Umar, Alumnus SGI Majukan Pendidikan di Kota Kelahiran




Sejarah Singkat Sekolah Guru Indonesia
Sekolah Guru Indonesia (SGI) adalah salah satu jejaring divisi pendidikan Dompet Dhuafa yang berkomitmen melahirkan Guru Transformatif yang memiliki kompetensi mengajar, mendidik dan berjiwa kepemimpinan sosial. Sekolah Guru Indonesia didedikasikan bagi para pemuda Indonesia yang siap mengabdikan diri menjadi guru serta siap berkontribusi bagi kemajuan pendidikan di seluruh penjuru Nusantara.

SGI awalnya bernama Sekolah Guru Ekselensia Indonesia (SGEI) yang diresmikan pada 24 Oktober 2009 oleh Bupati Bogor. Kelahiran SGI adalah wujud komitmen Dompet Dhuafa dalam program pemberdayaan dan peningkatan kualitas guru. SGEI merupakan produk inovasi program dari Makmal Pendidikan yang kemudian berekspansi menjadi jejaring divisi pendidikan Dompet Dhuafa yang dinamai Sekolah Guru Indonesia (SGI) pada tanggal 08 Februari 2012.

Sejak tahun 2009, Sekolah Guru Indonesia telah membina 6 (enam) angkatan dan menyemai anak-anak muda inspiratif tersebut menjadi Guru di 31 Kabupaten daerah terdepan, terluar dan tertinggal di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Umar, Alumnus SGI Majukan Pendidikan di Kota Kelahiran

Gemerlapnya kehidupan di Ibukota, nampaknya tak sedikitpun menggiurkan bagi Umar, pemuda asal Desa Kutakarang, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Pandeglang, Banten ini. Di saat teman-teman sebayanya berhijrah memberanikan diri, mengubah nasib lebih baik di Kota Metropolitan, ia memilih mengabdi menjadi seorang guru relawan bergabung dengan program Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa.

“Waktu SGI saya ditempatkan di tempat tinggal saya (Kutakarang) namun sebelumnya mengikuti pelatihan selama 40 hari. Pelatihannya ada yang seperti pelatihan militer,” ujar Umar yang kini telah menjadi Alumnus SGI ini.

Dengan niat tulus dan keikhlasannya, pemuda yang menyandang gelar sarjana pada tahun 2014 ini, bertekad untuk memajukan pendidikan di desanya dengan mengajar di sebuah sekolah dasar yakni SDN Kutakarang 02. Ya, minimnya tenaga pengajar, khususnya pengajar dari warga pribumi asli.

Harapan dan impian bagi pemuda yang dikenal ulet dan pantang menyerah ini adalah, terciptanya tenaga pengajar asli pribumi yang nantinya turut berkontribusi dalam memajukan pendidikan di daerah.

“Di sini mayoritas guru merupakan warga pendatang. Sangat sedikit sekali guru yang merupakan asli pribumi dari daerah ini, khususnya PNS. Itulah kenapa saya sekolah lagi dan kembali ke sini. Saya ingin ada guru asli daerah sini,” harap Umar.

Umar bercerita, semangatnya dalam memajukan pendidikan di tanah kelahirannya dilatarbelakangi oleh pengalaman pahit yang sempat ia rasakan. Faktor biaya pendidikan, menjadi permasalahan utama kala itu.

“Orang tua saya sempat tidak mengizinkan saya sekolah tinggi karena faktor biaya. Apalagi saya juga masih punya tanggungan seorang adik kala itu. Namun saya ingin tetap sekolah. Demi meringankan biaya, saya sempat membeli seragam bekas kakak kelas untuk sekolah. Saya juga bahkan sempat ngojek,” kenangnya.

Usaha dan jerih payahnya selama ini membuahkan hasil. Tak sia-sia, ia merupakan sedikit di antara ribuan warga Kutakarang yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA kala itu. Prestasinya berlanjut saat ia tercatat sebagai orang kedua dari desanya yang merupakan lulusan sarjana S1 dan merupakan salah satu penggerak pemberdayaan wirausaha keripik pisang untuk warga desa.

“Alhamdulillah, apa yang menjadi harapan saya selama ini perlahan-lahan terwujud. Semoga saja, banyak pemuda di Desa Kutakarang ini yang juga terpanggil, untuk memajukan tanah kelahirannya,” pungkasnya. (Dompet Dhuafa/Uyang)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »