Angkie Yudistia: Perempuan Tunarungu Penembus Batas


Menjadi penyandang disabilitas umumnya dipandang sebelah mata akan kemampuannya di dunia kerja. Namun, hal itu tidak berlaku pada Angkie Yudistia. Gadis tunarungu itu, pernah meniti karier sebagai staf humas di sejumlah perusahaan. Namun, panggilan jiwanya membawanya lebih dekat pada permasalahan kaum difabel.

”Bekerja di perusahaan memang passion saya. Dari kecil saya memimpikan jadi wanita karier yang bekerja di perusahaan besar, tetapi jiwa saya yang sesungguhnya adalah sosial,” kata Angkie (24).

Gadis cantik ini begitu semangat bercerita tentang kegiatannya, terutama di bidang sosial. ”Kata mama, saya memang cerewet sejak kecil. Jadi, memang cocok dengan pekerjaan di bidang komunikasi,” kata Angkie.

Meski tunarungu, tak ada hambatan bagi Angkie untuk berkomunikasi dengan siapa saja. Ini karena Angkie kehilangan pendengaran setelah bisa bicara. Saat berusia 10 tahun, pendengaran Angkie secara perlahan berkurang. Dia tak merespons saat dipanggil dan kesulitan mendengar penjelasan guru di sekolah.

”Saya tidak tahu pasti penyebabnya. Apakah dari obat yang saya minum ketika sakit atau ada hal lain yang jadi penyebabnya,” ujar Angkie yang harus menggunakan alat bantu dengar sekaligus membaca gerak bibir untuk memahami pembicaraan lawan bicaranya.

Meski kondisinya berubah, Angkie tak diperlakukan secara berbeda oleh orangtuanya. Setidaknya untuk pilihan sekolah. Angkie menyelesaikan SD hingga SMA di sekolah umum. Pada masa-masa sekolah inilah Angkie mulai merasakan tantangan sebagai anak yang ”berbeda”. Ledekan dari teman-teman bukan hal yang asing baginya. Belum lagi saat kena marah guru karena dia kesulitan mendengar.

Angkie juga selalu berhadapan dengan lingkungan baru karena harus berpindah-pindah kota mengikuti perjalanan dinas ayahnya yang bekerja di Perusahaan Listrik Negara (PLN). Lahir di Medan, Angkie masuk taman kanak-kanak di Ambon. Setelah itu, dia harus menyelesaikan SD di tiga kota, yaitu Ternate, Bengkulu, dan Bogor. Baru setelah itu dia menamatkan SMP dan SMA di Bogor.

Karena merasa kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah, Angkie rajin mengikuti les privat. Ayahnya juga banyak membelikan buku sehingga Angkie punya hobi membaca.

Dilema dihadapinya ketika lulus SMA. Dokter memberinya saran untuk tidak melanjutkan kuliah karena stres akan memperparah pendengarannya. Namun, Angkie menolak saran itu. ”Memilih tidak kuliah tetap saja jadi stres,” katanya.

Maka, mendaftarlah Angkie di Jurusan Periklanan London School of Public Relations, Jakarta, dan lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,5. Dengan program akselerasi, Angkie kemudian melanjutkan program master di bidang komunikasi pemasaran.

”Selesai kuliah, saya bertemu dokter yang dulu menyarankan tak melanjutkan sekolah. Dia speechless (terdiam kagum),” kata Angkie.


Bangkit

Menjadi manusia yang dianggap ”berbeda” sejak usia 10 tahun sempat membuat Angkie terguncang. Namun, dia mulai membuka diri ketika kuliah dengan mengikuti pemilihan Abang None Jakarta tahun 2008 dan menjadi finalis untuk wilayah Jakarta Barat. Angkie juga kuliah sambil bekerja.

Perkenalannya dengan dunia kegiatan sosial dimulai ketika bergabung dengan Yayasan Tunarungu Sehjira pada 2009. Angkie menjadi salah satu delegasi Indonesia dalam acara Asia-Pacific Development Center of Disability di Bangkok, Thailand.

Ada yang membuat Angkie miris tentang persepsi dan perlakuan orang terhadap warga difabel. Orang-orang dengan kekurangan seperti dirinya dianggap tak memiliki kemampuan apa-apa, termasuk di dunia kerja. Angkie, misalnya, pernah tidak diterima bekerja karena tak bisa menerima telepon.

”Padahal, orang difabel punya hak yang sama dengan yang fisiknya normal. Mereka juga sudah berusaha mencari pekerjaan, tetapi tetap saja dianggap tak mampu apa-apa,” kata Angkie.

Angkie mendengar suara nurani para difabel. Dari kenyataan itulah ia memilih untuk terjun di dunia sosial. ”Bekerja di kantor membuat saya aman karena memiliki penghasilan tetap setiap bulan. Namun, saya merasa belum nyaman. Kenyamanan inilah yang saya dapat dengan terjun di dunia sosial,” tuturnya.

Dengan bantuan seorang teman, Angkie membuat perusahaan yang berorientasi sosial sekaligus bisnis dengan nama Thisable Associate, pelesetan dari kata disable. ”Thisable ingin menunjukkan bahwa orang-orang disable punya kemampuan, bukannya orang yang tidak berguna,” kata Angkie.

Salah satu program yang dibuat Thisable Associate adalah menjual program corporate social responsibility (CSR) yang terkait dengan orang disable pada perusahaan. ”Kami juga akan menyediakan tenaga kerja disable yang kapasitasnya sesuai,” katanya.

Semangat Angkie untuk membantu warga difabel tak hanya karena kesamaan latar belakang. Ada satu momen pada masa kuliah yang lantas membuatnya bisa mencurahkan energi untuk hal-hal positif.

”Satu kali dalam perjalanan di kereta api, saya ngobrol dengan seorang bapak. Seolah bisa memahami apa yang saya rasakan, bapak tersebut memberi saran agar saya jangan membuang energi untuk memikirkan masalah. Saya harus mengeksplorasi sisi positif dari diri saya. Nasihat bapak yang sekarang entah di mana itu ternyata begitu tertanam di benak saya sampai sekarang,” cerita Angkie.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »