata-2. Perjumpaan itu saya sangat mensyukurinya karena dapat menyerap pengalamannya.

Melancong ke Filipina dan Taiwan menambah pengalaman saya. Yang menambah rasa syukur adalah kedatangan ke negara seberang itu dengan tekad kuat. Bagi saya setiap orang mampu mewujudkan impiannya. Syaratnya meyakini firman Allah yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka.”

Artikel Terkait

Previous
Next Post »