Belajar dari 7 Start Up Lokal yang Gugur, dan Penyebabnya



Sobat campusnesia, beberapa tahun terakhir ini indonesia mulai ramai dengan yang namanya bisnis anak muda dengan teknologi dan internet yang kekinian, nama kerenya StartUp walau makna harfiahnya adalah semua bisnis atau usaha yang baru mulai dirintis atau dijalankan, tetapi bila kita menyebut StartUp maka akan identik dengan bisnis yang berbasis teknologi dan internet. Misalnya Ecomerce, Game dan aplikasi.

Bila melihat kesuksesan Google, Amazon atau Ebay siapa yang tidak tergiur untuk terjun ke bisnis startUp digital ini, tidak jauh-jauh di dalam negeri ada kaskus, Tokopedia, Bukalapak atau Gojek yang makin hari makin besar.

Tetapi ibarat pepatah tak ada yang abadi dan roda kehidupan terus berputar, bila di atas ada sederet kisah sukses perusahaan dan startUp teknologi ada juga yang gagal sebut saja sekelas Yahoo dan Multiply. 

Pertanyaanya bagaimana dengan starup di indonesia adakah yang juga mengalami kegagalan? jawabanya ada, dan berikut redaksi kutip dari thread menarik di Kaskus Lounge mari kita simak bersama dan ambil hikmahnya.

1. YesBoss



Perusahaan startup YesBoss mengumumkan hendak menutup layanan asisten virtualnya pada akhir Oktober ini. Hal ini ditegaskan dalam perubahan waktu operasional menjadi Senin sampai dengan Jumat, pada pukul 11.00-20.00 saja. Ternyata, YesBoss sedang menyiapkan sesuatu yang baru yakni Kata.ai.

Jika sebelumnya YesBoss menyediakan layanan asisten pribadi berbasis teks, sekarang mereka melakukan perubahan bisnis menyediakan platform conversational untuk menghubungkan pemilik merek dengan konsumen melalui teknologi chatbot. Produk terbaru yang diberi nama Kata.ai ini memanfaatkan software artificial intelligence, yakni dengan memakai mesin dialog Natural Language Processing/ NLP.

Untuk memastikan visi ini berjalan dengan baik, ahli Deep Learning dan NLP, Jim Geovedi, juga turut bergabung dalam jajaran tim Kata.ai sebagai Technology Advisor. Sebelum peluncuran resmi Kata.ai, YesBoss sudah bekerja sama dengan Microsoft, hingga perusahaan penyedia contact center Infomedia Nusantara, dan penyedia layanan perdagangan elektronik aCommerce, untuk memuluskan jalan mereka bekerjasama dengan ratusan merek berskala nasional dan perusahaan di berbagai industri. Penasaran ya kayak apa jadinya nanti kalo semua merek sudah menggunakan chatbot untuk melayani customernya?


2. Diana


Diana, layanan asisten pribadi virtual yang digarap oleh tim di bali Sribu dan Sribulancer ini menghentikan layanannya. Secara total, Diana hanya beroperasi selama 7 bulan sejak perkenalannya di awal September 2015. Penghentian layanan Diana ini berangsur mulai dari pengurangan jam operasional, menghentikan ketersediaan aplikasi di Play Store dan mengurangi jumlah karyawan. 

Alasan terkait penutupan layanan ini dikabarkan karena mereka tidak berhasil mendapatkan investasi eksternal untuk mendanai kebutuhan operasionalnya. Meski Diana sudah menghentikan layanannya, namun Sribu dan Sribulancer tetap beroperasi seperti biasa.

3. Shopious



Shopious yang awalnya didirikan pada tahun 2013 ini memiliki model bisnis sebagai marketplace fashion C2C (Customer to Customer). Lalu pada awal 2014, Shopious melakukan pivot menjadi agregator toko fashion di Instagram. Pivot sendiri adalah sebuah istilah yang cukup familier di dunia startup, di mana perusahaan sedang mempersiapkan untuk berpindah rencana bisnis dari A ke B karena model bisnis A tidak berjalan baik. Pedagang hanya perlu mendaftarkan diri dan membayar biaya berlangganan agar akun Instagram mereka terintegrasi dengan platform Shopious. Dengan begitu, penjual bisa mendapatkan audiens yang lebih luas; bukan cuma teman atau followers mereka di Instagram aja. 

Menurut Founder Shopious Aditya Herlambang, tutupnya Shopius bukan karena mereka kehabisan dana. Hal ini disebabkan oleh beberapa masalah, di antaranya biaya marketing seperti SEO, SEM dan sebagainya semakin tinggi dan kompetisi berat dengan startup berkantong tebal. Ia mengaku kecewa dengan startup scene di Indonesia, yang menurutnya berbeda dengan Silicon Valley. Di Silicon Valley, startup berkompetisi dengan membuat produk dan layanan yang lebih baik. Di Indonesia, startup bersaing dengan besarnya pendanaan yang dimiliki.


4. Paraplou.com/ Vela Asia



Meluncur sebagai e-commerce pioner di Indonesia (didirikan Januari 2011) yang memfokuskan pada produk fashion premium, Paraplou mengklaim sebagai situs fashion terbesar ketiga di Indonesia. Startup ini dipimpin oleh mantan punggawa Rocket Internet Bede Moore dan Susie Sugden. Meskipun sektor e-commerce saat ini cukup menjanjikan di Indonesia, namun layanan e-commerce Paraplou.com mengumumkan penutupan layanannya per 24 Oktober 2015.

Padahal Paraplou Group selama ini dianggap cukup sukses membawa merek terkenal go online seperti Havaianas, Lee Cooper, Jack Nicklaus dan G2000.Dalam pengumuman resminya, Paraplou menutup layanannya karena kondisi permodalan. Meski sebenarnya pada awal 2015 sudah mendapatkan permodalan US$1,5 juta dari Majuven, namun kerasnya persaingan membuat layanan ini menyerah.

5. Valadoo


Layanan travel online yang menawarkan berbagai paket wisata ini berdiri sejak tahun 2010. Meski sempat mendapatkan investasi dari Wego bersamaan dengan pivot layanan, Valadoo mampu berkembang dengan baik di saat produk jasa sejenis masih sepi di ranah online. Hingga di bulan Agustus 2014 pihak Valadoo melakukan merger dengan Burufly, namun nyatanya pihak Valadoo masih keteteran. Hingga per tanggal 30 April 2015, Valadoo resmi menutup layanannya.

Salah satu aspek yang diungkapkan Jaka Wiradisuria, CEO dan Co-Founder Valadoo, bisnisnya tidak bertahan karena arah yang tidak jelas dari awal, terkait dengan model bisnis yang tidak matang. Perbedaan kultur dan ekspektasi pasca merger juga menjadikan proposisi bisnis tergoncang, termasuk dari sisi penggunaan teknologi pendukung. Saat ini Jaka memutuskan untuk bergabung dengan Ruma setelah memastikan karyawan Valadoo tidak terlantar pasca penutupan perusahaan.


6. Lamido



Berada di bawah naungan Rocket Internet atau Lazada Group, layanan online marketplace Lamido ini diluncurkan pada akhir 2013. Dalam operasinya, sub-produk dari situs e-commerce Lazada ini berhasil merangkul lebih dari 2500 merchant. Hingga akhirnya, startup yang dipimpin oleh Johan Antlov dan Giacomo Ficari ini memilih untuk menutup layanannya per bulan Maret lalu dan meleburkan tim serta rekanan merchant ke dalam bagian dari Lazada Indonesia.

Penyebab utamanya akibat persaingan yang ketat dengan para pemain yang sudah ada seperti Tokopedia dan Bukalapak, hingga akhirnya manajemen memilih untuk memperkuat layanan e-commerce Lazada.


7. Inapay



Inapay adalah penyedia layanan rekening bersama atau escrow yang memungkinkan penggunanya untuk melakukan transaksi pembayaran saat transaksi online. Seperti tertulis di situsnya, per 25 Januari 2015 Inapay tidak lagi melayani jasa escrow setelah 3 tahun beroperasi.

Selama beroperasi, Inappay sudah memiliki pengguna hingga 25 ribu orang dan sudah membukukan 29.466 transaksi. Meski bukan jumlah yang sedikiti, namun ternyata tidak cukup karena layanan payment gateway lain sudah berevolusi untuk mengelola berbagai metode pembayaran sehingga sistem Escrow tidak lagi jadi preferensi. 

Mereka juga tak menjelaskan alasan tutup. Namun dalam pengumumannya, mereka menyebut banyak tantangan dalam dunia escrow yang belum terpecahkan, mulai dari edukasi sampai regulasi yang sampai saat ini menjadi tantangan terbesar.




Artikel Terkait

Previous
Next Post »